Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari kerja
Arumni berjalan menyusuri kota, mendatangi beberapa counter untuk mencari lowongan kerja, hingga ia bertemu dengan Binar yang sedang duduk santai di taman kota.
Binar yang sama-sama sedang mencari kerja dan janji temu dengan Arumni di taman itu, mulai merasa lelah karena tak kunjung menemukan pekerjaan di kotanya.
"Kamu sudah lama di sini, Binar?" tanya Arumni sambil duduk di sebelah Binar.
"Belum, Arumni. Baru saja aku duduk, kita minum dulu!" Binar memberikan teh kotak untuk Arumni.
Setelah mereka menyeruput teh kotak dingin, tenaga mereka mulai terisi, dan pikirannya mulai segar.
"Ternyata cari kerja itu susah ya, Binar?" kata Arumni yang baru merasakan mencari kerja.
Arumni yang menikah di usia sembilan belas tahun, sama sekali belum punya pengalaman kerja. Satu tahun setelah Arumni lulus SMA, ia langsung menikah, meninggalkan masa muda demi Galih cinta pertamanya, namun kini keadaan telah berubah, karena janji Galih yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, tiba-tiba berubah menjadi bayang-bayang kesedihan bagi Arumni.
Binar mengulas senyum. "Lagian kamu kenapa harus kerja sih, Arumni? bukannya Galih itu anak semata wayang pak Arif? dengar-dengar Galih juga sekarang sukses, bisa punya rumah sendiri di Jakarta, tentu kamu tidak akan kekurangan, kan?"
Hening!
Arumni engan menceritakan tentang rumah tangganya, bagi Arumni tidak semua luka harus bising, karena setiap luka yang patah belum tentu orang akan mengerti.
Binar menghela napas. "Hidup itu memang aneh ya, Arumni?"
"Aneh bagaimana?" jawabnya santai.
"iya, aneh. Aku yang belum menikah, pingin cepat nikah supaya aku tidak perlu bekerja untuk diriku sendiri, lah kamu yang sudah menikah tetap mau cari kerja."
Arumni mengulas senyum. "Itu karena kamu belum merasakan menikah, setelah menikah segalanya akan rumit untuk dijelaskan. Ah sudahlah, kita ganti topik aja!" ucapnya sambil mengayunkan kaki di tempat duduknya.
Tiba-tiba Binar teringat sesuatu. "Aha! aku tahu Arumni."
Arumni menoleh cepat. "Tahu apa?"
"Pak Beni, pemilik kedai lamongan yang selalu ramai, pasti butuh tenaga tambahan, aku lihat kedai pak Beni selalu ramai pengunjung, dan istrinya yang sedang hamil muda pasti tidak bisa membantu."
"Ah, tapi aku lihat karyawannya ada empat."
"Kita coba saja, Arumni. Siapa tahu mereka butuh tenaga di dalam."
"Ya, baiklah, kita coba."
**
Hari semakin sore, namun Arumni belum juga kembali. Pak Arif dan bu Susi mulai merasa khawatir, ponselnya pun tidak bisa dihubungi.
"Pak, kira-kira Arumni kemana ya? apa mungkin dia ke rumah ibunya?" kata bu Susi sambil menyuguhkan teh hangat dan gorengan untuk pak Arif.
"Tidak mungkin, bu! Arumni, tidak mungkin ke sana tanpa pamit pada kita."
"Iya, sih! tapi kenapa lama sekali pulangnya? apa mungkin dia benar-benar dapat kerja?"
"Bisa jadi!"
"Apa ibu tanya sama Galih langsung saja ya, pak?"
Tidak lama, ponsel bu Susi berdering, bu Susi segera mengambilnya dari atas meja. "Galih menelpon, pak!" kata bu Susi sambil mengeser tombol hijau demi menghubungkan panggilan.
"Assalamu'alaikum, bu?" ucap Galih diujung telepon setelah terhubung.
"Waalaikumsalam, ada apa Galih? ibu baru saja kepikiran mau telepon kamu."
"Memangnya ada apa, bu?"
"Arumni belum pulang, Galih! Dari tadi ibu coba hubungi tapi sepertinya ponselnya tidak aktif."
"Apa?" jawab Galih terkejut. "Memangnya Arumni kemana bu?" Galih mulai panik, karena sebenarnya dari tadi Galih mencoba menghubungi Arumni, namun belum juga terhubung.
"Sebenarnya ibu juga bingung, tadi pagi Arumni bilang ingin mencari kerja untuk mengisi waktu luang. Kalau memang dia merasa bosan di rumah atau ingin kerja, kenapa tidak kerja di situ aja, Galih?"
Mendengar cerita ibu, membuat hati Galih jadi tidak menentu, ia sangat syok, bagaimana bisa istrinya itu ingin mencari kerja, sedangkan uang bulanan yang Galih kasih sudah cukup besar.
"Bu, jangan cerita terlalu banyak dulu pada Galih!" kata pak Arif setelah Galih menutup telepon.
"Memangnya kenapa, pak? kan biar jelas ada apa gitu, sebenarnya?"
"Justru itu, bapak sedang mencurigai tentang hubungan mereka, sebenarnya ada apa? kenapa dua kali ke Jakarta tidak membuat Arumni mau menetap di sana, dan lagi kenapa Arumni mencari kerja? dia bisa saja berdiam diri di rumah dan mendapatkan semua keinginannya dari Galih, kan?"
"Iya sih, pak!"
"Ibu jangan tanya apa-apa dulu pada mereka. Bulan depan, sekolah bapak akan mengadakan studytour ke Jakarta, bapak akan ijin sebentar untuk ke rumah Galih, bapak ingin tahu bagaimana suasana di rumah Galih."
Bu Susi menganguk setuju pada ucapan pak Arif.
**
Sudah jam sembilan malam, Arumni belum juga kembali ke rumah, membuat pak Arif dan bu Susi merasa semakin cemas, terlebih ponselnya pun masih belum bisa dihubungi.
Ternyata Arumni mendapat kerja di kedai lamongan milik pak Beni, Arumni dan Binar diterima kerja di sana karena secara kebetulan, pak Beni sedang membutuhkan karyawan untuk sift sore sampai malam.
Karyawan pak Beni yang rata-rata sudah berkeluarga, tidak mampu jika harus bekerja sampai malam, oleh karenanya pak Beni memutuskan untuk memperkerjakan mereka di sore hari.
"Pak Beni! karyawannya baru ya?" tanya seorang pelanggan terakhir sebelum mereka akan tutup.
"Iya, komandan! baru mulai sore tadi. Maaf ya jika pelayanannya masih belum sempurna, maklum mereka masih baru." Kata pak Beni pada Adit pelanggan setianya.
Kedai pak Beni seolah belum akan tutup, jika Adit belum datang untuk makan di sana.
Setelah jam kerja mereka berakhir, Arumni baru tersadar, bagaimana ia akan pulang ke rumahnya, meski jarak rumah dengan tempat kerjanya hanya sekitar tiga kilo meter, namun Arumni tidak mungkin berjalan kaki seorang diri, karena rumah Binar dekat dari kedai pak Beni dan berlawanan arah dengan rumahnya, dan lagi hari sudah larut malam.
"Pak Beni! Arumni pulangnya bagaimana, ya? " ucap Binar saat Arumni tengah kebingungan.
"Oh iya ya? kenapa aku tidak kepikiran?"
Percakapan pak Beni dan Binar terdengar sampai ke telinga Adit. "Ada apa pak Beni?" tanya Adit setelah selesai makan.
"Ini ndan, karyawan baru belum punya motor masih bingung pulangnya, jam segini masih ada Grab apa ngak, ya? " Komandan adalah sebutan pak Beni pada Adit pelanggan setianya.
"Biar aku saja yang antar, pak Beni."
"Apa ngak ngerepotin?"
"Ngak papa pak, santai saja. Mana yang akan aku antar?"
Pak Beni pun memanggil Arumni yang masih menganti pakaian di belakang. Awalnya Arumni menolak diantar oleh Adit karena takut akan merepotkan, namun Binar dan pak Beni memaksa agar Arumni mau diantar Adit, agar keselamatannya tetap terjaga.
"Baiklah, pak Beni. Besok siang aku cari motor biar bisa pulang pergi dengan mudah." ucapnya pada pak Beni. "Maaf ya mas, jadi merepotkan!" ucap Arumni pada Adit sambil menunduk.
"Santai saja, aku ini pelanggan setianya pak Beni, iya kan pak Beni?"
Pak Beni tersenyum lega, Binar pun jadi merasa tenang saat Arumni sudah aman karena ada yang akan mengantar.
Hari pertama Arumni kerja cukup sukses, pak Beni merasa bangga pada kegigihan Arumni dalam melakukan pekerjaan yang belum pernah ia jalani sebelumnya.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi