NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:373
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 — Sumur yang Ditutup Batu

Ketegangan di rumah Kepala Desa mereda perlahan, seperti kabut yang diusir oleh angin. Suara lonceng yang hanya sekali dentang itu telah berhenti, dan suara gemericik air kembali mengambil alih dominasi, terasa sedikit lebih keras, lebih menuntut.

Pak Darmo membuka matanya, wajahnya pucat pasi, namun ia kembali berusaha menata ekspresi kaku khas Kepala Desa. Ia menarik napas dalam-dalam, mengendurkan cengkeramannya pada tasbih kayu yang kini berkeringat di tangannya.

“Pergilah, Nak Rendra,” kata Pak Darmo, suaranya kini kembali serak dan dingin. “Aku sudah memberitahumu apa yang perlu kau tahu. Adikmu mencari kebenaran, dan kebenaran di sini harganya mahal. Kalau kau masih ingin hidup, lupakan adikmu, lupakan rahasia ayahmu, dan tinggalkan Waringin sebelum hujan berikutnya datang.”

Rendra berdiri. Ia tidak bisa pergi. Pengakuan Pak Darmo tentang keterlibatan ayahnya dalam ritual pengorbanan tiga puluh tahun lalu telah menancap dalam dirinya, lebih dalam daripada belati. Ia bukan lagi sekadar mencari adiknya; ia mencari penebusan untuk dosa yang diwariskan.

“Saya akan cari Rani,” ujar Rendra, suaranya mantap, meskipun di dalam dirinya ada gejolak ketakutan dan pengkhianatan. “Kalau dia di sini, saya akan menemukannya.”

Rendra berbalik, melangkah keluar ke kelembaban malam yang pekat. Hujan masih turun, tetapi intensitasnya sedikit berkurang, menyisakan rintik-rintik tebal yang konstan. Bau besi masih ada, namun kini bercampur dengan bau tanah basah yang menyengat.

Di jalan, ia melihat pemandangan mengerikan dari lonceng yang baru saja berbunyi. Beberapa orang desa, dengan wajah kosong, tengah menggotong tandu yang ditutupi kain terpal basah. Dari bentuk tandu, Rendra tahu: itu adalah mayat. Korban lonceng malam itu.

Orang-orang itu berjalan ke arah rawa, ke tempat yang Pak Darmo sebut Kuburan Air. Tak ada ratapan, tak ada air mata. Hanya penerimaan yang dingin. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam ketakutan yang telah menjadi kebiasaan.

Rendra menghindar, menyelinap di balik rumah, menuju penginapan kecil yang ia sewa—sebuah kamar sempit dan lembab di pinggir desa. Ia tidak tidur. Ia menghabiskan sisa malamnya dengan mencuci film kameranya di kamar mandi penginapan yang berbau pesing, menggunakan cairan kimia yang ia bawa dari kota.

Foto-foto itu dicetak perlahan. Lanskap Waringin yang suram, rumah-rumah kayu yang berlumut. Dan foto Sumur Tua.

Saat foto Sumur Tua itu perlahan terbentuk di atas cairan developer, jantung Rendra berdebar kencang. Itu adalah sumur yang ditutup rapat oleh batu besar yang diikat tali tambang. Namun, di antara celah batu dan air yang menggenang di permukaannya, ada sesuatu yang kabur—sesuatu yang menyerupai bayangan tangan yang mencoba meraih ke luar, dari dalam air. Bayangan itu memanjang, tipis dan pucat, seperti cakar.

Rendra menatap foto itu, udara dingin dari luar seakan merambat masuk ke pori-porinya. Itu adalah ilusi optik? Refleksi dari cahaya minim? Atau… bukti yang ia cari?

Pagi Hari di Waringin

Pagi di Waringin tidak berbeda dari malam. Langit tetap kelabu, hujan tetap rintik, dan udara tetap membawa beban ketakutan. Rendra tahu ia tidak bisa bergerak sendiri. Ia membutuhkan mata dan telinga dari dalam. Ia membutuhkan Dimas.

Ia kembali ke lapangan tempat ia bertemu Laki-laki itu. Di tengah lapangan, sumur tua itu berdiri tegak, batu penutupnya tampak lebih berat dan lebih mengancam di bawah cahaya minim.

Rendra berdiri di samping sumur, merasakan kelembaban yang keluar dari batu itu, dan aroma besi di sana jauh lebih kuat. Ia mengangkat kamera ayahnya, membidik sumur itu sekali lagi, mencari sudut lain, mencari kebenaran lain.

“Jangan coba-coba memotret Yang Basah, Kak.”

Rendra terlonjak. Dimas sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki itu muncul tanpa suara, seperti bayangan yang terbuat dari kabut. Ia masih memegang batu-batu kecilnya, memutarnya perlahan.

“Dimas, kamu mengagetkan saya,” kata Rendra, berusaha tersenyum.

“Dia tidak suka difoto,” kata Dimas, matanya lurus ke arah sumur. “Katanya, roh kami seharusnya hanya dilihat dengan mata batin.”

Rendra merendahkan suaranya. “Saya tidak percaya pada roh, Dimas. Saya hanya percaya pada apa yang bisa saya lihat, saya dengar. Dan saya dengar dari Pak Darmo… ada seorang gadis bernama Laras dikorbankan di sini.”

Dimas mengangguk kecil. “Laras ada di sana. Di dasar sumur. Tapi… bukan dia yang memanggil hujan. Yang Basah memanggil dirinya sendiri. Karena dia kedinginan.”

“Kedinginan?”

“Ya. Dia mau tubuh baru. Untuk menghangatkan dirinya.” Dimas tiba-tiba memegang lengan jaket Rendra, cengkeramannya lemah tetapi tegas. “Kak Rani… dia mendekat ke sumur ini saat malam-malam hujan terpekat. Dia meneliti tentang air dan darah. Dia bilang dia menemukan kunci yang bisa menghentikan hujan.”

Rendra merasakan harapan tipis di tengah keputusasaan. “Kunci apa?”

Dimas menghela napas, napasnya terasa hangat di tengah udara dingin. “Pak Darmo bohong. Laras memang dikorbankan. Tapi bukan hanya untuk air. Laras dikorbankan untuk menutupi kejahatan yang lebih besar. Ada darah ratusan orang di desa ini, Kak. Darah dari orang-orang yang dibunuh karena menentang kekejaman itu.”

Anak itu kemudian menunjuk ke akar pohon besar yang tumbuh di sebelah sumur—sebuah akar yang meliuk-liuk seperti ular piton raksasa.

“Ayahku bilang, akar itu adalah tangan Yang Basah. Dia menjaga lubang itu. Di bawah akar itu, ada lubang lain. Lubang rahasia.”

“Lubang apa?”

“Itu tempat mereka mengubur orang-orang yang menentang. Bukan di Kuburan Air. Tapi di sana, agar Yang Basah tidak tahu. Kalau Kakak mau tahu kebenaran tentang Rani, Kakak harus lihat apa yang ada di sana.”

Rendra melihat ke arah akar pohon itu. Akar itu tampak sangat tua, keras, dan gelap, basah oleh hujan, seolah-olah memang bernapas. Menggali di bawah akar itu tanpa diketahui Kepala Desa adalah bunuh diri.

“Bagaimana adikmu tahu tentang lubang rahasia ini?”

“Dia melihatnya dari kamera. Ayahmu juga punya foto itu,” kata Dimas, kata-katanya penuh kepastian yang mengganggu.

“Ayah saya? Kapan?”

“Dulu sekali. Saat ayahmu datang ke sini, dia memotret semua yang disembunyikan Pak Darmo.”

Rendra menatap kamera tua ayahnya. Jadi, bukan hanya keterlibatan dalam ritual. Ayahnya adalah saksi mata, mungkin jurnalis yang mencoba merekam dosa desa itu. Dan sekarang, Rani mencoba menyelesaikan tugas itu, yang malah membuatnya hilang.

Tiba-tiba, Dimas menarik Rendra menjauh dari sumur, mendorongnya ke balik bayangan pohon. Wajah anak itu tegang, penuh ketakutan.

“Ssttt! Jangan bersuara.”

Hujan di sekitar mereka tiba-tiba berhenti. Tidak ada lagi rintik, tidak ada lagi gemericik. Hanya keheningan yang mematikan. Rendra merasakan tekanan di gendang telinganya, seperti berada di ruang kedap suara yang basah.

“Kenapa?” bisik Rendra.

“Dia datang,” bisik Dimas, matanya terpaku pada sumur tua. “Kalau hujannya berhenti tiba-tiba… berarti dia ada di sini.”

Rendra menahan napas. Ia tidak mendengar apa-apa. Tidak ada suara langkah, tidak ada suara napas. Hanya keheningan.

Kemudian, ia mendengarnya.

Bukan suara. Itu adalah rasa. Rasa dingin yang menusuk, jauh lebih dalam daripada udara pagi di pegunungan. Rasa dingin yang terasa basah, menyeruak dari arah sumur.

Diikuti dengan suara: gemericik air yang sangat pelan.

Suara gemericik itu seperti napas yang tersengal-sengal, seperti seseorang yang sedang berusaha bernapas di bawah air. Suara itu bergerak, pelan-pelan, melingkari sumur.

Rendra secara naluriah mengangkat kamera ayahnya, mengarahkannya ke sumur yang ditutup batu.

Tepat saat ia menekan tombol rana, di kaca spion mobil rongsokan yang tergeletak di samping lapangan, Rendra melihatnya:

Bayangan hitam yang menjulang tinggi, terbentuk dari uap air, berdiri di atas batu penutup sumur.

Bentuknya samar, seperti asap yang ditiup angin, tetapi Rendra bisa merasakan mata di balik bayangan itu, mengawasinya. Itu tidak punya wajah, tidak punya anggota badan yang jelas. Itu hanyalah kekosongan yang bergerak.

Gemericik itu berhenti tepat di belakang Rendra. Ia merasa hawa dingin itu kini memeluk punggungnya. Jantungnya berdebar kencang, nyaris meledak.

“Jangan bergerak, Kak,” Dimas berbisik, air mata menggenang di matanya yang menahan ketakutan. “Dia tahu kamu memotretnya.”

Tiba-tiba, hujan kembali turun. Deras, tiba-tiba, seolah tirai air yang tebal ditarik kembali oleh tangan tak kasat mata. Gemericik itu kembali larut dalam deru hujan. Bayangan di cermin mobil rongsokan itu hilang.

Dimas tersengal-sengal. “Dia pergi. Tapi dia akan kembali.”

Rendra menurunkan kameranya, tangannya gemetar. Ia tahu, ia baru saja bertemu dengan Yang Basah, dan ia berhasil memotretnya.

“Lubang rahasia itu, Dimas,” Rendra berbisik, suaranya parau. “Tunjukkan pada saya. Sekarang.”

Dimas mengangguk. Matanya, yang tadinya penuh ketakutan, kini digantikan oleh tekad yang dingin. Ia meraih tangan Rendra, membawanya menembus hujan, menuju akar pohon Waringin raksasa, menuju rahasia yang jauh lebih gelap daripada legenda.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!