Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 26
Saat Lara, Bella, dan Adrian akhirnya pulang setelah menjenguk, suasana kamar rawat itu mendadak hening. Hanya suara mesin infus yang berdetak pelan, berpadu dengan desir angin dingin dari luar jendela yang berembun. Annecy sedang musim dingin, dan meski penghangat ruangan bekerja, tetap saja ada hawa menusuk yang merayap perlahan ke kulit.
Setelah ketiganya menutup pintu, Liam yang sejak tadi duduk di kursi samping tempat tidur ibunya, merasakan tatapan lembut mengarah padanya. Tatapan yang hangat sekaligus penuh arti. Tatapan seorang ibu yang seakan mampu menembus segala lapisan yang berusaha ia tutupi.
Liam mengangkat wajah. “Ma, kenapa terus menatapku seperti itu?” tanyanya pelan, mencoba mencairkan udara yang terasa terlalu sunyi. “Tidak bosan menatap wajah tampanku?”
Ibunya mengerling kecil, meski masih lemah, candanya tetap hidup. “Bagaimana aku bisa bosan? Aku sudah menatap wajah tampan itu sejak kamu lahir. Bahkan kalau dunia ini berakhir pun, aku tidak akan bosan.” Satu sudut bibirnya terangkat, tampak sayang, tampak tulus, tampak seperti seorang ibu yang sedang melihat seluruh dunia pada wajah anaknya.
Ucapan itu membuat Liam tersenyum, senyum hangat yang hanya muncul ketika ia bersama ibunya. Ia mencondongkan badan dan mengecup kening wanita yang paling ia cintai itu. “Ma, jangan bicara yang aneh-aneh.”
Tetapi ibunya justru menatapnya lebih lama, seolah-olah sedang menghafal lagi setiap detail wajah putranya.
“Liam,” katanya pelan. “Itu perempuan yang bikin wajah kamu murung beberapa hari ini, kan?”
Liam mengedip, tidak menyangka arah pembicaraan akan berbelok begitu cepat. “Perempuan siapa?” Ia mencoba memainkan alis seolah tidak paham, tetapi suara ibunya langsung menembus pertahanannya.
“Wanita cantik berwajah sendu itu, tentu saja.” Senyum ibunya penuh makna, seolah ia sudah lama menunggu topik ini muncul.
Liam memijat pelipis, menyerah. “Sepertinya, apa pun tidak bisa aku sembunyikan dari Mama ya?”
“Tidak akan bisa,” jawab ibunya bangga. “Kamu itu anak Mama. Dari cara kamu menghela napas saja Mama tahu kamu lagi memikirkan apa.”
Liam menarik napas, menggeser kursinya sedikit mendekat, memberi jarak yang cukup untuk bicara tetapi cukup dekat agar ia bisa menggenggam tangan ibunya.
“Dia, menolak aku, Ma,” katanya akhirnya.
Sejenak ibunya diam. Bukan karena terkejut, tapi karena sedang menahan tawa. Dan beberapa detik kemudian, tawa itu pecah.
“Ditolak? Anak Mama ditolak?” Ibunya tertawa sampai bahunya naik turun. “Astaga, apa anak Mama kurang tampan sampai-sampai ditolak sebelum mulai?”
Liam memutar bola mata. “Ma..”
“Tunggu, tunggu,” ibunya mengangkat tangan. “Atau dia tidak lihat jelas? Atau saat kamu mengungkapkan perasaan, saat itu sedang gelap."
Liam menutup wajah dengan telapak tangan. “Ma, please.”
Ibunya terus tertawa, dan tawa itu membuat suasana ruangan yang sejak tadi suram berubah hangat dan hidup. Setelah tawa mereda, ia berkata dengan suara yang lebih lembut, “Kalau cuma soal tampang, mana ada yang menolak kamu. Tapi pasti bukan itu masalahnya, kan?”
“Bukan.” Liam menghela napas. “Dia perempuan yang mahal.”
“Mahal?” ibunya menaikkan alis, setengah heran, setengah penasaran. “Maksud kamu sombong?”
“Bukan.” Liam menggeleng. “Mahal dalam arti, dia tidak sembarangan membuka pintu hatinya. Tidak mudah. Tidak bisa dikejar cuma pakai pesona saja.”
Ibunya terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Itu bagus.”
“Bagus?” Liam memandang ibunya dengan bingung.
“Tentu.” Ibunya tersenyum tipis. “Perempuan seperti itu yang pantas buat kamu. Mama tidak mau kamu dapat perempuan yang langsung jatuh hanya karena kamu tampan. Mama maunya kamu dapat perempuan yang jatuh karena kamu baik.”
Liam mengangguk pelan. “Aku, masih belum menyerah.”
“Bagus.” Ibunya menggenggam tangan Liam, menekan lembut. “Mama dukung kamu 1000%.”
“Seribu, Ma?”
“Kalau bisa lebih, Mama kasih lebih.” Tatapan ibunya serius namun penuh gurau. “Perempuan itu, dia kelihatan mahal, dalam arti berharga. Kamu harus usaha lebih. Mama tahu kamu bisa.”
Liam tersenyum kecil. “Dengan dukungan dari Mama, wanita nomor dua tercantik, aku jadi makin semangat.”
Ibunya sempat terdiam dan memicingkan mata. “Nomor dua?”
Liam pura-pura mengangkat bahu. “Yah, kalau mau aku bisa kurangi sedikit angkanya, jadi satu setengah.”
Ucapan itu membuat ibunya tertawa lagi. Tawa yang renyah, yang memenuhi ruangan kecil itu hingga terasa lebih hangat daripada penghangat ruangan.
Di sela-sela tawa mereka, ibunya menepuk tangan Liam. “Semenjak kamu berteman dengan Adrian, selera humor kamu naik satu oktaf. Lumayan lucu sekarang.”
Liam mendengus. “Ma, masa humor ada oktafnya?”
“Iya.” Ibunya masih tersenyum. “Dulu humor kamu flat. Sekarang mulai ada nada tingginya. Tapi belum sampai chorus.”
Liam terkekeh. “Nanti kalau aku berhasil mendapatkan dia, mungkin bisa sampai high note.”
Ibunya tersenyum bangga. “Begitu semestinya. Wanita baik memang harus diperjuangkan.”
Hening sejenak. Bukan hening yang dingin, tapi hening yang lembut. Liam memperhatikan wajah ibunya, wajah yang tampak lebih pucat dari biasanya, namun matanya tetap cerah, tetap hidup, tetap menampilkan kekuatan yang selalu ia kagumi sejak kecil.
“Ma,” panggil Liam pelan. “Kamu capek?”
“Sedikit,” jawab ibunya jujur. “Tapi Mama senang karena bersama kamu."
“Aku bakal selalu bersama mama,” kata Liam.
Ibunya memandang langit-langit, seakan sedang mengingat sesuatu. “Liam, perempuan itu, namanya siapa tadi?”
“Lara,” jawab Liam tanpa ragu.
“Cantik ya namanya.”
“Iya.” Liam tersenyum samar. “Orangnya juga.”
Ibunya mengangguk pelan. “Mama lihat cara kamu lihat dia tadi. Kamu serius, kan?”
Liam terdiam sesaat lalu mengangguk mantap. “Iya, Ma. Serius.”
“Bagus.” Ibunya mengusap punggung tangan Liam. “Kalau kamu serius, kamu harus sabar. Perempuan seperti itu, pasti punya alasan kenapa hatinya dijaga rapat-rapat.”
“Aku tahu.”
“Dan kamu harus siap kalau sesekali kamu ditolak. Tidak semua pintu langsung terbuka.”
“Aku tahu, Ma."
Ibunya terkekeh, walau napasnya mulai pendek. “Anak Mama memang begitu.”
Liam merapikan selimut ibunya, membetulkan posisi bantal, lalu menatap ibunya dengan cemas. “Kalau kamu capek… tidur aja, Ma.”
Ibunya menatap Liam, lama sekali. Tatapan itu membuat sesuatu di dada Liam mengencang, semacam rasa takut, khawatir, sekaligus hangat.
“Boleh Mama ngomong sesuatu?” tanya ibunya.
“Tentu.”
“Jangan berhenti mencoba, Liam. Untuk perempuan itu, dan untuk apa pun yang bikin kamu bahagia.”
Liam menunduk dan mencium punggung tangan ibunya. “Ma…”
“Ssst.” Ibunya tersenyum. “Mama cuma mau lihat kamu bahagia. Itu saja.”
“Ma, kamu bakal lihat semuanya. Semua.” Suara Liam serak tanpa ia sadari. “Kamu bakal lihat aku menikah nanti, kamu bakal lihat aku bahagia.”
Ibunya memejam, tetapi bibirnya tetap tersenyum. “Mama akan berusaha.”
Liam menggenggam tangan itu lebih erat lagi, seolah takut kalau ia melepaskan sedikit saja, kehangatan itu akan hilang.
“Mama harus sembuh dulu,” kata Liam, mencoba santai tetapi suaranya bergetar halus. “Nanti aku bawa Mama ke tempat yang Mama mau. Mau jalan-jalan ke mana?”
Ibunya membuka mata pelan. “Ke tempat manapun, qsal kamu ada di situ.”
“Ma…”
“Dan kalau kamu bawa perempuan itu, lebih bagus lagi.”
“Ma…” Liam mengeluh sambil tertawa. “Kok balik ke situ lagi?”
“Karena itu membuat Mama senang.”
"Baik, mama tunggu saja."
Ibunya tertawa kecil. “Mama tunggu.”
Liam tidak melepas tangan ibunya bahkan ketika wanita itu akhirnya terlelap. Ia hanya duduk di sana, menatap wajah yang baginya paling indah di dunia. Lampu rumah sakit meredup sedikit saat malam semakin dalam, namun bagi Liam, ruangan itu tetap terasa penuh cahaya, cahaya dari seorang ibu yang selalu menjadi tempat pulang, selalu menjadi sumber kekuatannya.
jd malas bacanya