NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:502
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saudara Yang Berhadapan

Markas Api Penjaga kini seperti bara yang menunggu ledakan. Rakyat makin sering berdiri di depan gerbang, sebagian menjerit minta perlindungan, sebagian lagi melemparkan batu dan kutukan.

Di dalam, Rowan berjalan mondar-mandir, pelipisnya berkeringat, tangannya terus menggenggam gagang pedang.

“Kita tak bisa terus begini, Edrick! Mereka meludahimu setiap hari, dan kau hanya menunduk! Kita harus menunjukkan kekuatan—mengeksekusi pengkhianat, menggantung provokator, menyalakan api ketakutan!”

Edrick berdiri di ambang jendela, menatap kerumunan yang semakin liar. Suaranya tenang, tapi getir.

“Api ketakutan hanya akan membakar kita sendiri, Rowan. Aku tidak ingin memimpin kerajaan abu-abu.”

Rowan menoleh tajam. “Maka kau akan kehilangan kerajaanmu sebelum kau sempat menyentuh tahta!”

 

Miriel yang lemah mencoba menengahi, tapi suaranya nyaris tak terdengar di tengah perdebatan. Lyra menangis dalam diam, berdoa agar kata-kata itu tidak berubah menjadi tebasan pedang.

Namun bara semakin menyala. Rowan mendekat, wajahnya merah.

“Kau menolak melihat kenyataan! Darius berkhianat karena kelembutanmu! Rakyat berbalik karena keragu-raguanmu! Dan sekarang, kita diserbu karena kelemahanmu!”

Edrick menoleh, sorot matanya dingin untuk pertama kalinya.

“Hati-hati, Rowan. Kau memanggilku lemah, tapi yang sebenarnya kau takuti adalah kehilangan kendali. Aku tahu amarahmu, aku tahu kau merasa pedangmu lebih berhak memimpin daripada darahku. Tapi Hale tidak dibangun di atas pedang semata, melainkan pengorbanan. Itu yang tidak pernah kau pahami.”

Rowan terdiam sejenak. Lalu ia tertawa pahit.

“Pengorbanan? Lalu siapa yang akan kau korbankan berikutnya, Edrick? Kami semua? Atau rakyat yang berteriak di luar itu?”

 

Ketegangan mencapai puncaknya saat Rowan menarik pedangnya setengah keluar dari sarung. Logam berkilau, pantulan cahaya obor membuatnya tampak seperti bara hidup.

Lyra menjerit. “Rowan, jangan!”

Edrick tidak bergeser. Ia hanya menunduk, lalu perlahan mencabut Ashenlight. Pedang biru itu menyala, seolah merasakan bara perselisihan.

“Kau saudaraku, Rowan,” ucap Edrick datar. “Tapi jika kau menantangku malam ini, api ini akan memilih siapa yang pantas berdiri.”

Hening menyelimuti ruangan. Hanya detak jantung yang terasa. Dua sahabat yang pernah tertawa di masa kanak-kanak kini berdiri berhadapan, pedang siap bicara lebih keras daripada lidah.

 

Rowan melangkah maju. Suaranya berat.

“Kalau kau tidak bisa membakar jalan, maka aku yang akan menyalakan api ini sendiri.”

Dalam sekejap, pedangnya beradu dengan Ashenlight. Dentuman logam menggetarkan dinding markas. Api biru melawan kilatan baja, percikan beterbangan.

Miriel menjerit batuk berdarah. Lyra berlari di antara mereka, mencoba menghentikan, tapi ditarik mundur oleh pengawal.

Edrick bertarung dengan hati terbelah—tidak ingin melukai Rowan, tapi juga tidak bisa menyerahkan tahtanya pada bara amarah. Rowan, sebaliknya, menebas dengan putus asa, seolah setiap ayunan adalah tuntutan atas keadilan yang tak pernah ia dapat.

 

Akhirnya, dengan satu tebasan kuat, Edrick berhasil melucuti pedang Rowan. Senjata itu terlempar ke lantai, berdering.

Edrick menodongkan Ashenlight ke dada sahabatnya. Nafasnya berat, matanya bergetar.

“Bunuh aku, kalau itu yang kau mau. Tapi ingat, Rowan… kalau api ini jatuh ke tanganmu, Hale akan menjadi lautan darah. Dan itu bukan kemenangan—itu kehancuran.”

Rowan terdiam, dada naik turun. Air mata—entah dari amarah atau kesedihan—mengalir di pipinya. Perlahan ia mundur, menunduk, lalu berbisik lirih.

“Mungkin kau benar, Edrick. Atau mungkin kau hanya terlalu buta untuk melihat.”

Ia mengambil pedangnya dari lantai, lalu pergi meninggalkan ruangan tanpa menoleh.

 

Lyra terisak. Miriel pingsan di kursinya. Para pengawal hanya saling pandang, tak berani bicara.

Edrick menurunkan Ashenlight, lalu berlutut di lantai, tubuhnya gemetar.

“Api… bahkan api ini terbelah,” bisiknya.

Di luar, rakyat masih berteriak. Di dalam, saudara yang dulu bersumpah setia kini mulai berjalan di jalan masing-masing.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!