Amira, wanita cantik berumur 19 tahun itu di jodohkan dengan Rayhan yang berprofesi sebagai Dokter. Keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun Amira dan Rayhan tidak menginginkan perjodohan ini.
Rayhan pria berumur 30 tahun itu masih belum bisa melupakan mendiang istrinya yang meninggal karena kecelakaan, juga Amira yang sudah memiliki seorang kekasih. Keduanya memiliki seseorang di dalam hati mereka sehingga berat untuk melakukan pernikahan atas dasar perjodohan ini.
Bagaimana kisah cinta mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin Aprilian04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinggal di Apartemen
Rayhan membuka pintu apartemennya yang akan di tinggali oleh dirinya dan juga Amira. Lalu ia mengangkat dua koper yang berisikan baju Amira beserta barang-barang penting lainnya.
Amira melangkahkan kakinya mengikuti Rayhan, sekilas Apartemen ini cukup luas dan nyaman. Ruangan yang di dominasi warna putih dan coklat tua itu membuat Amira tertarik. Ia suka ruangan yang cantik dan bersih. Hatinya kembali berandai-andai, jika saja tempat ini ia tinggali berdua dengan Noah, pasti hari-harinya akan sangat bahagia.
"Ayo masuk, ini rumah yang akan kita tinggali." Rayhan menutup pintu kembali saat Amira sudah memasuki rumahnya.
Amira duduk di sofa dengan perasaan sedih. Raut wajahnya sejak tadi terlihat muram, tak sedikitpun wanita itu tersenyum ataupun berbicara selama perjalanan.
"Bi Atin!"
"Iya, Pak!"
"Sini dulu, Bi!"
Tak lama kemudian wanita paruh baya dengan rambut yang sudah memutih itu datang menghampiri. Ia tersenyum lalu menatap Amira hangat.
"Kenalin ini Amira istri saya!"
"Eleuh, eleuh, meni geulis pisan." BI Atin duduk di sebelah Amira lalu mencolek pipi lembut gadis muda itu. Ia sudah bekerja dengan keluarga Rayhan selama 15 tahun, sehingga ia sudah tak segan lagi dan menganggap Rayhan seperti anaknya sendiri.
"Salam kenal, Bi." Amira menyalami wanita paruh baya itu.
"Iya, neng geulis. Kenalin Bibi yang suka bantu-bantu Bapak disini."
"Oh iya, Bi," ujar Amira ramah dengan senyuman manisnya.
"Eleuh eleuh, si neng teh meni jiga muda keneh. Meni masih unyu-unyu gini!" Bi Atin menatap Amira terpesona.
"Iya, BI. Amira masih 18 tahun." sahut Rayhan.
"Eleuh siah, meni masih kecil. Ah si Bapak mah bisa wae milih na nu cantik."
Rayhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa malu di depan Amira. Bi Atin memang sangat polos dan selalu jujur dalam berkata.
"Jadi nanti kalau butuh apa-apa tinggal bilang Bi Atin saja. Semua urusan rumah biar Bi Atin yang urus. Masak juga biasanya Bi Atin yang siapin. Tapi kalau udah punya istri yaa saya harap ada masakan istri tiap harinya. Tapi kalau keberatan... "
"Iyaaa, nanti belajar masak. Bilang aja mau di masakin." Amira memotong pembicaraan Rayhan. Matanya mendelik sebal.
"Iyaa itu maksud saya. Soalnya masakan yang di buat dengan istri sendiri itu pasti beda. Saya gak nuntut apa-apa dari kamu, tugas kamu cuman diam di rumah, keluar cuman kalau ada perlunya aja, terus yaa masakin saya tiap hari."
"Maksudnya aku gak boleh keluar gitu?"
"Iya, mau ngapain keluar kan kalau gak ada perlu!"
"Ya kan aku mau belanja, mau jajan, mau jalan-jalan ke cafe."
"Yaa boleh, tapi sama saya!"
"What? Amira membulatkan matanya.
"Yaa, karena semuanya biar saya yang urus. Soal belanja dapur kamu gak perlu tahu, tinggal catat saja. Biar saya yang belikan atau Bi Atin juga bisa."
"Gak, gak mauuu!" Amira menggelengkan kepalanya. "Mas Rayhan mau jadikan aku istri atau tawanan sih!" Amira menatap kesal sang suami.
Bi Atin yang melihatnya tersenyum lucu, "Maksud Pak Rayhan bukan mau jadikan Neng geulis tawanan. Tapi mau memuliakan Neng sebagai seorang istri!"
"Nah dengerin, Bi Atin." Rayhan mengacungkan jempol di depan Bi Atin.
"Katanya boleh kuliah!"
"Yaa boleh, saya kan cuman bilang kalau hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat lebih baik jangan keluar rumah. Kalau kuliah ya kan mau gak mau harus keluar. Dan saya bolehkan itu!"
Amira semakin di buat stress dengan aturan baru yang akan merubah kebiasaan hidupnya. Tinggal di luar negeri sendiri membuat ia terbiasa hidup bebas tanpa aturan. Ia bebas pergi kemanapun tanpa ada yang melarang, bebas bersama siapapun tanpa ada batasan. Dan sekarang semuanya berubah, ia mendadak menjadi seorang istri yang di haruskan patuh pada suaminya.
"Banyak aturan banget si, kirain kalau udah nikah bakal lepas dari Abi dan Kak Rasyid. Ternyata yang ini lebih parah!" Gerutu Amira menatap kesal Rayhan.
"Yaa memang seharusnya gitu kan dalam Islam. Wanita itu lebih baik diam saja di rumah. Kecuali memang ada hal yang penting dan bermanfaat."
"Iyaa baik, Ustadz Rayhan saya mengerti. Saya juga pernah belajar dulu, jadi tahu hal seperti itu."
"Tapi kenapa gak mau ngelakuinnya kalau gitu?"
"Karena saya anak muda Bapak Rayhan yang terhormat. Bukan om om seperti anda."
"Astagfirullah, benar yaa kata Abi. Kamu sudah tercemari dnegan pergaulan bebas di Paris. Dulu kamu begitu alim."
"Terus jadi ilfeel gitu sama aku? Yaudah bagus!" cibirnya.
"Gak, saya gak ilfeel. Justru ini tantangan buat saya bikin kamu berubah. Mulai saat ini kamu sebagai istri saya harus menuruti semua aturan yang saya buat. Setiap pagi kamu harus mendengarkan ceramah saya, dan setiap malam dari magrib sampai jam 8 malam kamu harus murajaah Al-Qur'an"
"Ih apa sih, Mas. Gak, Amira gak mau!"
"Mau gak mau harus mau!" Rayhan pergi meninggalkan Amira menuju kamarnya.
"Kamar kita disini!" Teriak Rayhan dari balik pintu kamarnya.
"Ish, nyebelin banget sih!" Gerutu Amira.
***
Amira duduk di balkon apartemen itu menatap keindahan kota Bandung setelah hujan. Kota yang banyak di juluki sebagai kota romantis itu memang terlihat indah dan selalu meninggalkan kenangan di setiap waktunya. Ia rindu dengan suasana rumah yang selalu hangat. Suara Ummi dan Abinya yang mengomelinya ternyata ia rindukan meski baru satu hari pindah rumah. Suara sang Kakak yang selalu meledeknya ternyata menjadi sebuah kerinduan yang teramat dalam di hatinya.
Kini ia sudah menjadi seorang istri, dimana ia tidak akan pernah bisa lagi merasakan tidur di pangkuan Ummi dan Abinya setiap malam.
Tak terasa setetes air mata kini membasahi pipinya. Ia benar-benar rindu dengan suasana rumah. Ia baru menyadari bahwa ternyata rumah itu tempat pulang ternyaman, dan ia menyesal dulu selalu mencari alasan untuk keluar dari rumah itu.
Rasanya beda ketika ia kuliah di Paris dan jauh dengan orang tua, kala itu ia merasa bahwa dirinya masih milik kedua orang tuanya. Berbeda dengan sekarang, ia sudah menjadi milik Rayhan selamanya.
"Kenapa nangis?" Suara bariton yang tiba-tiba saja terdengar membuat Amira menoleh ke belakang. Di lihatnya Rayhan yang sudah selesai membersihkan dirinya.
"Kalau ada apa-apa bilang saja. Saya gak mau jadi penyebab sedihnya seseorang!" ujar Rayhan lembut, ia berjongkok menatap wajah Amira.
Amira terdiam, namun matanya kini kembali menitikan cairan bening.
"Ada apa? Apa saya buat salah?"
"Amira mau tinggal sama Ummi Sama Abi. Setelah nikah berarti Amira bakal tinggal disini selamanya yaa?"
"Iya dong, kita gak mungkin tinggal satu rumah sama Ummi dan Abi. Selamanya kamu akan bersama Mas!"
"Huaaaa!" Amira menangis menutup wajahnya dengan tangan.
Rayhan panik, baru saja ia menikah sudah membuat anak orang menangis.
"Hey kenapa?"
"Amira gak mau tinggal sama Mas Rayhan. Amira maunya tinggal sama Abii!" Amira menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya gak bisa dong, Amira. Namanya kalau sudah nikah harus pisah rumah!"
Amira semakin menangis sesenggukan. Bukan hanya sedih karena harus berpisah dengan orang tuanya. Ia juga sedih karena sudah tak ada lagi kesempatan untuk bersama Noah.
"Udah dong jangan nangis terus, Amira. Saya bingung harus ngapain."
"Duh mana anak orang lagi!" ucap Rayhan.
***
Malamnya Amira baru saja merapikan bajunya ke lemari di bantu dengan BI Atin. ia melihat sebuah foto yang masih terpajang di atas nakas. Ia melihat sosok wanita cantik dengan jilbabnya yang menutupi dada serta mahkota di kepalanya. Dan Rayhan tengah memegang perut wanita itu dengan senyuman yang penuh cinta.
Jujur saja, ia baru satu kali bertemu dengan istri Rayhan, itupun kala itu memakai cadar. Jadi Amira tidak mengetahui pasti wajah istri suaminya kala itu.
"Bi!"
"Iya, Neng!" kata Bi Atin. Wanita paruh baya itu terlihat begitu serius membantu nona mudanya membereskan baju.
"Kalau boleh tahu Kak Khadijah meninggal karena apa yaa?"
"Bu Khadijah meninggal karena kecelakaan. Beliau meninggal saat hendak pergi ke Bogor untuk menghadiri sebuah acara seminar di salah satu Universitas disana. Pada saat itu Pak Rayhan gak bisa nganter Bu Khadijah karena ada praktek yang gak bisa di tunda. Jadinya Pak Rayhan selalu merasa bersalah dan di hantui rasa penyesalan sampai sekarang."
"Innalilahi, dulu aku juga tahu informasi ini dari Ummi. Tapi tidak terlalu detail. Aku cuman tahu Kak Khadijah kecelakaan dan meninggal."
"Iya, Neng. Apalagi saat itu Neng Khadijah lagi mengandung 3 bulan. Dan foto itu di ambil tiga hari sebelum kecelakaan."
"Ya Allah." Amira menatap nanar foto wanita berwajah cantik nan ayu itu.
"Pak Rayhan sangat mencintai Bu Khadijah. Karena Bu Khadijah adalah sosok yang sangat baik. Dia perempuan paling lembut dan penyayang yang pernah bibi temui."
Amira terdiam, ada rasa tidak enak dalam hatinya. Mendiang istri suaminya sangat sempurna. Cantik, baik dan lembut.
"Mashaallah, sayang yaa jodoh mereka sebentar."
"Iya, Neng. Makanya Bibi mengerti kenapa Pak Rayhan tidak memperbolehkan Neng Amira pergi sendirian. Jadi seperti ada trauma dalam dirinya."
Amira mengangguk mengerti. Ia tak menyangka jika di balik ketegaran Rayhan, terdapat kesedihan yang mendalam di hatinya.
"Assalamualaikum!"
Terdengar suara Rayhan yang baru saja pulang bekerja. Amira seketika menyibukan diri kembali membereskan baju-baju itu ke dalam lemari.
"Mas Rayhan udah datang, Bi!"