NovelToon NovelToon
Peluang Pulih

Peluang Pulih

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:631
Nilai: 5
Nama Author: jvvasawa

"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."

Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.

Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.

Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.

Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.


Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!

Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!


Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 | HASIL NEGOSIASI

Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

...

Sambil mengayunkan kakiku, pena yang ada di tanganku menari-nari lihai di atas kertas, memindahkan deretan paragraf yang ada di papan tulis ke lembar catatanku, sekalian otakku merekam setiap detail keterangannya ke dalam kepala.

Sesekali, jemari dari tanganku yang menopang kepala, mengetuk-ngetuk pelan pelipisku sendiri, menandakan aku sedang mencerna apa yang kutulis.

Kadang permintaan aneh Zofan juga terlintas sekilas selama jam pelajaran, membuatku semakin penasaran.

Beberapa hari yang lalu, saat aku bermain di rumah Klara, sekadar menemaninya, kami sempat membicarakan soal Zofan yang katanya butuh bantuanku dengan caranya yang tidak kusukai itu.

Meski aku sudah beritahu Sora bahwa aku tidak akan melakukan apa pun sampai Zofan meminta tolong dengan benar, sebenarnya aku sempat memikirkan perkataan Sora.

Apa aku akan membantunya kalau dia kembali meminta dengan lebih baik?

Dan pertanyaanku terjawab, begitu kami – aku dan Klara – tak sengaja bertemu Zofan, Bian, dan Nero; tiga lelaki yang tak pernah terpisah, seakan ada perekat tak kasat mata di antara mereka.

Alhasil kami berlima duduk bersama di warung makan pinggir jalan yang lumayan terkenal di kota kami, ajakan Zofan.

Tak perlu ditanyakan bagaimana canggungnya kami, berhubung ini pertama kalinya aku – Klara dan mereka bertiga berada di satu meja yang sama, bercengkrama. Lebih parahnya, kali ini tak ada Cika, apalagi Sora.

Hening mencengkram kami begitu kuat, menyebabkan Zofan, mau tak mau, kurasa, mengambil kesempatan itu untuk kembali mengungkit permintaannya. Dia mendahuluinya dengan permintaan maaf atas caranya meminta bantuanku.

Awal yang bagus, dan itu membuatku kaget. Berarti, Sora menyampaikan itu padanya. Yah, tak masalah. Justru itu hal yang bagus, agar jadi pelajaran untuk Zofan.

Sebagian besar obrolan didominasi olehku dan Zofan, sementara yang lain hanya menyimak, atau kadang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, entah bermain game seperti Nero dan Bian, atau menekuni beranda media sosial seperti Klara.

Hanya sekitar dua sampai tiga jam kami menghabiskan waktu bersama, cukup untuk membicarakan kapan Zofan butuh bantuanku, dan selebihnya untuk menyantap makanan dalam kesunyian.

Ya, akhirnya permohonan Zofan kusetujui, karena dia sudah lebih tahu cara meminta tolong dengan benar. Tetap saja, sih, gengsinya membuat Zofan masih bertingkah menyebalkan, walau tak separah waktu dia berani mengancamku.

"Natarin, tolong bacakan halaman 139. Apa yang ditulis di situ?"

Lamunanku buyar begitu mendengar perintah guru di kelasku, refleks kubalikkan beberapa halaman, lalu membaca dengan agak keras apa yang dipinta beliau.

Waktu pulang sekolah tiba, aku bergegas mengemas barang-barangku dan tergesa-gesa menyampirkan tasku ke pundak.

Setelah menyapa dan berpamitan pulang dengan beberapa teman kelasku yang masih asik mengobrol dan tak berniat pulang cepat, juga pada teman lain yang masih punya tanggung jawab piket, aku melenggang keluar kelas.

Mana, Zofan? Dan Sora.

Kupikir dia, mereka, akan menungguku di depan kelas. Kemarin Zofan bilang begitu.

Siswa-siswi kelas sebelah sudah pada meninggalkan kelasnya, tapi tak satu pun dari mereka menunjukkan tanda-tanda keberadaan Zofan, dan Sora.

Saat kuputuskan untuk mengintip lewat celah pintu, yang kutemukan hanya sosok Klara yang melambaikan tangannya, menyuruhku masuk. Aku hanya menggeleng merespon ajakannya, yang pastinya dibalas dengan wajah cemberut karena tolakanku.

Kemudian ia memalingkan wajahnya dariku dengan sentakan, seolah merajuk, dan memilih berbincang dengan Cika dan beberapa teman yang lain. Aku terkekeh, sekilas teringat bagaimana awal mula pertemanan Klara dan Cika.

Selain aku, Klara juga salah satu orang yang melindungi Cika dari perundungan.

Aku, Klara, dan Cika, jarang jalan bertiga secara bersamaan. Justru Klara baru berani mendekati Cika sejak aku berada di dekat Cika.

Klara awalnya segan, tapi karena ada aku yang sudah lebih dulu berteman dengannya, jadi dia merasa lebih leluasa untuk ikut berteman dengan Cika, sampai akhirnya malah mereka yang lebih sering menempel berdua.

Tentu aku tak keberatan, terlebih saat itu jadwalku juga sangat padat dengan latihan intensif untuk olimpiade, sehingga tak sempat lagi menemani Cika.

"Nat, kamu melamun?"

Memori lama yang sedang asik kusortir dalam ingatan, seketika kembali tercecer, begitu sapaan Cika menginterupsi.

Kesadaranku juga kembali terkumpul, ternyata kakiku sejak beberapa menit lalu bergerak sendiri sampai sekarang sudah berdiam di lobi sekolah, berteduh dari hujan yang mengguyur aspal jalan.

Indra penglihatanku menoleh ke sisi kanan, mendapati Cika yang menarik kedua sudut bibirnya ke atas kala menyapaku untuk kedua kalinya, kali ini berbentuk teguran, "jangan melamun di depan pintu, Nata. Nanti tersenggol orang lain."

Wah, panjang umur. Orang yang sedang kupikirkan, langsung muncul di sampingku – *bersama kekasihnya, tentu saja. *Sejak mereka meresmikan hubungan, tiga bulan yang lalu, Cika dan Bian selalu pulang bersama.

"Haha, maaf. Habisnya, tadi aku keasikan memikirkanmu, tahu-tahu kau muncul di sini." Manis sekali kata-kataku, Cika sampai terkekeh dan menghela napas, seperti sudah biasa mendengarnya dariku.

"Apa yang kamu pikirkan tentangku, sampai melamun begitu?" Cika menelengkan kepalanya penasaran.

Tidak enak bila aku jujur sedang teringat masa-masa ia tertindas, jadi, "hanya soal pertemanan kita bertiga, dengan Klara. Tiba-tiba saja teringat, saat tadi melihat Klara di kelas kalian."

"Ah, begitu. Ya sudah, aku pulang dulu, ya, Nat? Besok kita ngobrol lagi."

Kelar berpamitan singkat denganku, Cika menepuk lembut lenganku sebagai salam perpisahan. Selebihnya, aku hanya menjadi saksi bagaimana Cika dan Bian menerobos hujan, tanpa tersentuh hujan—

Lidahku mendecak beberapa kali menyaksikan sepasang kekasih itu menembus derasnya hujan dengan santai. Angin bahkan berhembus kencang, tapi sama sekali tak menyentuh mereka, sama halnya dengan rintikan hujan yang bagai tak pernah ada bagi mereka.

Bagaimana tidak? Bian sudah pasti menghalangi air hujan agar tak membasahi tubuh dan seragam mereka yang masih harus digunakan untuk besok, itu jelas. Dia mempergunakan kekuatannya untuk menjeda buliran air yang hendak mengguyur mereka.

Lalu angin yang berhembus, tentu Cika mengarahkannya ke haluan yang lain agar tak mengusik jalan mereka. Bahkan angin itu meleset menyentuh helai rambut mereka.

Hujan membasahi jalan dan pepohonan, tapi enggan menyentuh Bian dan Cika.

Angin menerbangkan dedaunan dan benda sekitarnya, tapi segan menerpa Bian dan Cika.

Jika divisualisasikan, pemandangan di mana mereka berdua jalan terlihat begitu jernih tak terjamah hujan walau setitik airnya pun, seperti dalam bingkai yang kacanya digosok lamat-lamat hingga mengkilap.

Sementara lingkungan di sekitarnya tampak kabur dan berkabut efek derasnya hujan dan kencangnya angin, bagai kaca jendela usang yang lama tak tersentuh.

Benar-benar pasangan yang keren, serasi, dan saling melengkapi.

Pemandangan demikian membuat posisiku serasa figuran nelangsa yang cemburu pada peran utama, dan semakin lah aku merutuki kekuatanku ini.

...

Bersambung

1
Avocado Juice🥑🥑
Luar biasa kisahnya
Jwasawa | jvvasawa: Huhu terima kasih banyaak sudah luangin waktu membaca Peluang Pulih! 🥺💛
total 1 replies
Aishi OwO
Mantap, gak bisa berhenti baca
Jwasawa | jvvasawa: Waaaa terima kasih banyak! Semoga betah terus bacanyaa. /Whimper//Heart/
total 1 replies
Tsuyuri
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
Jwasawa | jvvasawa: Aaaa terima kasih banyak dukungannya! 🥺 akan aku usahakan! ♡♡
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!