NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEPERGOK

Hujan turun dengan derasnya, menari di atas atap dan memeluk jendela dengan irama yang menenangkan. Di dalam rumah, suasana hangat tercipta dari cahaya lembut lampu sudut ruangan dan suara dari film yang dibiarkan menyala sebagai latar.

Jantungnya berdegup tidak karuan. Jarak mereka hanya sehelai bisikan. Di layar, film yang mereka tonton sudah tak lagi menarik perhatian-sebab keheningan di antara mereka justru lebih riuh dari dialog manapun.

Tama menoleh pelan, menatap wajah Kemala yang sedang menunduk, jemarinya mengelus lembut punggung tangan gadis itu.

Sebelah tangan Tama menyelipakan anak rambut Kemala yang sedikit berantakan. Tampak pipi wanita itu kemerahan oleh udara dingin dan rasa yang tak ia ucapkan.

"Kamu kedinginan?" tanya Tama, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan malam.

Kemala menggeleng. Tapi ia tak menolak saat Tama membuka sweater yang dia kenakan lalu dengan lembut disampirkan di bahunya. Sebuah hal sepele namun entah mengapa membuat bunga-bunga di hati wanita itu bermekaran. Meskipun Kemala tahu jika perasaannya ini salah, ia tidak boleh merasakan debaran ini pada Tama. Namun perhatian dari pria itu telah meruntuhkan semuanya.

Hujan semakin deras.

Detik demi detik terasa melambat ketika Kemala menyandarkan kepalanya di bahu Tama. Ada jeda panjang sebelum Tama menoleh, menatap wajah Kemala yang kini begitu dekat. Tatapan mereka bertemu tidak terburu-buru, hanya diam yang saling mengerti.

Tanpa kata, Tama menyentuhkan jemarinya ke pipi Kemala, lembut seperti menyentuh angin. Ia menunduk sedikit, lalu menyentuhkan keningnya ke kening Kemala. Hembusan napas mereka bersatu dalam kehangatan yang tenang.

Kemala menutup mata saat Tama kembali mencium bibirnya, ia membiarkan malam itu membungkus mereka dalam rahasia kecil yang tak perlu diketahui siapa pun.

Suara mobil yang berhenti di halaman depan membuat keduanya terlonjak. Kemala refleks menjauh, menjaga jarak dengan Tama.

Tama yang juga terkejut, mencoba untuk menormalkan ekspresinya kemudian berdiri tegak, pandangannya terarah ke pintu utama yang tertutup rapat.

Lampu depan rumah menyala bersamaan dengan sorotan lampu mobil yang baru saja dimatikan. Suara pintu mobil tertutup disusul langkah-langkah tergesa menyusuri kerikil halaman, terdengar jelas di tengah derasnya hujan.

"Itu... Tante Erina," bisik Kemala pelan, tubuhnya masih membeku di sofa. Buru-buru ia mematikan film yang sedang mereka tonton itu.

Tama bergegas ke arah pintu, membukanya dengan cepat. Hembusan angin dingin dan percikan air hujan langsung menyapa wajahnya.

Di bawah payung hitam, Erina berjalan cepat ke arah teras rumah. Pakaiannya sudah basah, rambutnya menempel di dahi, dan wajahnya memucat diguyur hujan malam.

"Ya ampun, kamu sudah pulang, Mas?" ucapnya tergesa sambil menggigil. "Aku kira masih di Malang? Maaf ya, tadi aku ke rumah Kang Sukardi, ada perlu sedikit."

Tama melangkah mendekat, wajahnya tetap tenang. "Iya, gak apa-apa. Aku gak mungkin ninggalin kamu lama-lama. Alhamdulillah Ibu sudah baikan. Cepat masuk. Aku ambilkan handuk dulu."

Tanpa banyak kata, Tama segera melangkah ke arah belakang rumah. Suasana di ruang tengah berubah senyap. Hujan masih bergemuruh di luar sana, seolah menyamarkan debaran jantung Kemala yang belum juga mereda.

Kemala menatap pintu yang masih terbuka, melihat Tante Erina berdiri di ambang, menepuk-nepuk ujung bajunya yang basah. Beberapa detik kemudian, Tama kembali dengan handuk putih yang langsung disampirkan ke bahu istrinya.

"Dingin banget," keluh Erina pelan, suaranya serak oleh udara malam.

Kemala berdiri kikuk di depan televisi yang sudah ia matikan sejak mendengar suara mobil tadi. Kedua cangkir

Teh yang tadi mereka nikmati masih ada di meja, begitu pula dengan sisa makanan kecil yang belum dibereskan.

Semua itu tak luput dari sorot mata Erina.

"Tante baru pulang?" tanya Kemala, berusaha menjaga nada suaranya tetap ringan.

Erina menatapnya, dan meskipun bibirnya menyungging senyum, sorot matanya memicing, seolah menyimpan tanya. "Iya," jawabnya singkat. "Maaf ya nunggu lama, tadi agak macet. Hujannya juga gede banget, biasalah Bogor tanpa hujan seperti sayur tanpa garam."

Ia menyapu pandangan ke seluruh ruang, menatap dua cangkir dan piring kecil di meja, lalu menoleh ke arah Kemala. "Udah makan?"

"Udah, Tante," jawab Kemala cepat, tangannya mengepal di sisi paha.

"Ya sudah, kalau gitu Tante mau ke kamar dulu ya. Ganti baju terus istirahat. Kamu jangan tidur malam-malam, ya."

Kemala mengangguk. Senyumnya hambar, sekadar sopan santun. "Iya, Tante."

Erina berbalik, menyentuh lengan Tama dengan mesra. "Mas, bantuin aku naik tangga, dingin banget rasanya," ucapnya manja, masih setengah menggigil. Tama mengangguk pelan, membiarkan istrinya mengapit lengannya.

Keduanya mulai menaiki tangga. Langkah kaki Erina terdengar berat, seperti menggiring sisa hujan yang menempel di tubuhnya. Tapi sesaat sebelum hilang dari pandangan, Tama menoleh ke belakang. Pandangannya

Jatuh pada Kemala.

Dan saat mata mereka bertemu, Tama tersenyum-sebuah senyuman yang tak bisa dijelaskan. Terlalu tenang untuk disebut biasa, dan terlalu samar untuk disebut tulus. Ada yang ganjil di sana. Senyuman itu manis, semanis permainan yang baru saja mereka mulai.

Kemala menunduk cepat. Tapi bayangan senyum itu terpatri jelas dalam ingatannya.

Hening kembali menguasai ruangan.

Kemala masih berdiri di depan sofa, matanya memandangi dua cangkir di meja. Uapnya sudah tak ada, namun bekas hangatnya masih tertinggal. Begitu pun dengan hatinya. Ciu-man tadi, singkat dan sederhana, tapi meninggalkan jejak dalam yang tak bisa ia hapus begitu saja.

Tangannya terangkat pelan, menyentuh bibirnya yang sempat disentuh Tama. Ada rasa bersalah yang perlahan menyusup, tapi juga ada sesuatu yang menjerat, membuatnya enggan berpaling dari apa yang telah terjadi.

Ia tahu apa yang mereka lakukan salah. Tama adalah suami dari Tante Erina. Tapi... saat tadi mereka duduk berdua, di antara suara hujan dan suara-suara dari film yang sedang diputar yang membuat bulu kuduk meremang, rasanya dunia lain terbentuk hanya untuk mereka berdua. Film yang Kemala pilih tadi, membuatnya terbawa perasaan.

Kemala menggigit bibir bawahnya. Napasnya tertahan.

Dari arah atas, samar-samar terdengar suara pintu

Kamar utama ditutup. Kemala duduk kembali di sofa, matanya menangkap sweater yang tergeletak di sofa itu. Sweater dengan harum maskulin yang membuat jantung wanita itu berdebar.

Kemala mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. Namun dalam diam malam itu, yang terdengar hanyalah suara hujan dan detak jantung yang belum juga menemukan iramanya.

Wanita itu meraih sweater Tama, memegangnya dengan lembut kemudian perlahan menciumnya. Kemala menghirup aroma itu. Harum yang membuatnya candu.

Keesokan pagi.

Erina menyiapkan tiga bungkus nasi kuning yang dia beli dari tetangganya. Ia sedang malas menyiapkan sarapan. Wanita itu beralasan sedang tidak enak badan.

"Mas, kamu antar dan jemput Kemala hari ini ya. Aku lagi gak enak badan," ujarnya.

Tama yang sudah rapi dengan setelan kemeja itu menatap istrinya dengan cemas. "Apa kamu sakit, Rin? Ke dokter yuk! Nanti Mas antar berobat setelah mengantar Kemala ya!"

Erina langsung menggeleng dengan cepat. "Gak usah. Aku cuman mau istirahat aja. Udah kamu langsung ke cafe aja. Aku gak apa-apa kok," ucapnya.

"Serius? Kalau ada apa-apa, hubungi aku ya! Kamu itu kecapean dari kemarin bolak-balik terus. Jaga kesehatan, Sayang. Jangan sampai sakit," ucap Tama dengan lembut penuh perhatian.

Erina mengangguk dan tersenyum. Mereka saling menatap, terlihat harmonis dan mesra. Kemala yang sedang menikmati sarapannya nampak mencuri pandang. Perasaannya campur aduk. Antara merasa bersalah tapi juga cemburu.

Ia merasa bersalah jika harus menjadi orang ketiga di antara mereka, namun dirinya juga tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa ia cemburu melihat kedekatan Om dan tantenya itu.

Kemala hanya diam sepanjang sarapan. Ia menjawab pertanyaan dari Tama maupun Erina seperlunya saja.

Setelah selesai, wanita itu siap-siap untuk berangkat ke kampusnya. Dan sepanjang perjalanan menuju sekolah, Kemala tetap diam. Wajahnya nampak murung.

Menyadari ada yang aneh, Tama pun bertanya. "Ada apa? Kenapa kelihatannya nggak semangat?"

Kemala menggelengkan kepalanya.

Suasana kembali hening. Tama berpikir apa mungkin Kemala seperti itu karena marah? Dia marah karena dirinya telah berbuat sesuatu yang kurang ajar kepada gadis itu semalam? Meskipun hanya sebatas pegangan tangan dan ciu-man singkat, namun mungkin saja Kemala tersinggung dan merasa dile cehkan.

"Soal yang semalam, lupakan saja. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Maaf ya, Om cuman terbawa suasana. Lain kali jangan nonton film seperti itu!" ucap Tama datar.

Kemala memalingkan wajahnya ke samping arah jendela. Kata-kata Tama barusan semakin membuatnya marah dan kecewa. Kemala berpikir jika dirinya hanya dijadikan pelampiasan saat tante Erina tidak ada.

Keduanya salah paham.

Suasana kembali hening, tidak ada obrolan lagi hingga tak terasa mereka telah sampai. Kemala langsung keluar dari mobil sejuta umat itu tanpa pamit lebih dulu pada Tama.

BRUK.

Suara pintu mobil yang ditutup kencang, membuat Tama terkejut. Kemala berjalan sambil cemberut memasuki gerbang sekolah.

Tama geleng-geleng kepala. 'Gadis remaja memang labil. Aah, namanya juga anak satu-satunya. Wajar jika dia manja. Aku harus bisa lebih mengontrol diri. Jangan sampai kejadian semalam terulang lagi. Pasti Kemala sangat marah dan kecewa. Aku harus menjaganya, bukan malah merusaknya!'

**

Pukul 13.00

Kemala melangkah keluar dari gerbang kampus siang itu bersama tiga teman barunya.

Wanita itu langsung meraih ponsel kemudian menghubungi Tama.

"Om, gak usah dijemput ya. Aku mau jalan-jalan ke mall sama teman. Boleh gak?" Suara Kemala masih terdengar datar.

Tama yang sedang sibuk di cafenya nyaris tak mendengar. Musik dari speaker, dering kasir, dan suara pelanggan tumpang tindih di sekitarnya. Ia menjauh sejenak dari area dapur, menyumpal telinga dengan jari sambil menjawab.

"Oh, oke. Boleh kok. Asal jangan pulang malam-malam ya! Nanti kalau pulangnya mau dijemput, kamu sharelok aja."

"Oke." jawab Kemala singkat.

Bersama Yola si tomboy dengan motor sport-nya, Kiren si kutu buku, dan Sintya yang modis dan centil, mereka menuju mall terbesar di pusat kota. Kemala dibonceng Yola, angin menerpa wajahnya sepanjang perjalanan. Ia merentangkan tangan dan berteriak kecil, "Huuhhhh, seru banget!"

"Lebay Lo, La. Udah kayak burung keluar dari sangkar," ledek Yola sambil tertawa.

Sementara Kiren dan Sintya menaiki mobil jemputan mereka.

Tawa mereka pecah, memenuhi jalanan ibukota yang padat.

Setibanya di mall, para gadis langsung menyerbu pusat perbelanjaan. Sintya menggandeng Kemala menuju salah satu butik.

"Lo harus beli baju yang stylish. Gak bisa terus-terusan pakai model kayak ibu guru," kata Sintya sambil menunjuk beberapa atasan crop top.

"Ayo, Mala. Sekalian potong rambut juga. Kita benerin tampilan Lo!" seru Yola semangat.

Kemala hanya terkekeh, lalu menuruti mereka. Ia

Memang belum terlalu peduli dengan penampilan meskipun punya uang untuk membeli barang yang dia inginkan. Tapi hari ini, entah kenapa, ia ingin mencoba hal baru.

Dua jam berlalu. Kemala kini tampil berbeda. Rambut panjangnya dipangkas sebahu, diblow bervolume dengan poni samping. Wajahnya tampak lebih cerah.

"Jangan dikuncir atau dikepang lagi ya. Tuh kan, Lo itu cakep, Mala!" puji Sintya sambil menepuk pelan pundaknya.

"Jangan lupa perawatan biar kulit kita sehat," timpal Kiren.

Kemala tersipu malu, hatinya hangat.

"Eh, gue lapar. Yuk makan!" seru Kiren.

"Ayok! Biar aku yang teraktir ya!" kata Kemala.

"Gak usah, Mala. Kita itu tulus mau temenan sama Lo, bukan mau manfaatin lo!" ucap Yola tegas, membuat Kemala tersenyum.

"Siapa yang merasa dimanfaatin? Aku juga tulus kok pengen traktir kalian. Yuk kita makan. Tempatnya dimana nih?" balas Kemala.

"Food court lantai atas aja!" jawab Sintya girang.

Mereka naik eskalator sambil tertawa, membawa belanjaan di tangan kanan dan kiri. Kemala merasa hari ini sempurna. Tidak ada tangis. Tidak ada kenangan yang membuat dadanya sesak. Ia beruntung karena bertemu dengan tiga orang wanita yang mau berteman dengannya dengan tulus. Kemala terus kepikiran kata-kata ketika temannya itu.

Sepertinya ia memang harus memulai sesuatu yang baru.

Bukan untuk berfoya-foya melainkan untuk menikmati apa yang memang seharusnya dia nikmati sejak lama.

Kepergian kedua orang tuanya meninggalkan begitu banyak luka dan kesedihan. Namun ia tidak boleh terus terpuruk. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa membuat kedua orang tuanya bangga. Setelah lulus dia akan lanjut kuliah lalu meneruskan bisnis mendiang ayahnya.

Namun segalanya berubah saat matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.

Langkahnya terhenti. Tawa menguap dari wajahnya.

"Tante Erina...?" bisiknya lirih.

Matanya membelalak. Di tengah keramaian food court, sosok yang ia panggil Tante itu berjalan mesra dengan seorang pria asing. Bukan hanya berdekatan, tapi bergandengan tangan. Kepala Tante Erina bersandar manja di bahu pria itu, dan mereka tertawa lepas seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.

Darah di wajah Kemala seakan menghilang.

'Bukankah pagi tadi Tante bilang dia gak enak badan gara-gara kehujanan semalam. Jadi, Tante membohongi Om Tama?"

Kemala merasa tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu harus marah, sedih, atau kecewa. Yang jelas, rasa hormatnya pada sosok perempuan itu mulai terkikis.

Tante Erina. Adik kandung ibunya. Istri dari Tama-lelaki yang menurut Kemala sangat sempurna dan sangat perhatian. Erina ternyata benar selingkuh, dan Kemala memergokinya sendiri.

Kemala buru-buru menyembunyikan dirinya di balik dinding kaca salah satu tenant. Matanya masih tertuju pada pemandangan itu mesra dan menusuk.

'Aku gak bisa diam.'

Meski ia kecewa, ia tak ingin menghancurkan rumah tangga tantenya. Tapi ia juga tak bisa membiarkan ini terus terjadi.

Tangannya gemetar saat merogoh saku. Ia mengeluarkan ponsel, lalu menyalakan kamera.

Klik!

Satu, dua, hingga tiga jepretan. Cukup untuk dijadikan bukti.

Ia menatap layar ponsel, melihat foto kemesraan itu.

Bukan untuk disebar.

Bukan untuk membuat keributan.

Tapi cukup menjadi senjata untuk Kemala memberi perhitungan pada tantenya dan menyadarkan wanita itu bahwa dia telah salah. Kemala tidak mau tantenya menghianati suaminya sendiri.

'Aku harus membuat tante Erina sadar, jika dia tidak bisa berubah dan terus berkhianat,... maka aku akan merebut Om Tama darinya.'

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!