Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetangga
Gemercik hujan dan angin semilir menyapu wajah Vania. Langkahnya terhenti, lalu kembali masuk dalam minimarket, matanya menyapu deratan rak, mencari payung untuknya terhindar dari hujan. Nihil. Tak ada satu pun di sana.
“Payungnya sudah habis, kak. Belum restock lagi.” Ujar pegawai dengan nada ramah.
Vania mengangguk, mungkin memang ia harus menunggu hujan mereda. Ia berjalan ke arah dispenser minuman, memilih menu favoritnya, dan menekan tombol pada mesin. Keluar cairan panas berwarna coklat, aroma manisnya tercium, menggugah selera Vania untuk segera menyesapnya. Coklat panas memang paling cocok untuk menemaninya.
Setelah selesai melakukan pembayaran di kasir, Vania duduk di bangku depan, tempat biasa pelanggan singgah. Entah untuk menunggu hujan mereda seperti dirinya, atau sekedar merenungi kehidupan yang tak pernah sesuai keinginan.
Hujan sore itu cukup mendadak, disertai tiupan angin yang membawa daun berguguran. Digenggamnya paper cup dengan kedua tangannya untuk menghangatkan. Sesekali Vania menyesap coklat panas, menimbulkan uap napas dari mulutnya.
“Hujannya mungkin awet, bisa pulang gak ya?” gumamnya pelan, Vania meraih ponsel, menatap layar, tertera angka empat yang menujukkan waktu saat ini.
Suara hujan kian menderu, udara terasa berat dan dingin. Vania meletakkan coklat panasnya di meja, mengusap kedua telapak tangannya, mencari kehangatan. Pandangannya menyapu sekitar, sore itu begitu sunyi, hanya ada dia dan dua pegawai di dalam.
Vania memperhatikan air yang mengalir di jalan beraspal, menciptakan sungai-sungai kecil yang meluncur ke lubang selokan. Kemudian terbelah saat sebuah motor melaju ke arahnya. Mungkin dia mau berteduh, pikirnya. Dengan helm full face dan jaket hitamnya, pengendara itu turun dan setengah berlari menuju teras minimarket.
Tetesan air mengalir membasahi ubin, Vania hanya terdiam, ekor matanya refleks melirik saat pengendara itu melepas helmnya.
Bola matanya membulat, ketika melihat sosok di balik helm itu. Vania bergumam lirih, “Rayhan,”
Rayhan menyisir rambut ke belakang dengan jarinya, lalu melepaskan sarung tangan dan jaket yang basah kuyup karena menerjang hujan. lalu ia terpelonjat saat melihat Vania ada di sebelahnya sejak awal. Rayhan sama sekali tidak menyadari, sebab hujan deras memburamkan pandangannya.
“Vania ...” ujarnya lirih. Mendadak Rayhan gelagapan, niat hati ingin berteduh, justru ia terkurung dalam suasana canggung.
Vania tak menjawab, pandangannya kembali lurus ke depan. Sedangkan Rayhan menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal.
“Gue boleh duduk di sini?” tanya Rayhan.
Hening, Vania masih merapatkan bibirnya. Menoleh pun ia enggan. Melihat reaksinya, Rayhan berjalan menjauh, duduk di sudut teras dekat dengan genset minimarket.
Tak ada yang membuka suara, hanya hujan, laju kendaraan dan musik dari dalam minimarket yang samar-samar terdengar. Vania menoleh, melihat Rayhan yang duduk berjongkok. Bola matanya melihat jalanan, namun sesekali menyembunyikan pandangannya dari Vania.
“Sini duduk, di situ kotor!” ujar Vania sedikit meninggikan suaranya melawan bunyi hujan.
Rayhan mengernyitkan dahinya, antara bingung atau tidak mendengar. Lalu, Vania menepuk kursi di sebelahnya, yang mengartikan ‘Duduk sini!’. Rayhan mengulum senyumnya, melangkah pelan menghampiri Vania. Ia bersandar di kursi, menatap Vania yang kembali memalingkan wajahnya.
“Gue gak ngikutin lo, inget kan kalo kita satu komplek? Jadi gue cuma mau pulang terus hujan.” Ujar Rayhan memecah keheningan.
Vania mengangguk, Rayhan kembali bersuara, “Gue ... minta maaf soal kejadian tempo lalu, gue hanya ingin deket sama lo tapi ternyata caranya salah.”
Rayhan mengakui kesalahannya, ia tak ingin melepaskan kesempatan yang sudah di berikan Tuhan.
“Gue gak berharap lo langsung maafin gue kok. Hanya saja, gue mau menebus kesalahan kalau bisa.” Vania masih membisu, namun telingannya menunggu kelanjutan dari perkataan Rayhan.
“Entah itu sesuatu yang mahal atau hal tersulit sekali pun. Kalau gue bisa, akan gue lakukan.” Ungkap Rayhan dengan harap-harap cemas.
Vania memutar wajah perlahan, mengunci pandangan tepat di matanya, seketika membuat Rayhan lupa caranya bernapas. Ada desiran aneh yang menjalar ke dadanya.
“Jauhin gue, anggap kita gak pernah kenal.” Kata Vania pelan tapi tegas, seperti vonis.
Rayhan membeku sesaat, ia menarik napas panjang, tapi rasanya sesak. Akhirnya ia sadar, dari dulu Vania tak pernah menganggapnya ada. Rayhan tersenyum, walau getir di dadanya menusuk.
Kemudian, ia berdiri dan berkata, “Akan gue usahain, tapi ... gue gak janji ya.”
Rayhan memakai jaket dan helm, setelah itu kembali menerjang derasnya hujan. Meninggalkan Vania yang menggenggam paper cup dengan uap yang sudah hilang.
“Maksudnya bukan sekarang juga ...” gumamnya pelan. Kini, giliran dia yang merasa bersalah, sebab mengusir seseorang yang hendak berteduh.
Hujan perlahan mengecil, meninggalkan sisa gerimis yang jatuh ragu di udara. Langit kelabu berubah oren kemerahan, menandakan hari mulai petang. Vania berjalan dengan kantong plastik berisi camilan.
Langkahnya terasa berat, seakan ada beban berat yang sengaja terikat di dadanya. Apakah tindakannya tadi sudah benar? Atau keterlaluan? Kebimbangannya itu terasa bising, lebih ribut dari keramaian mana pun.
Tiba-tiba, buah apel menggelinding tepat di bawah kaki Vania. Ia memungut beberapa buah yang jatuh tercecer di jalanan. Ternyata, itu milik seorang nenek yang buahnya terjatuh karena kantongnya robek. Vania menghampiri nenek yang terlihat kelimpungan.
“Saya bantu bawakan ya, nek.” Ujar Vania dengan sopan.
Nenek itu tersenyum manis, mengelus tangan Vania dengan lembut dan berkata, “Terima kasih nak, udah cantik mau menolong nenek tua ini. Padahal tadi di jalan banyak pemuda, tapi tidak ada yang mau bantuin nenek.”
Vania membalas senyum dengan lebih hangat, ia mengingatkannya pada almahrum neneknya. “Nenek mau pulang? Biar saya bantu bawakan sampai rumah ya?”
“Boleh, kalau nenek tidak merepotkan.”
“Tidak kok nek, malah saya senang bisa membantu.” Balas Vania, sembari meraih kantong belanjaan nenek yang lain. Mereka pun berjalan dan nenek memperkenalkan diri, beliau biasa di panggil Oma Ida. Ternyata, rumahnya tepat di belakang rumah Vania.
“Terima kasih , nak Vania. Kata ‘Terima kasih’ ini menang kecil, tapi besar sekali artinya.”
“Iya nek, memang artinya apa nek?” tanya Vania berusaha menanggapi dengan sopan.
“Berterima kasih itu, bagai bunga yang membuat siapa pun yang menerimanya merasa dihargai.” Ujar oma Ida mulai memberi wejangan.
Vania mengangguk setuju dan sedikit menanggapi oma Ida.
“Kalau tolong artinya kita merendahkan diri memanggil kebaikan orang lain. Dan kata maaf sebagai jembatan, untuk menghubungkan kembali hati yang mulai retak. Dengan begitu kita sebagai manusia bisa saling rukun tanpa perlu saling menyakiti.” Oma Ida tersenyum, mengelus lembut tangan Vania.
Vania menunduk, suaranya terdengar pelan. “Kalau kita yang belum bisa memaafkan, bagaimana oma?” tiba-tiba ia mengingat kembali tindakannya pada Rayhan, yang menyisakan sedikit rasa bersalah.
“Kalau itu, hak kamu, namun alangkah baiknya, kita memberi satu kesempatan untuk orang itu memperbaiki diri. Mungkin saja, dengan kita memberi kesempatan akan membuatnya berubah dan tidak lagi mengulang kesalahan yang sama.”
“Kita hanya manusia biasa, melakukan kesalahan itu hal wajar. Yang terpenting kita mau berusaha menjadi lebih baik.” Lanjut oma Ida, suaranya lembut dan menenangkan. Sebuah nasehat yang terasa personal untuk Vania.
Tak terasa Vania sudah sampai di depan rumah bergaya modis, memasuki halaman depan yang berkilap oleh genangan kecil. Vania melihat jendela-jendela kaca besar berembun tipis, seolah bernapas bersama udara dingin yang masih mengandung aroma tanah basah.
Oma Ida menekan bel di samping pintu, membuat Vania terheran. *Kenapa beliau menekan bel rumahnya sendiri*. Tidak lama, pintu terbuka. Tepat di depan wajahnya, terpampang dada bidang dengan kulit yang masih basah tanpa tertutup sehelai kain.
Dengan cepat Vania menutup wajahnya, terkejut tiba-tiba disuguhi pemandangan seperti itu. Jantungnya berdebar, antara terkejut dan malu. Kini pipinya terasa panas, kontras dengan udara yang dingin.
“Rayhan! Kenapa keluar gak pake baju! Malu-maluin tamu!” pekik oma Ida melihat kelakuan cucunya, tangannya sibuk melayangkan tamparan kecil di lengan Rayhan yang sama sekali tidak sakit.
Bola mata Rayhan seakan keluar, terkejut melihat keberadaan Vania yang tepat di depan rumahnya. Tanpa sadar ia mengelap air di dadanya dengan handuk, matanya tak lepas dari Vania.
“Kok oma datang gak bilang-bilang? Kenapa datang sama Vania!” seru Rayhan, Ia lebih heran Vania datang daripada Omanya. Rambutnya masih basah, dengan handuk kecil yang menggantung di lehernya. Untung saja ia sudah mengenakan celana training panjang berwarna hitam.
“Nak Vania ini yang bantuin oma di jalan. Dia temen kamu?” tanya oma Ida.
Rayhan melirik Vania yang masih memalingkan wajahnya, tak nyaman dengan Rayhan yang masih bertelanjang dada tanpa rasa malu.
“Temen kampus oma.” Jawab Rayhan singkat.
“Kenapa Oma ke sini sendiri? Mana Kang Jono?” lanjutnya sembari mencari keberadaan supir pribadi omanya.
“Tadi mobilnya mogok di depan, jadi oma jalan saja. Terus ketemu gadis cantik dan baik hati ini.” Balas oma Ida sembari menggandeng lengan Vania.
“Kok jalan sih oma? Kalau mama tahu, bisa diomelin oma nih. Kan lutut oma lagi sakit.”
“Gak papa, hitung-hitung olahraga. Lagian oma kan tidak sendiri. Harusnya kamu berterima kasih sama Vania.” Ujar oma Ida.
Rayhan menatap Vania, “Thanks ya, Van. Udah mau nganterin oma gue.”
“Iya, sama-sama.” Jawab Vania.
Vania tak tahu harus berkata apa lagi. Padahal dirinya lah yang meminta Rayhan untuk menjauhinya. Namun, justru ia yang menghampiri rumahnya tanpa ia sangka. Sedangkan Rayhan, merasa senang bercampur bingung. Mungkin kah ini takdir Tuhan yang menyuruhnya terus dekat dengan Vania?
“Kenapa diem aja? Diajak masuk dong!” ujar oma Ida yang heran dengan sikap keduanya.
Rayhan kembali melirik Vania, “Mau masuk bentar? Udah mau maghrib, nanti gue anter pulang.”
“Nggak perlu, rumah gue di belakang persis.” Tolak Vania dengan nada halus, mengingat masih ada oma Ida di antara mereka.
“Belakang rumah gue?” tanya Rayhan setengah teriak.
“Loh, kamu gak tau rumah temen kamu tepat di belakang?” kini oma Ida yang bertanya heran.
“Vania baru pindah dua minggu yang lalu oma.” Jelas Vania.
“Bagus dong, nanti aja pulangnya. Kan deket.”
“Oma, jangan maksa gitu dong.” Rayhan menghela napas, jelas tak ingin membuat Vania merasa risih.
“Makasih, Oma. Tapi saya sudah di tunggu mama di rumah.” Balas Vania, ia lalu berpamitan.
“Tunggu. Van. Gue beneran gak tau kita tetangga.” Ujar Rayhan, tak ingin membuat Vania berpikir ia menguntitnya lagi.
“Iya ...” jawab Vania dan kembali melangkah, meninggalkan Rayhan yang masih menatap hingga sosoknya lenyap dari pandangan. Ia tersenyum getir, menyadari bahwa ia tidak akan bisa menyerah pada Vania. Tidak, ia tidak akan menyerah. Mengingat sekarang ia tahu rumah Vania yang begitu dekat dengannya. Rayhan akan mencoba memperbaiki kesalahannya pelan-pelan.
.
.
.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih