NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:361
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kota Yang Retak

Arvendral pernah dikenal sebagai kota cahaya. Setiap menara dipenuhi lampu kristal, setiap jalan dipoles dengan batu putih yang berkilau saat fajar. Tapi setelah malam darah itu, cahaya memantulkan sesuatu yang lain—bekas merah tua di batu, bau daging terbakar yang belum juga hilang.

Edrick berdiri di balkon menara timur, menatap jauh ke arah distrik miskin. Dari sana asap mengepul, bukan karena perayaan, melainkan rumah-rumah yang dibakar oleh warga sendiri.

Rowan berdiri di belakangnya. “Mereka tak lagi melawan pengawal, Pangeran. Mereka saling bunuh. Saudara melawan saudara.”

Edrick menggenggam reling sampai buku jarinya memutih. “Dan semuanya atas namaku.”

---

Di aula besar istana, para bangsawan duduk di kursi batu panjang. Wajah mereka seperti ukiran marmer—dingin, tak tersentuh.

“Pemberontakan sudah dimulai,” kata Lord Thalric. “Kita tidak bisa lagi memperlakukan Hale muda itu sebagai sekadar pewaris. Ia kini menjadi ancaman.”

Lady Corvane tersenyum tipis. “Ancaman? Atau alat yang bisa dipakai? Selama rakyat percaya padanya, kita bisa mengarahkan ke mana mereka melangkah.”

Beberapa bangsawan mendengus, menolak gagasan itu.

“Dia sudah mengotori darah bangsawan dengan berpihak pada sampah jalanan!” sahut salah satu lord.

Corvane menjawab pelan, hampir berbisik namun cukup keras terdengar di aula:

“Dan justru karena itu, darah rakyat kini menetes atas namanya. Itu adalah kekuatan. Kekuatan yang bisa menghancurkan… atau menobatkan.”

Kata-kata itu menggantung di udara.

---

Kabar tentang api biru dan pidato Edrick menyebar lebih cepat dari angin. Di distrik miskin, orang-orang mulai menggantung kain biru di jendela mereka sebagai tanda kesetiaan pada pangeran.

Di distrik tengah, para pedagang mulai ragu. Ada yang mengirim makanan diam-diam ke pengikut Edrick, ada pula yang melaporkannya pada pengawal.

Sementara di distrik bangsawan, bendera dewan dikibarkan lebih tinggi dari sebelumnya, dijaga prajurit bersenjata lengkap.

Lyra berjalan di antara pasar, wajahnya ditutupi tudung. Ia kembali dengan laporan pada Edrick. “Kota ini bukan lagi satu, Pangeran. Ini sudah dua kota dalam satu tembok.”

Edrick mendesah. “Dua kota… satu retakan yang bisa menghancurkan segalanya.”

---

Malam itu, Edrick tidak tidur. Di lorong sempit menara, ia mendengar suara langkah pelan. Bukan penjaga, bukan pelayan.

Ia menarik Ashenlight setengah dari sarungnya. Api biru samar menyala, cukup untuk melihat sosok berjubah hitam berdiri di ujung lorong.

“Siapa kau?” tanya Edrick.

Sosok itu membuka tudungnya. Wajahnya pucat, matanya kelabu seperti abu. “Aku utusan dari luar tembok. Dari desa yang telah ditelan kabut.”

Jantung Edrick berdegup. “Bagaimana kau bisa lolos dari kabut?”

Pria itu tersenyum kecut. “Aku tidak lolos. Aku membawa pesan dari mereka yang tak lagi hidup. Kabut akan masuk ke kota ini, Pangeran. Retakan yang kau buat hanya pintu bagi kami untuk masuk.”

Lalu ia lenyap, seakan menyatu dengan bayangan.

---

Keesokan harinya, Edrick memanggil lingkaran kecilnya: Rowan, Lyra, Darius, dan Selene.

“Retakan ini bukan hanya masalah politik,” kata Edrick tegas. “Kabut tahu. Mereka akan menggunakan celah ini untuk masuk. Kita harus bersatu sebelum kota jatuh.”

Darius menggeleng. “Kau bicara seolah semua orang bisa diyakinkan. Dewan tidak akan menyerah, dan rakyat sudah terlalu haus darah. Persatuan hanya mimpi.”

Rowan menambahkan dengan suara rendah, “Kalau kau tetap mencoba, kau akan dihancurkan oleh kedua belah pihak. Mereka semua hanya menunggu waktu.”

Edrick menatap mereka satu per satu. “Kalau begitu, aku tidak bicara soal menyatukan mereka semua. Aku bicara soal menemukan siapa yang benar-benar rela melawan kabut. Siapa pun mereka, dari kasta mana pun. Mereka akan jadi pasukan sejati kita.”

Selene tersenyum samar. “Akhirnya, kau mulai berbicara seperti pemimpin.”

---

Malam itu, Edrick turun sendiri ke distrik miskin. Ia tidak mengenakan jubah bangsawan, hanya mantel biasa. Rowan mengikutinya diam-diam, waspada.

Di sebuah gudang tua, puluhan orang berkumpul. Mereka adalah rakyat yang mencoba menyalakan api biru, meski sebagian besar gagal dan hanya meninggalkan luka di tubuh.

Seorang pria tua berdiri, tubuhnya dipenuhi bekas luka. “Pangeran Hale,” katanya dengan suara serak. “Kami siap mati demi api biru. Tapi kami tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Ajari kami.”

Edrick menatap Ashenlight. Api biru menyala, memantulkan wajah-wajah penuh harapan.

“Aku tidak bisa memberi kalian api ini,” katanya perlahan. “Tapi aku bisa memberi kalian tujuan. Api biru bukan milik bangsawan. Bukan milik dewan. Ia milik mereka yang berani berdiri melawan kegelapan.”

Kerumunan bergemuruh. Beberapa berlutut, beberapa menangis. Untuk pertama kalinya, Edrick merasakan bahwa ia bukan hanya simbol… ia mulai benar-benar menjadi pemimpin.

---

Sementara itu, di istana, Lady Corvane berdiri di depan jendela. Dari menara, ia bisa melihat cahaya biru samar di distrik miskin.

Seorang pelayan masuk, membisikkan kabar. “Pangeran Hale telah mengumpulkan orang-orangnya. Mereka menyebut diri mereka ‘Api Penjaga’.”

Corvane tersenyum tipis. “Bagus. Biarkan ia membentuk pasukan kecilnya. Semakin banyak orang percaya padanya, semakin mudah aku membuatnya jatuh.”

Ia mengangkat cawan anggur, menatap cairan merah yang berputar di dalamnya. “Biarkan kota ini retak. Dari retakanlah racun paling manis masuk.”

---

Edrick kembali ke menara menjelang fajar. Tubuhnya lelah, tapi matanya menyala. Lyra menunggu dengan wajah khawatir.

“Kau gila,” katanya. “Kalau dewan tahu kau mengumpulkan rakyat, mereka akan menuduhmu pemberontak secara resmi.”

Edrick menatapnya serius. “Aku tidak lagi peduli dengan apa yang dewan sebut aku. Aku peduli dengan apa yang kabut lihat aku. Dan aku ingin kabut tahu—aku bukan sekadar pewaris. Aku musuh yang akan menyalakan api di hadapan mereka.”

Lyra terdiam, lalu menunduk. “Kalau begitu… kami bersamamu sampai akhir.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!