Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Kesedihan, kenangan, dendam Alisiya.
Alisiya melesat masuk ke dalam kamar, rambut pelanginya berhamburan seperti api yang menyala. Wajahnya dipenuhi amarah yang membara, mata biru mudanya menyala seperti es yang tajam. "Berani… beraninya kalian menggeledah rumah sahabatku!!" suaranya menggelegar, menggema di ruangan yang sempit. Ia menggertakkan giginya, tangannya mengepal kuat, menunjukkan kemarahannya yang tak terbendung.
Sebuah pisau kilat muncul di tangannya, cahaya baja memantul di bawah cahaya redup. Ia berlari menuju Reina, niatnya jelas—menusuk. Keempat teman Reina berseru serentak, "Reina!!!" Suara mereka penuh ketakutan dan kekhawatiran. Mike, Jimmy, dan Helena siap untuk melindungi Reina, tubuh mereka menegang, siap untuk bertindak. Alice, dengan wajah pucat karena ketakutan, menutup mulutnya dengan tangannya.
Namun, Reina bergerak lebih cepat. Dengan refleks yang luar biasa, ia menghindar dari serangan Alisiya, menangkap pergelangan tangan Alisiya dengan cepat dan tegas. "Jadi… kau… kau adalah Alisiya!" katanya, suaranya sedikit bergetar, namun tetap tegas. Ia menatap Alisiya dengan tatapan yang penuh dengan kejutan dan sedikit rasa takut.
Alisiya menarik tangannya dengan keras, namun Reina memegangnya erat. "Kau tahu apa tentangku?!" teriaknya, suaranya penuh dengan kemarahan dan kebencian. Ia mencoba melepaskan tangannya, namun Reina memegangnya dengan kuat.
Dengan cepat, Alisiya menendang perut Reina. Reina berhasil menangkis tendangan itu dengan tangkisan kaki, namun ia terhuyung ke belakang, menunjukkan betapa kuatnya tendangan Alisiya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menstabilkan dirinya. Ekspresi wajahnya berubah dari kejutan menjadi fokus dan siap bertarung.
Keempat temannya berdiri berdekatan, menunjukkan kesolidaritasan mereka. Mereka menatap Alisiya dengan tatapan yang penuh dengan kewaspadaan dan sedikit rasa takut. Ekspresi wajah mereka berubah-ubah, menunjukkan berbagai emosi—ketakutan, kekhawatiran, dan tekad.
Alisiya menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka jaket tebalnya. Di bawahnya, terlihat baju teknologi baja yang menutupi seluruh tubuhnya. Di tangan kanannya, terdapat sarung tangan robot yang berkilauan. Ia mengeluarkan sebuah pisau hologram berwarna pelangi, cahaya pisau itu berkilauan di udara. "Siapa… siapa kalian?!" teriaknya, suaranya penuh dengan kemarahan dan ancaman. Ia berdiri tegap, menunjukkan kesiapannya untuk bertarung.
Alice, dengan suara yang bergetar karena ketakutan, mencoba untuk menenangkan Alisiya. "Tenang… Alisiya… kita satu SMP denganmu dan Andras, bahkan Leon juga…" katanya, suaranya penuh dengan rasa harap. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud untuk membahayakan Alisiya.
"Kau pikir… kalian pikir aku akan percaya?!" teriak Alisiya, kemarahannya semakin memuncak. Ia menerjang menuju mereka, pisau hologramnya berkilauan di udara.
Mike dan Jimmy dengan cepat memasang sikap pertahanan, siap untuk menyerang Alisiya. Reina, dengan cepat dan gesit, melangkah maju, menendang tangan kanan Alisiya dengan keras. Alisiya meringis kesakitan, sarung tangan robotnya terlepas dari tangannya. Reina dengan cepat mengambil sarung tangan itu.
"Ini… sama seperti Kei dan yang lainnya di saat ingin menyelamatkan aku… Ini seperti alat teknologi buatan Andras," kata Reina, suaranya penuh dengan keyakinan. Ia menatap Alisiya dengan tatapan yang penuh dengan rasa simpati dan sedikit rasa kasihan.
Alisiya terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara yang sedikit bergetar, "Kau… jangan mengarang-ngarang tentang Andras!!" Ia menatap Reina dengan tatapan yang penuh dengan keraguan dan sedikit rasa takut.
Perkelahian pun meletus. Reina, dengan kegesitannya, menghindari serangan Alisiya yang sangat lincah. Pukulan dan tendangan beradu dengan cepat, menciptakan suara yang keras dan menegangkan. Alisiya, dengan kekuatan dan kecepatannya, mencoba untuk menjatuhkan Reina. Namun, Reina terlalu gesit untuk ditaklukkan. Alisiya, yang meremehkan kemampuan Reina, akhirnya terjatuh ke lantai. Ia menarik napas dalam-dalam, menunjukkan bahwa ia sedikit kelelahan. Ekspresi wajahnya berubah dari kemarahan menjadi kejutan dan sedikit rasa takut.
Alisiya bangkit dengan cepat, gerakannya luar biasa lincah dan mematikan. Rambut pelanginya bergoyang seperti api yang menyala-nyala, mata biru mudanya berkilat dengan kemarahan dan kebencian. "Kau… jangan senang dulu!!" suaranya tajam seperti pecahan es. Ia menyerbu Reina dengan kecepatan kilat, pisau hologramnya berputar-putar seperti ular berbisa.
Reina menangkis serangan Alisiya dengan gesit, namun ia terkecoh. Alisiya dengan cepat menendang sarung tangan robot yang dipegang Reina, menjatuhkannya ke lantai. Dengan kecepatan kilat, ia menangkap sarung tangan itu dan memasangnya kembali ke tangannya. Gerakannya lancar dan presisi, menunjukkan keahlian bertarung yang tinggi.
Reina melihat tangannya yang merah karena benturan, namun ia tidak menunjukkan rasa sakit. Mike, Jimmy, Helena, dan Alice mendekat, menunjukkan kekhawatiran mereka. Alice, dengan suara yang lembut dan penuh kekhawatiran, berkata, "Kau tidak apa-apa, Reina?"
Reina menatap Alisiya dengan tatapan yang tegas dan penuh tekad. "Aku tidak apa-apa… Biarkan aku yang bertarung, sembari menyadarkannya…" katanya, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Ia menarik napas dalam-dalam, menunjukkan kesiapannya untuk bertarung.
Mike, dengan ekspresi wajah yang tegang, menunjukkan kekhawatirannya. "Tapi ini terlalu berbahaya untukmu…" katanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Ia menatap Reina dengan tatapan yang penuh dengan rasa khawatir.
Reina tersenyum sedikit, menunjukkan kepercayaan dirinya. "Kau pikir aku tidak bisa bertarung? Kelemahanku, yaitu jantung lamaku, sudah hilang. Sekarang aku bisa leluasa menggerakkan tubuhku…" katanya, suaranya penuh dengan keyakinan. Ia melangkah maju, menunjukkan kesiapannya untuk bertarung. "Percaya lah… Tim selalu percaya dengan rekannya…"
Reina berdiri berhadapan dengan Alisiya, jarak di antara mereka hanya beberapa langkah. Reina menatap Alisiya dengan tatapan yang penuh dengan rasa simpati dan sedikit rasa kasihan. "Jadi, kau benar-benar Alisiya… Yang selalu dibicarakan oleh Andras, teman yang hilang?" tanyanya, suaranya lembut namun tegas.
Alisiya mengeluarkan sebuah scythe hologram raksasa, cahaya pelangi berkilauan di permukaannya. Scythe itu mirip dengan senjata Andras, namun senjata Andras adalah senjata asli. Reina menatap scythe itu dengan tatapan yang penuh dengan kejutan. "Bukan kah itu… bentuknya sama seperti senjata Andras…" katanya, suaranya sedikit bergetar.
"Jangan sok tahu!!" teriak Alisiya, kemarahannya memuncak. Ia menerjang Reina dengan scythe hologramnya, gerakannya cepat dan mematikan.
Alisiya menyerang dengan brutal, scythe hologramnya menyambar seperti kilat, menciptakan angin puyuh kecil di dalam ruangan. "Kau meremehkanku!" teriaknya, suaranya dipenuhi amarah yang membara. Rambut pelanginya beterbangan liar, menambah aura mengerikan yang terpancar darinya. Scythe itu menghantam lantai kayu, menciptakan retakan yang cukup dalam.
Reina menghindar dengan gesit, tubuhnya bergerak seperti aliran air, menghindari setiap serangan mematikan Alisiya. "Alisiya, berhenti! Dengar aku!" suara Reina terdengar di sela-sela desingan scythe hologram. Ia mencoba membujuk Alisiya, namun Alisiya hanya tertawa sinis.
"Kau pikir kata-katamu bisa menghentikan aku?!" Alisiya membanting scythe-nya ke lantai lagi, kali ini sebuah serpihan kayu terlempar mengenai lengan Reina. "Setelah apa yang mereka lakukan padaku, pada keluargaku?!" Matanya berkaca-kaca, namun amarahnya tetap membara. Darah mulai menetes dari luka kecil di lengan Reina.
Reina meringis, namun tetap menjaga ketenangannya. Ia melirik ke arah kasur yang rusak akibat serangan Alisiya sebelumnya; sebuah besi kasur yang patah tergeletak di dekatnya. Dengan cepat, ia meraih besi itu. "Aku tahu… aku tahu tentang orang tuamu… Tapi Andras… dia sangat merindukanmu," Reina mencoba sekali lagi, suaranya penuh empati, namun tangannya sudah menggenggam besi kasur itu kuat-kuat.
"Andras?! Jangan sebut namanya!" Alisiya menyerang lagi, scythe-nya menebas dengan kekuatan penuh. Reina menangkis dengan besi kasur, suara benturan logam dan logam bergema di ruangan. Besi itu sedikit bengkok, namun berhasil menahan serangan Alisiya.
"Dia di Tokyo sekarang! Dia… dia selalu mengingatmu," Reina berteriak, menghindari serangan scythe yang hampir mengenai kepalanya. "Dia… dia juga kehilangan orang tuanya…" Ia mengayunkan besi kasur, menyerang bagian lengan Alisiya.
Alisiya berhenti sejenak, scythe-nya terhenti di udara. "Bohong!" suaranya terdengar lebih pelan, namun tetap penuh dengan keraguan. Ia melihat ke arah Reina, matanya yang berkaca-kaca menunjukkan sedikit keraguan. Luka di lengannya mulai mengeluarkan darah.
Reina memanfaatkan kesempatan itu, ia menyerang balik dengan besi kasur. "Dia selalu menceritakan tentangmu! Tentang rambut pelangimu yang indah… tentang betapa pintarnya kamu… tentang persahabatan kalian…" Reina menghindar dari serangan Alisiya, menyerang bagian lengannya lagi. Besi itu mengenai pergelangan tangan Alisiya, membuat Alisiya menjerit kesakitan.
Alisiya meringis kesakitan, namun tetap menyerang. "Diam!" suaranya masih keras, namun sudah tidak sekuat sebelumnya. Gerakannya mulai sedikit melambat, scythe-nya tidak lagi secepat dan sepresisi sebelumnya.
"Dia menjadi ketua OSIS, dan aku wakilnya," Reina terus menyerang, mencoba untuk membuka pertahanan Alisiya. "Kita bertiga… Andras, kamu, dan aku… kita selalu bersama…" Ia mengayunkan besi kasur dengan tepat, mengenai sisi tubuh Alisiya.
Alisiya terhuyung mundur, scythe-nya hampir jatuh dari tangannya. "Tidak… tidak mungkin…" suaranya terdengar lirih, campuran antara keraguan dan harapan. Air mata mulai mengalir di pipinya, menunjukkan bahwa pertahanan mentalnya mulai runtuh.
Reina menghentikan serangannya, menatap Alisiya dengan tatapan yang penuh dengan empati. "Andras… dia sangat merindukanmu," Reina berkata dengan lembut, suaranya penuh dengan simpati. Ia meletakkan besi kasur di lantai.
Alisiya terdiam, scythe-nya jatuh ke lantai dengan bunyi cleg yang nyaring. Air mata mengalir deras di pipinya, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat. Perkelahian sengit itu berakhir, diganti oleh kesunyian yang berat dan penuh emosi. Hanya suara isakan Alisiya yang memecah kesunyian itu. Luka-luka di tubuhnya dan rasa sakit yang mendalam mulai mengalahkan amarahnya.
Reina melempar besi kasur yang bengkok itu ke sudut ruangan, suaranya menciptakan gema yang pendek di ruangan yang sunyi. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menampilkan hologram kecil di tangannya. Cahaya lembut menyelimuti ruangan, menampilkan serangkaian foto dan video yang menunjukkan kenangan Reina dan Andras.
"Alisiya, lihatlah ini…" kata Reina, suaranya lembut namun tegas. Ia menunjuk ke arah hologram tersebut. "Ini teman yang paling kau sayangi… Ini di saat aku dan dia bekerja sama untuk menggulingkan ketua OSIS di SMA kami, di Tokyo." Senyum sedikit muncul di bibirnya, menunjukkan kenangan manis yang ia ingat.
Alisiya, yang masih terisak, mengangkat wajahnya dan melihat hologram tersebut. Matanya melambar, menunjukkan kejutan dan sedikit rasa haru. "Itu… memang Andras…" katanya, suaranya sedikit bergetar. Ia menatap hologram tersebut dengan tatapan yang penuh dengan kerinduan.
Reina menunjukkan video lain, menampilkan Andras yang sedang berteriak karena Reina mengintipnya sedang berganti baju. Mike dan Jimmy muncul di video itu, mencoba untuk menghalangi Reina dan menarik perhatian Andras. "Hei Reina!! Jauhkan foto itu, kek ga ada foto yang lain saja!" teriak Mike dan Jimmy dalam video tersebut. Reina tertawa kecil mengingat kenangan itu.
"Ini di saat Andras malu-malu di saat aku intip pas lagi mandi karena ukuran dadanya yang sangat besar… hihi…" kata Reina, suaranya penuh dengan tawa. Ia menunjukkan ekspresi yang iseng, menunjukkan bahwa ia mengingat kenangan itu dengan gembira.
Alisiya merangkak mendekati hologram tersebut, matanya terpaku pada wajah Andras yang terlihat di layar. "Andras…" isaknya, suaranya penuh dengan kesedihan dan penyesalan. Air matanya mengalir deras, menunjukkan betapa rindunya ia kepada Andras.
Reina kemudian menampilkan video lain, menunjukkan Andras yang menangis di pelukan Reina, Leon, dan Kei. "Ini di saat aku dan Kei, pacarku sekaligus adik sepupu Andras dan Leon, sedang menenangkan Andras. Dia menangis karena menceritakan masa lalunya denganmu, Alisiya… Dia mengatakan bahwa setelah kematian orang tua mu, kau memberikan scythe itu dan pergi menghilang, yang membuat Andras makin terpuruk…" Reina menjelaskan dengan suara yang penuh dengan simpati. Ekspresi wajahnya menunjukkan kesedihan dan empati.
Alisiya mengusap hologram wajah Andras dengan jari-jarinya yang gemetar. "Andras… kamu… menangis gara-gara aku ya… Maafin aku… maafin aku… Aku… skk… hanya menjauh karena tidak mau kamu ikut terluka…" katanya, suaranya penuh dengan penyesalan. Ia menunjukkan ekspresi yang penuh dengan rasa salah dan penyesalan.
Reina duduk bersimpuh di depan Alisiya, memegang kedua tangan Alisiya dengan lembut. "Alisiya, aku tahu semuanya tentangmu karena Andras… Orang tuamu dibunuh oleh Alexander di saat kau menduduki kelas delapan. Kau memberikan scythe itu kepada Andras sebagai tanda perpisahan, namun kedua orang tuanya Andras juga dibunuh oleh Alexander karena Alexander menganggap ciptaan persenjataan teknologi kedua orang tuanya Andras menjadi bencana besar bagi Alexander… Dan kau kalau ingin tahu, sebenarnya aku udah mati karena ulah ayahku dan Alexander…" Reina menjelaskan semuanya dengan suara yang tenang dan jelas. Ia menunjukkan ekspresi yang kuat dan tegas.
Alisiya tersentak kaget. "Mati… tapi…" katanya, suaranya penuh dengan kejutan. Ia menatap Reina dengan tatapan yang penuh dengan pertanyaan.
"Alisiya," Reina memulai, suaranya lembut namun penuh tekad, "aku akan menceritakan semuanya. Semuanya dimulai tiga minggu yang lalu, pada tanggal dua Agustus…" Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya. "Ayahku… atau lebih tepatnya, Danton, bersama Alexander, menculikku."
Alisiya menatap Reina dengan mata yang melebar, penuh dengan keterkejutan dan rasa tidak percaya. Ia menggenggam erat tangan Reina, menunjukkan rasa simpati dan dukungannya.
Reina melanjutkan, "Aku di bawa okeh Alexander dan Danton ke Osaka, Alexander menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhku… sebuah zat yang merusak jantungku. dan aku mati pada tanggal dua Agustus." Ia berhenti sejenak, mencoba untuk mengendalikan air mata yang mengancam untuk jatuh. "Tapi… Reiz, kakakku… dia berhasil menyelamatkanku."
"Reiz?" Alisiya berbisik, nama itu terdengar familiar.
"Ya, Reiz. Dia rekan kerja Andras. Dia membawaku ke Rusia, dan… dan dia mengganti jantungku dengan jantung robot." Reina menunjuk ke dadanya, menunjukkan tempat jantung robotnya berada. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya.
Alisiya menatap Reina dengan tatapan yang penuh dengan rasa kagum dan simpati. "Jantung… robot?" bisiknya, suaranya penuh dengan rasa tak percaya.
"Ya," Reina mengangguk pelan, menunjukkan kekuatan dan keberaniannya. "Ini bukan jantung asliku lagi. Ini… ini jantung buatan. Aku masih hidup, Alisiya, karena teknologi. Dan karena itu, aku akan membalas dendam. Aku akan membunuh Alexander dan Danton. Aku akan membuat mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan padaku." Suaranya bergetar sedikit, namun tekadnya tetap kuat. Ia meraih tangan Alisiya, menunjukkan kekuatan dan keberaniannya.
Alisiya menatap Reina dengan mata yang berkaca-kaca, penuh dengan kekaguman dan simpati. Ia menggenggam tangan Reina dengan erat, menunjukkan dukungan dan rasa terima kasihnya. "Aku… aku mengerti," bisiknya, suaranya penuh dengan emosi. "Aku… aku akan membantumu."
Reina tersenyum tipis, menunjukkan rasa lega dan harapan. Ia menyentuhkan tangan Alisiya ke dadanya, membiarkan Alisiya merasakan detak jantung robotnya. "Rasakanlah," katanya, suaranya penuh dengan keyakinan. "Ini bukan jantung asli lagi… tapi ini memberiku kekuatan untuk berjuang. Untuk membalas dendam."
Alisiya menangis lagi, namun kali ini air matanya menunjukkan rasa lega dan harapan. Ia menatap pecahan kramik di lantai, kemudian menatap Reina dengan tatapan yang penuh dengan rasa syukur. "Jadi… aku tidak sendirian di sini… Siapa namamu?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
"Namaku Hasane Reina, panggil aku Reina…" jawab Reina dengan senyum yang lembut.
Alisiya berdiri tegak, memasang jaket nya kembali, menunjukkan kekuatan dan tekadnya. Ia menatap Mike, Jimmy, Alice dan Helena dengan tatapan yang penuh dengan kepercayaan. "Namaku Alisiya," katanya, suaranya tegas dan penuh dengan keyakinan. "Aku akan bergabung dengan kalian, untuk meraih tujuan bersama! Membunuh Alexander dan meraih dendam Reina untuk membunuh mereka berdua!" Ia mengepalkan tangannya, menunjukkan kesiapannya untuk bertarung bersama.
Alice, dengan langkah ringan namun penuh semangat, berlari menuju Alisiya. Senyum hangat terkembang di wajahnya, menunjukkan kegembiraan dan rasa lega. Ia memegang kedua tangan Alisiya dengan erat, menunjukkan rasa persahabatan dan dukungannya. "Senang bertemu denganmu, Alisiya," katanya, suaranya penuh dengan kehangatan. "Aku Alice. Aku adalah bawahan Reiz dan Craig. Aku ditujukan sebagai pengatur strategi mereka." Ia menunjukkan sikap yang percaya diri dan profesional.
Mike, Jimmy, dan Helena mendekat dengan langkah yang tegas, menunjukkan kesiapan dan kekuatan mereka. Reina, dengan tatapan yang penuh dengan kepercayaan, memperkenalkan teman-temannya kepada Alisiya. "Alisiya, pemuda rambut pirang ini bernama Mike Wilson, dan pemuda di sebelah kiriku bernama Jimmy Hopkins. Mereka berdua sama dengan aku, yaitu penyerang utama misi." Ia menunjuk ke arah Mike dan Jimmy, menunjukkan peran mereka dalam kelompok.
Reina kemudian memperkenalkan Helena dengan deskripsi yang lebih detail. "Dan gadis rambut coklat pendek ini… lihatlah matanya yang unik ini. Kadang mata silvernya berubah menjadi biru kalau terkena cahaya. Ia bernama Zhivago Helena. Dia bertugas sebagai pengamanan, penyelidikan tempat pertarungan, sekaligus medis di kelompok kita." Ia menunjukkan rasa hormat dan apresiasi terhadap kemampuan Helena. Helena tersenyum kecil, menunjukkan rasa percaya diri dan kesiapannya. Mata silvernya berkilauan di bawah cahaya redup, menunjukkan keunikannya.
Reina menatap Alisiya dengan tatapan yang penuh dengan harapan. "Jadi, bagaimana, Alisiya? Apakah kau siap?" tanyanya, suaranya penuh dengan keyakinan. Ia menunjukkan bahwa ia percaya kepada Alisiya.
Alisiya, dengan ekspresi wajah yang tegas dan penuh tekad, memakai jaket tebalnya kembali. Ia menarik napas dalam-dalam, menunjukkan kesiapannya untuk menghadapi tantangan yang akan datang. "Aku siap!" katanya, suaranya penuh dengan kekuatan dan tekad. "Demi membalas kematian orang tuaku dan orang tua Andras!" Ia mengepalkan tangannya, menunjukkan tekad yang kuat dan tidak tergoyahkan. Mata biru mudanya berkilauan, menunjukkan kekuatan dan tekad yang tak tergoyahkan. Ia berdiri tegap, menunjukkan kesiapannya untuk melangkah ke depan, untuk meraih tujuan bersama. Suasana di dalam kamar itu dipenuhi dengan suasana yang menegangkan namun juga penuh dengan harapan dan kekuatan. Mereka berlima, dengan kekuatan dan tekad mereka, siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang, bersama-sama.