Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Aruna berjalan cepat meninggalkan gedung kantor. Malam sudah turun, lampu-lampu jalan mulai menyala, namun ia tidak berhenti untuk menelpon taksi atau ojek online. Ia hanya ingin melangkah, menyingkir sejauh mungkin dari semua hiruk pikuk yang menyesakkan pikirannya.
Udara malam terasa menusuk kulit, angin berhembus membawa aroma aspal basah sisa hujan sore tadi. Tumit sepatunya berdentum berirama di trotoar, namun setiap langkah justru terasa semakin berat. Satu jam penuh ia berjalan, tanpa arah selain ke rumah—satu-satunya tempat yang bisa ia tuju meski hatinya pun tak yakin akan menemukan ketenangan di sana.
Akhirnya, rumah sederhana itu tampak di ujung jalan. Lampu teras menyala hangat, menandakan ibunya masih menunggu.
Saat membuka pintu, aroma masakan rumahan langsung menyambut. Dan di ruang tamu, Aruna tertegun melihat ibunya tengah sibuk mengatur berbagai barang—kotak kecil berisi perhiasan imitasi, aksesoris rambut, kain pita berwarna lembut, hingga undangan yang sudah tersusun rapi di meja.
“Na, kamu pulang juga,” suara ibunya riang, tanpa menyadari wajah letih putrinya. “Mama baru aja siapin beberapa hal buat tiga hari lagi. Lihat ini, aksesoris rambutnya cantik sekali, cocok dipakai di hari pernikahanmu. Mama juga udah pesen bunga tangan kecil, biar kamu tambah anggun.”
Aruna berdiri mematung di ambang pintu, matanya kosong menatap segala persiapan itu. Kata-kata ibunya seakan hanya gema yang mengiris telinganya. “Tiga hari lagi… pernikahanmu.”
Jantungnya mencelos, perutnya mual, namun ia tidak sanggup mengucapkan apapun. Senyum ibunya, harapan yang tergantung di mata tua itu, justru membuatnya semakin hancur.
“Mama tahu kamu capek, tapi lihat sebentar saja, Nak,” ibunya masih bicara sambil mengangkat sepasang giwang kecil. “Kalau kamu pakai ini, wajahmu pasti makin bersinar.”
Aruna menutup mata sejenak, menahan napas panjang. Ada ribuan kata ingin ia luapkan—tentang kebohongan, tentang luka, tentang betapa muaknya ia dengan semua kepalsuan yang mengikatnya. Tapi yang keluar hanya satu helaan lelah.
“Iya, Ma…” suaranya hampir tak terdengar.
Ia berjalan melewati ruang tamu tanpa menatap apapun lagi. Langkahnya pelan, seperti menyeret beban yang tak terlihat. Begitu sampai di kamarnya, ia menutup pintu perlahan, lalu bersandar di baliknya.
Air mata yang tadi berhasil ia tahan kembali pecah. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, menahan isak agar ibunya tak mendengar. Pandangannya beralih ke kamar yang dulu terasa aman, kini seakan menjadi penjara kecil—dinding bisu yang hanya memantulkan kepasrahannya.
Aruna melempar tasnya ke kursi, lalu merebahkan diri di ranjang. Tatapannya kosong menembus langit-langit, tubuhnya lunglai seakan kehilangan tenaga. Dalam hati, ia hanya mampu berbisik lirih:
“Aku sudah muak… tapi ke mana aku bisa pergi?”
Belum lama Aruna berbaring, suara ketukan pintu terdengar pelan.
“Na… kamu sudah tidur?” suara ibunya terdengar lembut dari luar.
Aruna buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, berusaha menenangkan suara. “Belum, Ma. Ada apa?”
Pintu terbuka sedikit. Ibunya masuk membawa sebuah map berwarna krem, wajahnya penuh semangat. “Mama tadi habis ketemu sama tante kamu. Dia nitip dokumen tambahan buat persiapan. Ada beberapa hal yang harus kamu tanda tangani.”
Aruna bangkit setengah hati, menerima map itu. Saat membuka, matanya membesar—dokumen-dokumen itu ternyata kontrak kerjasama antara keluarganya dengan perusahaan keluarga calon suaminya.
“Ini… apa, Ma?” suaranya tercekat.
Ibunya tersenyum lebar, seolah itu hal biasa. “Oh, itu cuma formalitas. Kan pernikahanmu bukan cuma menyatukan dua hati, tapi juga memperkuat hubungan bisnis keluarga. Tante kamu bilang semua ini demi masa depanmu juga.”
Aruna membeku. Dadanya sesak. Jadi benar… semua ini bukan sekadar pernikahan. Aku cuma pion di papan catur mereka.
“Mama…” suaranya bergetar, nyaris pecah. “Kenapa harus aku yang menanggung semua ini? Kenapa bukan yang lain saja?”
Ibunya terdiam, lalu menghela napas panjang. Ada rasa lelah sekaligus keras kepala di matanya. “Karena cuma kamu yang bisa, Na. Kamu anak Mama yang paling kuat. Mama tahu ini berat, tapi percayalah… setelah semua ini berjalan, kamu akan mengerti.”
Air mata Aruna kembali jatuh, kali ini ia tidak bisa menahannya. “Tapi aku nggak bahagia, Ma… aku nggak sanggup.”
Suasana hening. Ibunya menatap putrinya dengan sorot tajam, namun di baliknya ada kekhawatiran. “Kamu pikir Mama nggak ingin lihat kamu bahagia? Semua ini… Mama lakukan supaya kamu nggak kekurangan, supaya masa depanmu aman. Bahagia bisa dicari nanti. Tapi masa depan, kalau sudah hilang, nggak bisa diulang.”
Aruna terisak, merasakan jurang yang makin lebar antara hatinya dan ibunya.
Di luar kamar, tanpa mereka sadari, terdengar suara pintu pagar berderit. Seseorang baru saja datang—dan suara berat seorang pria memanggil dari ruang tamu.
“Permisi…”
Ibunya tersentak, buru-buru mengusap tangannya ke rok. “Itu pasti keluarga Dirgantara. Mereka mau diskusi sebentar sama Mama soal acara.”
Aruna terpaku. Tubuhnya terasa membeku. Tidak… jangan sekarang.
Namun langkah ibunya sudah bergegas keluar, menyambut dengan nada riang. Aruna terduduk di tepi ranjang, tangannya bergetar menggenggam map berisi dokumen itu.
Ia tahu, malam ini konflik di rumah tidak akan berhenti—justru baru saja dimulai.