NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:981
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 . Lamaran Bernada Ancaman

Hujan sudah jatuh sejak subuh, mengisi Jakarta dengan bau tanah basah dan denting rintik yang tak henti memukul kaca jendela apartemen kami. Aku berdiri di ambang pintu kamar, memandangi Kalea yang menyandarkan keningnya pada kusen. Rambutnya digelung asal, sweater kelabu menempel pada tubuh kurusnya seperti kulit tambahan, dan tangannya menggenggam kotak pensil Hello Kitty tua—relik kontrak suci kami—begitu kuat sampai buku-bukunya memutih.

“Ada sopir yang menunggu di bawah,” kataku pelan. “Hitam, pelat pribadi.”

Kalea tidak bergerak. “Kalau kau turun tangga sekarang, kau tidak akan kembali sebagai orang yang sama.”

“Aku sudah bukan orang yang sama sejak malam itu, Lea.”

Ia menoleh, mata lebam karena kurang tidur. “Jadi benar-benar undangan ke rumahnya?”

Aku mengangguk. Amplop krem di tanganku terasa lebih berat daripada koper penuh batu. Di sisi lipatan, terpampang inisial TD yang terukir timbul, seolah nama Tristan harus selalu menjajak Dadaku, bahkan di atas kertas.

“Pergi tanpa aku bukan ide bagus.”

“Aku tak bisa membawamu,” bisikku. “Ini perang psikologis. Kalau ada orang lain, dia akan kunci pintu lebih rapat.”

“Dan kalau kau masuk sendirian, dia akan buang kuncinya,” sahut Kalea.

Keheningan tumbuh di antara kami, liar dan berduri. Hanya suara hujan yang memecahnya, menetes di talang luar seperti detak jam ibu-ibu tua. Akhirnya Kalea mendekat, menyerahkan kotak Hello Kitty ke tanganku.

“Simpan ini di tasmu. Supaya kau ingat siapa yang akan kau khianati kalau kau tak pulang.”

Aku memeluknya; bahunya kaku, tapi lengannya perlahan melingkari punggungku—pelukan dua gadis panti yang pernah berjanji menipu dunia, bukan diri sendiri. Saat kami melepaskan diri, matanya basah, dan aku tahu: apa pun yang terjadi malam ini akan meretak sesuatu yang tak bisa kami sambung lagi dengan lem apa pun.

 ----

Gerbang besi setinggi kepala berderit terbuka otomatis saat sedan meluncur masuk halaman rumah kolonial di Menteng. Pilar-pilar putihnya terpantul lampu taman, menebar cahaya dingin yang membuat bangunan itu tampak bagai monumen alih-alih tempat tinggal. Sopir berhenti di depan teras; pintu dibuka seorang pelayan, payung hitam sudah terentang.

Langkah pertamaku di marmer foyer bergema terlalu nyaring. Udara di dalam rumah berbau bunga potong yang nyaris busuk. Di ujung lorong, Tristan berdiri menunggu—kemeja abu terang, lengan tergulung, rambut basah setitik di pelipis seolah ia barusan berjalan di hujan tanpa peduli.

“Terima kasih sudah datang,” katanya, nada datar, tapi matanya mengeja tubuhku halaman demi halaman.

Aku mengikuti tanpa bicara, melewati ruang tamu bergaya Belanda, ruang musik sunyi, lalu berhenti di perpustakaan pribadi yang remang. Dinding satu sisi penuh rak kayu tua; sisi lain hanya satu lukisan perempuan muda bergaun biru langit, sorot lembut, senyum kelelahan yang indah.

“Itu Ibuku. Dira Maresya,” ucapnya sebelum aku bertanya. Suaranya bergeser: serak, hati-hati, seakan rindu hendak tumpah tapi terkurung jaring besi.

Aku mengangguk pelan. Lukisan memancarkan kehangatan yang tidak cocok dengan suhu ruangan.

“Ayah kandungku meninggal saat aku empat tahun,” lanjutnya, mata tidak lepas dari kanvas. “Mereka bilang kecelakaan mobil. Aku terlalu kecil untuk ingat suaranya, tapi masih ingat bau jas baru yang dibelikan sebelum ia berangkat.” Bibirnya menegang. “Setelah itu hanya aku dan Ibu. Dunia kami sempit, tapi lengkap.”

Udara seakan menipis. Aku menunggu, kata-katanya berikutnya seperti batu menimpa kolam.

“Ketika aku sepuluh, Ibu menikah lagi—pernikahan bisnis, katanya, agar aku mendapat ‘figur ayah’ dan saham perusahaan tetap aman. Figur itu dingin. Ia mencintaiku di depan kamera, tapi tidak di koridor rumah.” Tristan menoleh; matanya gelap, tajam tapi basah. “Ibu mulai sering sakit. Awalnya flu panjang, lalu batuk berdarah yang ia sembunyikan di tisu kamar mandi. Aku temukan kotak obat kanker setahun kemudian.”

Aku menutup mulut, dada mencengkeram paru-paru.

“Waktu ia meninggal, mereka—ayah tiri dan istrinya—mengadakan resepsi duka di aula hotel. Ada canape, sampanye, dan musik kuartet. Aku berdiri di sudut, memegang kalung salib Ibu, dan menyadari: cinta dapat dikubur di antara bunga mahal sampai bau anyirnya tertutup parfum.”

Ia tertawa pendek, getir. “Sejak hari itu, aku hanya percaya pada kekuatan. Dan permainan adalah cara tercepat memastikan kekuatan milikku.”

Aku ingin menghapus luka di matanya, namun tangan hanya menggantung lemah di samping pinggang.

“Kau bagian dari permainan itu?” tanyaku, suara serak.

“Bukan,” jawabnya cepat. “Kau—gangguan di medan perang ku. Bidak yang tiba-tiba punya pisau.”

Aku tersentak. “Kalau begitu kenapa aku di sini?”

Tristan berpaling dari lukisan, mendekat hingga aroma sabun hangat menepis bahu gaunku. “Karena meski kau gangguan, aku tidak mau kehilanganmu.”

Ia mengambil sesuatu dari saku—kotak beludru hitam. Membukanya, menampilkan cincin emas putih ramping bertatahkan batu bulan, pucat seolah memantulkan cahaya hujan.

“Menikahlah denganku.”

Dua detik, tiga detik—seluruh dunia berhenti. Kemudian jantungku berdebar sekeras hujan di atap seng panti lama.

“Aku… apa?” nafasku tercekat.

“Menikahlah denganku, Aurora. Tanpa pesta besar, tanpa media. Hanya tanda tangan di kantor catatan sipil, dan kau pulang ke rumah ini sebagai istri sah ku.”

“Ini… absurd.” Aku mundur selangkah, punggung hampir menabrak rak buku. “Kita—kita bahkan tidak saling kenal.”

“Kita saling mengenal lebih dari yang kau bayangkan.” Mata obsidian itu menangkap pandanganku. “Aku pernah melihatmu tanpa topeng. Kau pernah memecahkan bentengku. Itu cukup.”

“Cukup?” Aku tertawa hambar. “Cukup untuk menghabiskan hidup dengan seseorang yang menggunakan orang lain sebagai cermin untuk luka masa kecilnya?”

Tristan tak berkedip. “Aku rusak, Aurora, tapi aku tidak palsu. Cinta versiku tidak memakai bunga, tapi pagar. Aku membangun pagar ini agar tak ditinggalkan lagi seperti ibuku meninggalkan dunia.”

“Lalu kau ingin mengurungku di balik pagar itu?”

“Tidak mengurung,” suaranya merendah—hampir lirih. “Menjaga.”

Aku menggeleng cepat. “Menjaga dengan ancaman?”

Ia menunduk, menarik napas panjang, kemudian mengambil amplop putih dari laci meja mahoni. “Jika kau menolak, foto-foto ini akan beredar. Aku tidak bangga memakai cara ini, tapi aku takkan membiarkanmu lari.”

Tangan gemetar saat meraih amplop. Dua foto: aku bersandar di dada Tristan, mata setengah tertutup, bahu telanjang. Tidak vulgar, tapi cukup untuk menghancurkan reputasi apa pun.

“Sungguh kejam,” bisikku, air mata memanas di sudut mata. “Kau memelukku seolah mencintaiku, lalu menodong ku dari belakang.”

“Kejam adalah dunia yang membuatku begini.” Ia meraih tanganku, tapi aku menariknya cepat. “Aku tidak ingin kau di sisiku karena takut. Aku ingin kau di sisiku karena kau mengerti aku… dan masih mau bertahan.”

“Kau menuntut hal mustahil.” Suara pecah, nyaris jeritan tercekik. “Aku tidak bisa mencintai seseorang yang menaruh borgol di pergelangan hatiku.”

Tristan menutup mata sekejap. “Aku tidak minta kau mencintai, Aurora. Aku minta kau tinggal.”

“Dan kalau aku berkata tidak?”

“Besok pagi berita akan memuat ‘Model Malam Gelap Bersama Pewaris Muda’. Nama panggungmu, nama aslimu, dan rekam jejak penjebakan sugar daddy.”

Aku terhirup napas tajam. “Kau akan meruntuhkan hidupku.”

“Sama seperti hidupku runtuh ketika Ibu meninggal.” Ia membuka mata, pantulan lampu membuat kilau basah di sana. “Kehadiranmu… menutup beberapa celah. Aku tak siap kehilangannya lagi.”

Hening merentang antara kami seperti kawat berduri. Aku sadar tak ada ruang aman: menerima berarti kehilangan Kalea; menolak berarti kehilangan diriku di halaman gosip murahan.

“Aku pulang,” kataku akhirnya—suara pecah, tapi hati tegak. “Aku butuh ruang bernapas.”

“Kau punya sampai pukul delapan besok.” Ia menutup kotak cincin, meletakkannya di meja seolah meletakkan pedang terhunus. “Setelah itu, kita tidak berbicara—kita berperang.”

Aku berbalik. Hujan deras menampar kaca jendela ketika pelayan mengantarku ke mobil. Saat pintu sedan tertutup, aku memeluk kotak Hello Kitty di tas. Di dalamnya, kontrak suci legenda dua gadis panti bergetar, seolah tahu ia baru saja diinjak duka yang belum selesai.

Lampu kota menerobos jendela, memantulkan wajahku. Mata ini memikul pilihan yang sama-sama buruk: menikah demi selamatkan harga diri, atau menolak demi selamatkan jiwa—dan membiarkan dunia memangsa ku.

Di sudut hati, suara ibuku sendiri—yang telah lama tiada—berbisik: anakku, kau tidak dilahirkan untuk menjadi sangkar siapa pun.

Tapi apakah sangkar satu-satunya tempat berteduh bagi burung yang sayapnya sudah patah?

Mobil terus melaju, melewati lampu merah, menembus kilau basah aspal. Dan di setiap genangan yang memantul lampu jalan, aku melihat wajah Tristan—mata obsidiannya, luka yang belum dijahit—serta bayanganku sendiri, memudar di sampingnya, belum memutuskan akan berubah menjadi apa: penjara emas… atau abu di hembus angin.

.

.

.

Bersambung

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!