Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertukar Pasangan
Keluarga Malika yang dulu begitu berharap Pradipta menjadi menantu mereka, kini justru menunjukkan wajah aslinya. Mereka murka ketika tahu Pradipta malah memilih Hana, si gadis desa yang selama ini dianggap aib dalam keluarga.
Tapi Pradipta tak memperdulikan hal itu.
Pradipta tak bisa menyembunyikan rasa senangnya ketika Hana menjawab lamarannya dengan anggukan kepala. Wajahnya berseri bersyukur Hana menerima pinangannya.
Sementara Malika semakin histeris, dia memeluk ibunya erat dan menangis sesenggukan tak terkendali.
Burhan dan Rosma memasang wajah murka, menatap Pradipta dan Hana dengan sangat benci.
“Tunggu apa lagi. Cepat menikahlah sekarang agar anak kampung itu cepat-cepat keluar dari rumah ini,” ujar Rosma bengis.
“Aku tidak akan terburu-buru. Aku akan menyiapkan pernikahan kami dengan matang. Kalau kalian mau menikah duluan, silahkan!”
Pradipta melihat Rendy dan Malika bergantian.
“Tentu saja. Aku akan segera menikahinya. Aku pastikan kalau pernikahan kami akan lebih mewah dibandingkan kalian.” Rendy akhirnya ikut bersuara juga.
“Bagus Nak Rendy. Jangan mau kalah sama mereka. Pokoknya buat pernikahan yang mewah dan meriah,” ucap Burhan menatap Rendy bangga.
“Tentu saja om. Aku janji akan membuat pesta besar hingga membuat semua orang takjub.”
Rosma tersenyum mendengar janji calon menantunya.
“Coba dengar Malika calon suamimu lebih baik dibandingkan pria yang kamu tangisi itu. Sudah berhenti menangis dan tersenyumlah.” Sri mencoba menghapus air mata putrinya.
Pradipta masih dengan wajah tenangnya hanya tersenyum mendengarkan ocehan mereka.
“Kalau begitu selagi kami masih belum menikah, aku titipkan calon istriku ini pada kalian. Aku tidak bisa membawanya sekarang karena dia masih menjadi milik ibunya sampai pernikahan tiba.” Pradipta menatap semua orang.
“Tapi ingat. Mulai saat ini perlakukan dia dengan baik. Tidak ada lagi penindasan dan penghinaan. Jangan lupa kalau calon suaminya adalah polisi. Aku bisa dengan mudah memenjarakan siapa saja yang mengganggu calon istriku,” ucap Pradipta penuh ancaman.
Sri pucat. Rosma terdiam. Burhan tak bisa berkata-kata. Aura tegas Pradipta, ditambah profesinya sebagai aparat hukum, cukup membuat mereka ciut.
Hana berdiri di belakang Pradipta, menatap punggung pria itu dengan mata berkaca. Ini pertama kalinya ada orang selain neneknya yang benar-benar berdiri di pihaknya tanpa syarat. Perlahan Pradipta menoleh ke belakang dan tersenyum tipis padanya.
“Hana. Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Aku akan sering mengunjungimu."
Hana mengangguk pelan. Menatap kepergian sang calon suami yang melangkah tegap, penuh wibawa dan kharisma.
***
Sepeninggal Pradipta dari rumah itu, suasana berubah. Tidak ada lagi teriakan, hinaan, atau cacian seperti biasanya. Mereka semua seakan kompak memilih sikap diam pada Hana. Bukan karena mereka mulai menerima keberadaannya, tapi karena takut pada ancaman Pradipta yang masih menggema di benak mereka.
Namun Hana tidak peduli.
Dia memilih mengurung diri di kamar kecilnya, kamar sempit yang pengap ini menjadi tempat ternyamannya di rumah ini. Di sanalah ia kini lebih banyak diam dan berpikir.
Pikirannya saat ini penuh oleh sosok Pradipta. Masih jelas diingatnya bagaimana pria itu secara terbuka menyatakan akan menikahinya, ini memang rencananya tapi kenapa rasanya adegan tadi sangat menusuk hati. Ada getar aneh di dadanya setiap ia mengingat Pradipta berdiri di hadapannya, dengan sorot mata tegas namun lembut, dan suara yang menenangkan, "Saya akan menikahi Hana."
Hana mengusap wajahnya. Sekali lagi semua berjalan sesuai dengan alur yang ia buat sendiri. Tapi satu hal yang ia lupa akan hati yang tak bisa diajak berkompromi.
***
Malam itu Pradipta tak bisa tidur.
Di atas ranjangnya yang rapi, dia berbaring dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala, menatap langit-langit kamarnya. Pikiran Pradipta tak lepas dari kejadian di rumah keluarga Burhan siang tadi. Khususnya tentang Hana.
Gadis itu tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Awalnya dia berpikir Hana hanyalah bagian kecil dari konflik rumah tangga Sri dan Burhan.
Tapi semakin dia memperhatikan, semakin dia melihat luka yang tersembunyi di balik sorot mata Hana.
Luka yang tak berteriak tapi dalam. Sangat dalam hingga akhirnya yang tersisa adalah ketegaran.
Pradipta menghela napas panjang.
"Apa aku terlalu gegabah dengan mengajaknya menikah?" gumamnya.
Tapi kemudian dia menggeleng. Bukan. Bukan gegabah. Dia tahu ada hal lain yang ia lihat dalam diri Hana. Bukan hanya wajah cantik yang bersih dari kosmetik mahal, atau tatapan tajam tapi tenang itu. Tapi keteguhan, kesabaran, dan martabat. Beda dengan wanita-wanita lainnya. Hana menurutnya adalah sosok istimewa.
***
Meski hawa di rumah itu dingin dan penuh tatapan tajam, Hana tetap mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dengan tekun. Setiap pagi dia bangun paling awal, membersihkan dapur, menyapu halaman, mencuci pakaian, bahkan tanpa diminta. Bukan karena dia ingin disukai, tapi karena dia ingin melakukannya saja.
Sekarang tatapan tak suka dari Malika adalah hal biasa bagi Hana. Dari yang awalnya hanya benci, sekarang menjadi sangat murka.
Malika memang belum bisa menerima kenyataan bahwa lelaki yang selama ini ia bayangkan dalam mimpi, lelaki yang seharusnya menjadi miliknya, kini telah memilih perempuan yang selama ini ia remehkan. Bukan karena uang, bukan karena status tapi karena sesuatu yang tak bisa Malika miliki yakni hati yang tulus.
Melihat sang cucu yang selalu bersedih hati, Rosma terus membesarkan hati Malika.
"Sudah sayang. Cinta tak bisa beli rumah. Tak bisa beli mobil. Tak bisa bayar listrik. Rendy itu kaya nak. Dia akan memberikan apapun yang kamu minta."
"Iya, sayang," sambung Burhan. "Pradipta itu hanya polisi. Gaji pas-pasan. Nanti kamu jadi istri polisi, harus sabar kalau dia tugas ke luar kota berbulan-bulan. Tak bisa liburan ke luar negeri setiap bulan. Hidupmu jadi susah dan akhirnya akan menyesal menikah dengannya."
Malika hanya diam. Hatinya masih ingin Pradipta, tapi logikanya mulai menyerah pada bujuk rayu keluarganya. Dalam sunyi, dia mulai menghibur diri, mungkin benar, cinta saja tak cukup.
Dengan Rendy dia akan punya segalanya. Maka mulai saat ini ia bertekad akan mulai membuka hati untuk calon suaminya itu dan melupakan Pradipta sebagai masa lalu.
semoga hana masih tetap waspada...jangan sampai hana jadi menikah dengan pria paruh baya yang kejam pilihan si Burhan
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..