Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Hutan Tabuan, sebuah hutan lebat yang terletak di perbatasan antara wilayah tengah dan timur Pulau Daksina, terkenal sebagai tempat hunian berbagai makhluk buas, mulai dari hewan biasa, hingga spesies yang tergolong sebagai monster. Pepohonan di dalamnya menjulang begitu tinggi hingga pada siang hari, sinar matahari pun kesulitan mencapai permukaan tanahnya.
Namun, saat ini, pekatnya malam dan derasnya hujan pun tak sanggup membendung sesosok pria tua yang melesat melintasi hutan itu. Setiap makhluk yang mencoba menghambatnya pun bernasib tragis: antara tewas dengan tubuh terpotong-potong atau musnah tak berbekas. Seolah sedang mengejar sesuatu, pria tua itu tak menghiraukan kesan kengerian yang disebabkan oleh kehadirannya pada seluruh penghuni hutan. Kesan yang tertanam hingga bertahun-tahun ke depan.
Keluar dari hutan Tabuan, Raksala mempercepat terbangnya, “Bertahanlah!” katanya dalam hati. Kepada siapa pun kata-kata itu tertuju, sebuah rasa khawatir yang amat sangat tersirat darinya. Dari kejauhan, asap-asap hitam tampak mengepul ke angkasa, dan seketika raut wajah si pria tua berubah. Jika hatinya memendam kekhawatiran, amarah adalah satu-satunya yang terpancar dari wajahnya.
Raksala mendarat di sebuah tempat yang terlihat seperti desa. Namun, yang ia dapati hanyalah bangunan-bangunan yang telah hancur atau hangus terbakar. Raut wajah pria itu semakin tak terbaca kala ia melangkah memasuki wilayah desa tersebut. Reruntuhan, suara gemeretak api yang masih berkobar di beberapa titik, serta jalanan dan tanah yang telah bercampur dengan warna abu dan darah.
Tangan Raksala menggenggam erat. Saat ini, hanya kebijaksanaan berkat usia dan asam garam kehidupanlah yang menjadi peredam utama ledakan amarahnya. Ia melangkah perlahan sembari meluaskan persepsinya, sebuah kemampuan penginderaan sederhana yang bisa dilakukan oleh pendekar tingkat tinggi. Namun, kedigdayaan Raksala membuatnya tak akan melewatkan apa pun yang terjadi dalam radius sepuluh kilometer di sekelilingnya.
Pria tua itu memejamkan matanya tatkala terdengar beberapa suara tawa di tempat yang terpisah. ‘’Meninggalkan beberapa orang untuk menjaga dan membungkam siapa saja yang melewati tempat ini …,’’ batin Raksala, ‘’Pintar, sayangnya hanya pria tua ini yang tiba di sini.’’ ia menghentakkan kakinya ke tanah dan sebuah gelombang energi disertai gemuruh menyebar ke segala arah.
Keheningan menyusul getaran yang berangsur-angsur menghilang. Tak ada lagi tawa yang terdengar. Tak pula jasad-jasad para pemilik tawa itu. Kobaran-kobaran api yang semula masih membubung pun telah berganti dengan asap tipis yang segera terurai lenyap dan tertelan kelamnya malam. Raksala terdiam selama beberapa saat lagi, tetapi tak ada pertanda kehidupan yang sejak tadi dinanti-nantikannya.
Tak perlu mengitari seluruh area bagi dirinya untuk dapat memastikan hal itu. Ia yakin bahwa kedua orang itu pun telah tiada. Jauh dalam hatinya, pria tua itu berharap kedua orang yang dinantikannya itu masih hidup dan meninggalkan jejak untuknya sebab jika demikian ujung dunia sekalipun akan ia datangi untuk membawa mereka kembali bersamanya. Sayangnya, kemampuan persepsi miliknya telah memastikan tak ada hawa kehidupan sama sekali, hingga tangisan itu tertangkap oleh telinganya.
Raksala bergegas menuju sumber suara tangisan itu. Dengan satu tangan, ia singkirkan sepetak dinding yang telah runtuh, dan seiring dengan semakin jelasnya tangisan itu, sesosok bayi terbalut selimut hingga setinggi dada, dan terlindung selaput tipis yang merupakan sisa-sisa sebuah perisai tenaga dalam. Walaupun desa ini cukup terpencil, wajar jika ada orang yang cukup berkemampuan untuk memberi tindakan perlindungan sederhana seperti itu. Namun, samar-samar ia pun merasakan sebuah energi yang aneh dari tubuh di bayi.
Raksala memungut bayi yang ternyata berjenis kelamin laki-laki itu dan memeriksa kondisinya, tetapi selain energi yang baginya terasa asing itu, bayi ini bersih dari segala hawa yang bersifat negatif. Sesaat kemudian, tangis si bayi mulai mereda. Raksala mengalirkan sedikit energi murninya pada bayi itu dengan hati-hati. Sosok mungil yang telah tenang itu pun mulai mengantuk dan terlelap tak lama kemudian. Di samping itu, Raksala merasa bahwa keberadaan bayi itu seakan mengalirkan kehangatan dalam dirinya.
Tersenyum tipis, Raksala berkata dalam hati, ‘’Aku sedang mencari orang-orang yang sangat berarti bagiku di tempat ini, tapi yang kutemukan justru sosok kecil yang pemberani seperti dirimu,’’ pria itu menatap sekelilingnya sebelum menghela napas dan kembali menatap si bayi, ‘’Baiklah, aku tak tahu siapa namamu sebenarnya, tetapi mulai hari ini, akan kupanggil kau Wira. Wira Pramana. Semoga kelak kau menjadi sosok lelaki yang pemberani dan tak pernah ragu untuk berjalan dalam kebenaran.’’
Raksala menatap langit. Warna hitamnya telah bergeser dan memudar, berganti dengan rona merah kekuningan milik sang fajar. Pria tua itu melayang, dengan si bayi dalam gendongannya. Dari ketinggian, ia dapat melihat langsung kerusakan yang terjadi di desa itu dengan sangat jelas. Jika berkehendak, ia bisa saja melakukan reka ulang seluruh kejadian di tempat itu menggunakan sebuah teknik rekonstruksi energi yang tersimpan di sana. Namun, kini ada dua hal penting yang harus ia lakukan.
...***...
Sebuah rombongan yang terdiri dari ratusan pasukan yang berjalan kaki, puluhan pendekar yang menunggang kuda, empat kereta kuda berisi orang-orang yang menjadi tahanan, dan beberapa kereta kuda lagi yang sepertinya mengangkut barang jarahan melintasi sebuah jalan di lereng Gunung Samra. Bendera-bendera berwarna hitam dengan gambar tengkorak tampak berkibar di berbagai tempat dalam rombongan itu.
Penunggang kuda terdepan, seorang pria berambut panjang yang memancarkan aura yang cukup kuat tiba-tiba mengangkat tangan, tanda agar rombongan itu berhenti. Tak lama kemudian, cuaca yang semula terik berubah total. Mendung pekat bergulung-gulung mengiringi hembusan angin yang semakin kencang. Kilat menyambar dan guntur meraung-raung.
Tiba-tiba, seluruh pendekar dan pasukan dalam rombongan tersebut merasakan tekanan hawa membunuh yang sangat kuat, seakan gunung itu sendiri tengah menindih dan membenamkan mereka perlahan-lahan. Bahkan pemimpin rombongan, yang merupakan sosok terkuat di situ, pun kesulitan meski sekadar menarik napas. Namun, nalurinya menyadari bahwa seluruh fenomena ini bukan gejolak alam semata. Ia mendongak dan mendapati sosok pria tua berambut putih panjang tengah melayang di udara. Tangan kanannya menggendong sesuatu yang tampak seperti sesosok bayi.
‘’Senior! Bisakah kita berbicara?’’ pemimpin rombongan itu menyadari kalau sosok itu mau, mereka bisa lenyap tak bersisa kapan saja.
‘’Apakah kami telah menyinggung Anda?’’ pemimpin rombongan itu mengucapkan setiap kata-katanya dengan selantang mungkin sembari berusaha keras agar tak terdengar menantang.
‘’Jika memang demikian, izinkan kami meminta maaf, tapi setidaknya katakan apa salah kami?’’ ketika sosok itu sama sekali tak menunjukkan respons, pemimpin rombongan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan menahan tekanan hawa membunuh itu. Hawa yang telah membuat banyak di antara anggota rombongannya yang tak sadarkan diri. Sebagian di antaranya bahkan langsung tewas dengan darah mengalir dari lubang telinga, hidung, dan mulut.
Belum sampai berdiri tegak, pemimpin rombongan itu jatuh dalam posisi berlutut. Ia dapat merasakan tempurung lututnya telah hancur akibat hal itu. Meski demikian, ia masih berusaha menatap sosok yang diyakininya telah berada jauh di atas tingkat pendekar bumi itu. Hal terakhir yang dilihatnya adalah wajah tegas yang hanya dengan tatapannya dapat menghancurkan sebuah gunung. Lalu, sebuah suara yang seakan menggema dalam kepalanya berbunyi, ‘’Bukan aku yang harus memaafkan kalian!’’
Deru longsor dan gemuruh badai mengamuk sejadi-jadinya. Seolah, lereng Gunung Samra sendiri sedang bergerak dan menimbun segala yang ada di hadapannya tanpa pilih-pilih. Ketika cuaca mulai tenang dan langit kembali cerah, yang tersisa hanya empat kereta kuda, dan yang masih bernyawa hanyalah para tahanan yang berada di dalamnya.
Seakan terbangun dari tidur panjang, satu demi satu orang-orang itu keluar melalui pintu kurungan yang entah kenapa sudah terbuka. Tak hanya belenggu di tangan dan kaki mereka yang tiba-tiba hancur, orang-orang yang menangkap mereka pun raib entah ke mana. Tak satu pun di antara mereka yang menyadari keberadaan sosok Raksala yang diam-diam mengamati dari balik sebongkah awan.
Bongkahan awan itu pun perlahan menjauh, dan semakin jauh jaraknya dari orang-orang itu, semakin cepat pula gerakannya, hingga akhirnya menghilang di bibir cakrawala. Di atasnya, Raksala berdiri tenang memeluk si bayi. Satu hal telah ia selesaikan. Saatnya melakukan hal berikutnya.
‘’Nah, bocah, mari kita pulang. Mulai sekarang, Perguruan Rantai Emas adalah rumahmu…,’’ katanya sambil menatap bayi laki-laki itu. Seakan menyetujui perkataannya, bayi itu pun tersenyum.