Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meninggalkan kota ini..
Langit masih gelap saat aku membuka mata. Jam di dinding menunjukkan pukul 04.11 pagi. Udara dini hari terasa dingin, menusuk ke kulit, tapi tak mampu menandingi dinginnya luka yang selama ini kutahan dalam dada.
Kupandangi koper kecil yang sudah kutata sejak dua hari lalu. Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa helai pakaian, dokumen penting, hasil USG, dan sebuah boneka kecil yang dulu pernah kubeli tanpa alasan di toko mainan. Sekarang aku tahu, boneka itu akan menjadi milik anakku kelak.
Mama membantuku mempersiapkan semua. Ia tak banyak bertanya, tak menasihati apa pun. Tapi pelukan hangatnya di depan pintu cukup untuk menyuntikkan kekuatan yang kubutuhkan.
"Jaga dirimu, Nak," ucapnya sambil mengusap puncak kepalaku.
Aku mengangguk. "Aku akan baik-baik saja, Ma. Demi anak ini."
Aku naik taksi ke stasiun. Kota ini masih tidur. Lampu-lampu jalan menyala sayu, seperti ikut mengantar kepergianku. Setiap tikungan yang kulewati seperti menyimpan kenangan—tentang awal pernikahanku dengan Raka, tentang canda tawa dengan Tania, tentang pengkhianatan yang mengguncang segalanya.
Setibanya di stasiun, aku menunggu kereta ke Bandung. Tanganku terus memegang perut. Entah kenapa, sejak tahu aku hamil, aku jadi lebih sering melindungi perutku secara naluriah, seakan ingin mengatakan, "Mama ada di sini, Nak."
Perjalanan kereta memakan waktu lebih dari tiga jam. Selama perjalanan, aku duduk di dekat jendela, menyaksikan langit yang perlahan berubah dari gelap ke jingga. Di sampingku, ada ibu-ibu muda bersama anak balitanya. Tawa kecil bocah itu membuatku tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku membayangkan seperti apa anakku kelak. Apakah ia akan punya mata seperti Raka? Atau senyumanku? Yang jelas, ia akan kubesarkan dengan cinta yang tidak pernah setengah.
Setibanya di Bandung, aku langsung menuju kontrakan kecil milik pamanku. Rumah itu sudah lama tak ditempati. Ukurannya kecil, tapi cukup nyaman. Dua kamar tidur, satu ruang tamu, dapur sederhana, dan halaman mungil di belakang. Tempat ini akan jadi awal baru bagiku.
Hari-hari pertamaku di Bandung kuisi dengan membereskan rumah, membeli kebutuhan pokok, dan sesekali keluar untuk kontrol ke dokter kandungan terdekat. Dokternya perempuan, ramah, dan sangat perhatian.
"Kamu harus lebih sering istirahat dan jangan terlalu banyak pikiran," katanya sambil tersenyum saat memeriksa kondisi janinku.
Aku hanya mengangguk. Tapi dalam hati, aku tahu pikiranku masih kacau. Aku sedang mencoba bertahan di kota asing, dengan status sebagai ibu tunggal yang belum sepenuhnya siap. Tapi aku tak punya pilihan lain.
Suatu sore, saat aku sedang menyapu halaman kecil di belakang kontrakan, seorang tetangga menyapaku. Seorang ibu muda, berwajah ramah, mengenakan daster dan membawa sepiring risoles.
"Hai, kamu yang baru pindah, ya? Aku Siska, tinggal di sebelah."
Aku tersenyum kaku. Sudah lama aku tak berbasa-basi dengan orang baru.
"Iya, aku Nayla."
"Wah, pas banget, aku baru bikin risoles. Coba ya?"
Aku menerimanya sambil mengucap terima kasih. Dan dari pertemuan kecil itu, aku mulai merasa sedikit lebih manusia. Siska ternyata seorang single mom juga. Suaminya meninggal karena kecelakaan kerja.
"Awalnya aku pikir aku nggak akan bisa bangkit," katanya suatu malam saat kami mengobrol di teras. "Tapi ternyata, anakku jadi alasan terbesar untuk terus hidup."
Aku terdiam, menatap bintang. Kata-katanya menusuk, karena sangat dekat dengan kondisiku.
Minggu ketiga di Bandung, aku mulai mencari pekerjaan lepas. Dari rumah, aku membantu bisnis online kecil-kecilan milik temanku yang dulu satu kampus. Ia menjual kerajinan tangan dan butuh admin untuk sosial media.
Setiap pagi, aku menyusun konten. Sore harinya, aku membalas pesan-pesan pelanggan. Pekerjaan ini tidak berat, tapi cukup melelahkan untuk tubuhku yang mulai mudah lelah karena hamil.
Namun, aku merasa lebih berarti. Aku tidak hanya duduk menunggu waktu berlalu. Aku sedang membangun hidup baru. Batu demi batu.
Suatu hari, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal. Saat kubuka, tubuhku langsung menegang.
"Kamu di Bandung, ya? Aku lihat dari story orang. Aku butuh ketemu. Penting. - Raka."
Ternyata pelarianku tak sepenuhnya rapi. Entah siapa yang mengunggah sesuatu yang tanpa sadar menyebut namaku. Dunia ini sempit. Aku lupa bahwa algoritma bisa menjadi pengkhianat juga.
Aku menatap layar ponsel lama. Tak ingin membalas. Tapi aku tahu, pada akhirnya aku harus berhadapan lagi dengan masa lalu.
Tapi tidak sekarang.
Malam itu aku kembali menulis di buku harianku.
"Hari ini Mama belajar untuk tidak takut. Sekarang Mama tahu, berani bukan berarti tidak pernah goyah, tapi tetap melangkah meski takut."
Aku menatap langit dari jendela. Di kota ini, aku bukan siapa-siapa. Tapi aku akan menjadi segalanya bagi anakku. Dan itu lebih dari cukup.
Aku belum tahu ke mana hidup akan membawaku. Tapi satu hal pasti:
Aku tidak lagi melihat ke belakang.