Di tahun 2036, dua agen elit Harzenia Intelligent Association (HIA), Victor dan Sania, mendapatkan tugas khusus yang tak biasa: mudik ke kampung halaman Victor. Awalnya terdengar seperti liburan biasa, namun perjalanan ini penuh kejutan, ketegangan emosional, dan dinamika hubungan yang rumit
Sejak Kekaisaran jatuh hanya mereka God's Knight yang tersisa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emperor Zufra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9:Keluarga Baru Sania
Desa Rowling, sebuah dusun kecil yang damai di selatan Granada, diselimuti cahaya matahari keemasan menjelang sore. Udara Ramadhan membawa kesejukan tersendiri meskipun matahari masih menggantung tinggi. Suara azan ashar dari masjid tua di tengah desa bergema lembut, menggema di antara rumah-rumah bergaya Andalusia klasik dengan dinding putih dan genteng merah.
Victor dan Sania duduk di beranda rumah keluarga Enus. Sejak mereka tiba kemarin malam, suasana desa membawa ketenangan yang berbeda dari hiruk pikuk pertempuran dan pengejaran yang mereka lalui sebelumnya.
Sania mengenakan gamis hijau muda dan kerudung krem, duduk sambil memegang segelas teh mint hangat. Ia mengamati burung-burung gereja yang terbang rendah, menyambut sisa-sisa sore yang damai. Di sebelahnya, Victor duduk berselonjor dengan sarung digulung hingga lutut. Ia memegang kipas tradisional yang terus-menerus diayunkan ke wajah.
“Aku masih belum terbiasa melihatmu diam lebih dari lima menit,” canda Sania tanpa menoleh.
Victor mengangguk pelan. “Di sini… sepi banget. Kayak waktu berhenti. Aku suka itu.”
Mereka menikmati keheningan sejenak.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kecil. Liam, keponakan Victor yang masih berusia tujuh tahun, datang membawa dua gelas air timun segar. “Ini untuk Paman Victor dan Tante Sania!” serunya ceria.
Sania tersedak kecil mendengar sebutan “Tante.”
“Terima kasih, Liam,” kata Victor sambil mengusap kepala bocah itu.
Setelah Liam pergi, Sania berbisik, “Kita perlu ngomongin soal ‘istri palsu’ ini.”
Victor hanya mengangkat bahu. “Kau yang mau tinggal di sini seminggu. Kalau aku bilang kita cuma rekan, bisa-bisa ibu nyuruh kita tidur di gudang kambing.”
Sania mendesah panjang, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya.
Menjelang magrib, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan. Menu berbuka sederhana tapi menggoda: kurma segar, roti pipih, sup harira hangat, dan pastel isi kentang. Margaretha, ibu Victor, mengenakan apron bermotif bunga dan terus mondar-mandir menata hidangan.
“Kalau di markas kalian makan kayak gini tiap buka puasa?” tanya Margaretha penasaran.
Victor menjawab sambil tersenyum. “Di markas, biasanya kami hanya dapat energi bar dan susu hangat. Kalau sedang tidak dikejar musuh, ya.”
"Iya kan Sayang?"
Seluruh keluarga tertawa, kecuali Sania yang tersedak saat minum air.
Selepas tarawih di masjid kecil desa, Victor dan Sania berjalan menyusuri jalanan yang diterangi lampu lentera. Banyak anak-anak bermain petasan, sementara warga berkumpul di lapangan tengah desa untuk tadarus bersama.
“Ini pertama kalinya aku merasa benar-benar... tenang,” ucap Sania sambil menatap langit malam.
Victor menoleh. “Tenang itu bukan berarti berhenti. Tapi tempat buat napas sebelum kita mulai lari lagi.”
Sania tersenyum. “Kau sok bijak sejak kapan?”
“Sejak aku punya istri Secantik kamu,” jawab Victor sambil tertawa pelan.
Beberapa hari berikutnya diisi dengan rutinitas khas desa. Victor membantu ayahnya di sawah, memperbaiki sistem irigasi manual yang bocor. Sania, yang awalnya hanya ikut karena terpaksa, mulai tertarik membantu ibu Victor di dapur, belajar membuat roti khas daerah—mollete, yang disajikan saat sahur.
Tiap pagi, aroma kopi khas Andalusia menyeruak dari dapur. Sania yang biasanya tidur berat, kini justru bangun lebih pagi dari Victor. Ia mulai terbiasa dengan suara ayam, suara adzan subuh, dan kesibukan kecil sebelum sahur.
Suatu pagi, saat duduk berdua di kebun belakang rumah dengan secangkir teh, Sania berkata, “Victor… saat semua ini selesai, setelah kita kembali ke HIA, menurutmu… apa semua akan kembali seperti biasa?”
Victor memandangi langit yang mulai terang. “Menurutku… tidak. Kita berubah. Aku berubah. Kau juga. Dan itu bagus.”
Sania terdiam, lalu bertanya pelan, “Kau akan rindu tempat ini?”
“Setiap detiknya,” jawab Victor tanpa ragu.
Sepuluh hari menjelang Idul Fitri, suasana desa Rowling menjadi lebih hidup. Warga mulai membersihkan masjid bersama, memasang lampu hias di jalanan, dan menyiapkan kue-kue khas lebaran seperti polvorón dan mantecado. Margaretha mengajak Sania membuat kue kering, dan meskipun dapurnya sempat berantakan karena ulah Sania, suasana penuh tawa dan kehangatan.
Sementara itu, Victor mengajari Liam dan anak-anak lain membuat lampion dari bambu dan kertas minyak. Mereka menggantung lampion-lampion itu di sepanjang pagar rumah.
Malam sebelum malam takbiran, Sania duduk di atap rumah bersama Victor, memandang desa yang kini penuh cahaya lampion dan lentera minyak. Warga berkumpul di lapangan, bersiap untuk lomba adzan anak-anak dan nasyid.
“Victor…” ucap Sania pelan, “aku tahu ini cuma sandiwara, tapi… untuk beberapa saat, aku merasa seperti bagian dari keluarga ini.”
Victor menoleh dan menatap mata Sania yang berkilau oleh cahaya lampion.
“Kau memang bagian dari keluarga ini, Sania. Dengan atau tanpa sandiwara.”
Sania tersenyum. “Terima kasih. Tapi ingat, begitu lebaran selesai, aku akan pastikan ibu tahu kalau kita bukan suami istri beneran.”
Victor tertawa. “Sampai hari itu datang… nikmati saja peranmu.”
Dan mereka duduk berdua dalam diam, memandangi langit malam Andalusia yang bertabur bintang.
Keesokan Harinya
Pagi di desa Rowling datang dengan suara ayam jago, dentingan sendok dari dapur, dan... jeritan Victor.
“Aduh, Sania! Sandalku kemana lagi aduh aduh?! Aku taruh di sini semalam!”
Sania muncul dari dalam rumah sambil menggenggam segelas teh mint. “Kau yakin tidak salah taruh? Atau jangan-jangan itu bagian dari latihan ‘infiltrasi diam-diam’ ala agen HIA-mu?”
Victor mendengus, berjalan dengan satu kaki beralaskan sandal dan satu lagi hanya kaus kaki. “Ini bukan lucu, ini bencana. Sandal itu sudah menemaniku sejak misi di Marsadura!”
“Yang robek sebelah kiri itu?”
“Justru karena robek, dia punya nilai historis.”
Sania tak tahan, ia tergelak. “Tenang, Sherlock tak parani btw Tadi kulihat Liam memakaikannya ke kucing.”
Victor langsung panik. “Apa?! Sandalku dipake si Mustofa?!”
Di halaman, terlihat seekor kucing oranye belang putih—Mustofa—berjalan dengan gagah memakai sandal kanan Victor, lengkap dengan sayap-sayap dari daun pisang yang ditempel oleh Liam. Seperti superhero kampung.
“Dia bilang Mustofa lagi cosplay jadi Agent” jelas Sania sambil menahan tawa.
Victor berlutut memandangi Mustofa. “Saudaraku… semoga misi ini yang terakhir.”
Menjelang siang, Sania ikut membantu Margaretha membuat kue khas lebaran. Dapur dipenuhi adonan lengket, tepung beterbangan, dan aroma manis mentega. Liam dan teman-temannya masuk diam-diam, curi-curi nyicip adonan.
“Kamu mau pakai pewarna makanan merah atau biru?” tanya Margaretha.
Sania menatap dua botol kecil. “Merah aja, biar dramatis.”
Namun yang dia tak tahu, Liam iseng menukar label botol. Pewarna “merah” itu sebenarnya… cabai bubuk.
"Bibi tidak akan tahu soal ini"
Beberapa jam kemudian, saat kue pertama keluar dari oven, Sania dengan bangga menyodorkannya ke Victor.
“Coba, ini hasil eksperimenku enak loh!”
"Buatan istri mu"
Victor menggigit, mengunyah... dan langsung terdiam. Lalu berlari ke sumur sambil memekik, “INI KUE ATAU BOM?!”
Sania menatap kuenya. “Eh... kok... warnanya juga kayak Apa ya?”
Margaretha mencicipi satu. “Hmm. Mungkin... ini varian baru: kue balado.”
Sania langsung mengejar Liam yang tertawa-tawa di balik jendela. “LIAAAMMMM!!!”
"Maaf bibi lariiii"
Menjelang sore, saat suasana agak tenang, datang kabar dari kepala desa: malam nanti akan ada “Festival Takjil Internasional” yang diadakan di lapangan. Warga diminta menyumbang satu jenis makanan untuk dibagikan ke seluruh pengunjung.
Victor bersemangat. “Kita bikin nasi goreng keagenan! Resep khusus dari masa pelatihan HIA. Cukup satu piring buat ngenyangin tiga orang dan bikin lawan pingsan kalau kebanyakan.”
Sania mengangkat alis. “Kau yakin itu makanan? Bukan senjata biologis?”
Tapi Victor serius. Ia membawa wajan besar ke halaman, mengajak Liam dan beberapa tetangga anak muda. Dengan penuh semangat, ia mulai menggoreng nasi dengan bahan-bahan ‘rahasia’ yang mencurigakan: bawang, telur, saos rahasia, dan serpihan daun yang katanya “berasal dari pohon intelijen di pegunungan Arpa.”
Ketika akhirnya disajikan malam itu, antrian ke stand Victor justru paling panjang. Entah kenapa, semua orang menganggap makanan superpedas dan misterius itu sebagai “obat flu alami.”
Sementara itu, stand Sania menyajikan pastel isi ayam dan “kue merah gagal” yang kini diberi nama baru oleh Margaretha: “Polvorón Lava”—kue berani, hanya untuk yang punya nyali.
Sania pasrah. “Kalau ini sukses, aku akan buka toko kue horor muehwhwwhe.”
Malam itu ditutup dengan pertunjukan teater anak-anak bertema Ramadhan. Liam tampil sebagai tokoh utama: “Detektif Ramadan,” lengkap dengan kaca pembesar dari tutup botol dan jubah dari sajadah.
Di tengah-tengah pertunjukan, sang detektif meneriakkan, “Dan pelaku pencurian sandal paman Victor adalah... Mustofa si kucing!”
Penonton tertawa, dan Mustofa yang sedang tidur di pangkuan Margaretha, terbangun lalu kabur dengan gaya dramatis.
Victor bangkit dari bangku. “Itu fitnah! Sandalku memang suka jalan sendiri!”
Sania tertawa hingga air matanya keluar.
Menjelang tidur, mereka duduk lagi di beranda, menikmati malam Ramadhan yang mulai sejuk. Desa Rowling sunyi, hanya suara jangkrik dan lontaran petasan sesekali dari ujung jalan.
“Kau sadar,” kata Sania, “bahwa kalau kita tinggal di sini sebulan lagi, kita bisa buka warung takjil?”
“Dan kamu bisa jadi influencer ‘Kue Pedas Andalusia’,” balas Victor.
Sania tertawa. “Tapi serius, Victor. Aku gak nyangka... tempat sesederhana ini bisa membuatku begitu... nyaman.”
"sudah lama sejak hal itu terjadi padaku...."
Victor menatap langit. “Mungkin bukan tempatnya. Tapi orang-orangnya. Dan mungkin juga... karena kita akhirnya berhenti lari dan diburu...Lupakan itu.”
Sania menoleh. “Jangan jadi mellow lagi. Nanti aku pikir kamu jatuh cinta beneran padaku.”
Victor tersenyum nakal. “Siapa bilang tidak?”
Sania langsung melempar bantal ke wajah Victor.
"hehehehe" ucap Victor
“Bodoh.” ucap Sania
“Cuma sedikit,” kata Victor sambil tertawa, “Sedikit goblok... buat kamu.”
Dan malam di desa Rowling ditutup dengan suara tawa, cahaya lampion, dan seekor kucing memakai satu sandal di kepalanya.
Ini akan jadi Gila Malam-malam yang Gila
Bersambung......
.hai salam kenal/Good/
bab nya panjang sekali