"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Segel Makam dan Suara dari Masa Silam
Pagi itu langit Barru tampak kelabu, seolah alam turut merasakan beban yang sedang ditanggung dua jiwa yang akan membuka pintu masa lalu. Aisyah dan Khaerul berdiri di depan kompleks makam tua keluarga Mahfudz, yang tersembunyi di balik rimbunnya hutan bambu di sisi timur kota. Jalan setapak berlumut dan reranting kering mengantar mereka menuju sebuah bangunan kecil berbatu, nyaris roboh, yang dikenal dengan sebutan Makam Tertutup.
Di tengah rerumputan dan batu-batu nisan yang tak lagi terbaca namanya, bangunan itu berdiri—senyap dan agung. Di pintunya, terukir simbol bulan sabit dan bintang yang melingkari huruf-huruf Arab kuno. Aisyah merogoh kantongnya dan mengeluarkan kunci tua yang ditemukan di mushaf milik ibunya.
“Apakah kau siap?” tanya Khaerul, tangannya menyentuh bahu Aisyah dengan lembut.
Aisyah mengangguk. “Tidak sepenuhnya. Tapi aku percaya, Allah akan memampukan.”
Ketika kunci itu dimasukkan ke dalam lubang besi tua, terdengar suara klik yang dalam dan berat, seperti suara gerbang waktu yang membuka dirinya. Pintu berderit pelan. Aroma tanah lembap dan dupa tua menyeruak keluar, membalut mereka dengan kesan sakral dan misterius.
Di dalamnya, terdapat sebuah peti batu besar yang tak pernah dibuka. Di sampingnya, ada rak tua berisi gulungan kertas, kain kafan lusuh, dan satu peti kayu kecil. Khaerul membuka peti itu terlebih dahulu. Isinya: surat wasiat.
Aisyah membacanya dengan suara lirih:
“Untuk keturunanku, yang kelak menemukan kebenaran bukan karena dipaksa, tapi karena dipanggil oleh nurani. Jika engkau membaca ini, maka ketahuilah: aku, Mahfudz bin Ibrahim, bukan hanya meninggalkan warisan harta, tetapi juga warisan luka yang belum sembuh.”
Aisyah tercekat. Di balik lembaran surat itu, terselip foto tua. Wajah Mahfudz berdiri di samping seorang perempuan dan anak kecil. Tapi yang membuat Aisyah terguncang adalah wajah anak itu—mirip sekali dengan foto masa kecil ibunya, Nuraini.
“Ini... bukti bahwa Nuraini memang pewaris sah,” gumam Aisyah. “Dan yang lebih mengejutkan, di belakang foto ini ada catatan.”
Khaerul membaca pelan:
“‘Halimah adalah titipan, tetapi darahku mengalir padanya lewat pernikahan rahasia antara istriku dan sahabatku. Aku mencintai keduanya.’”
Aisyah menutup mulutnya, terisak. “Mereka bukan sekadar saudara... Ibu dan Halimah adalah dua wajah dari cinta yang sama.”
Tiba-tiba terdengar langkah cepat dari luar. Khaerul segera menutup pintu makam. Mereka menahan napas.
Seseorang datang.
Pintu diketuk keras. “Buka! Kalian tidak berhak mengganggu makam leluhur kami!”
Suara itu dikenal. Pak Wahid—tokoh adat yang selama ini menentang upaya mereka menyelidiki masa lalu. Ia tidak sendiri. Di luar, beberapa pria berbaju hitam berdiri dengan ekspresi marah.
“Kita harus keluar. Tapi kita tidak boleh membawa surat ini. Mereka bisa menyitanya,” kata Khaerul cepat.
Aisyah menyembunyikan surat itu di balik batu nisan kecil di pojok ruangan. Mereka keluar, membawa hanya catatan foto dan ingatan.
Pak Wahid menatap tajam. “Kalian menggali luka yang sudah terkubur. Kalian akan membawa bala.”
Aisyah menatapnya balik. “Luka hanya sembuh bila dibersihkan, Pak. Tidak dengan dibiarkan membusuk.”
Pak Wahid meludah ke tanah, lalu pergi.
Saat malam menjelang, Aisyah duduk di teras rumah sambil memegang foto itu. Khaerul duduk di sampingnya.
“Kau tahu, dulu aku ingin menjadi guru, bukan ustadzah,” kata Aisyah tiba-tiba. “Tapi sekarang... aku merasa Allah sedang mengajarkanku sesuatu yang jauh lebih dalam.”
Khaerul menatapnya. “Apa itu?”
“Bahwa kebenaran, cinta, dan iman sering berjalan bersama, tapi tak selalu mudah ditempuh. Kadang kau harus memilih mana yang paling kau perjuangkan.”
Khaerul menggenggam tangan Aisyah. “Dan aku memilih semuanya, bersamamu.”
Hening. Tapi hening itu kini tak lagi menakutkan. Ia menjadi saksi bahwa perjalanan mereka belum selesai. Masih ada rahasia yang belum terbuka, nama-nama yang belum disebut, dan cinta yang baru saja mulai tumbuh.