Sepeninggal kedua orang tuanya, Dennis harus menggantungkan hidupnya pada seorang janda kaya bernama Vivianna. Sehari-harinya Dennis bekerja menjadi asisten pribadi Si Tante, termasuk mengurusi pekerjaan sampai ke keperluan kencan Tante Vivianna dengan berbagai pria.
Sampai akhirnya, Dennis mengetahui motif Si Tante yang sesungguhnya sampai rela mengurusi hidup Dennis termasuk ikut campur ke kehidupan cinta pemuda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
“Awas kamu kurang ajar lagi!” geram Tante Vivianna sambil menyulut rokoknya.
Aku diam saja sambil menahan nyeri. Ice Pack masih tertempel di pipiku. Rasanya dengungan masih menghiasi telingaku sampai kepala. Perih, panas, pedih jadi satu.
Kayaknya dia juga mencakarku. Soalnya kukunya yang bertabur berlian itu patah di dua jari.
“Bisa-bisanya kamu mencoba memperkosa saya?!” teriaknya terdengar sangat kesal.
“Saya pikir tadi tante setan, kalau beneran setan kan pasti bakalan hilang sebelum saya-“
“Kamu pikir saya setan? Terus kalau saya beneran setan kamu mau nekat memperkosa setan?! Gila kamu!!” dia masih memaki-makiku.
Kepalaku makin pusing.
Kuambil sebatang rokok, dan kusulut juga.
Pandanganku sedikit lebih jernih saat merasakan nikotin yang turun ke pangkal tenggorokanku.
“Setan mana ada yang mau diperkosa man-“
“Diam kamu!!”
Aku bungkam.
Sekitar beberapa lama kami berdua tanpa suara,
Hening.
Hanya ada hembusan asap yang menghiasi ruang dapur, menari-nari dan menghilang saat perlahan naik ke atas, diterpa udara.
“Kamu sepertinya...” Tante Vivianna mulai membuka obrolan. Aku sebenarnya menantikan pengakuannya. Tapi aku sabar saja dulu. Nanti juga dia akan bicara. “Terbiasa dengan perempuan.”
“Hm...” aku malas menjawab pertanyaan yang ini.
Tak perlu dijawab, kurasa.
“Tante ngapain malam-malam ke atas?” tanyaku, kuusahakan dengan nada yang lembut. Tapi sebenarnya aku ini berusaha keras untuk tidak memukul tembok di belakangnya
“Ini kan rumah saya, suka-suka saya dong.” Gumamnya sambil menghembuskan asap rokoknya ke wajahku.
Aku terkekeh sinis, alasan wanita. Mau menang sendiri. “Tante takut tidur sendirian yaaa?” godaku.
Dia melotot ke arahku tapi tidak menampikku. Kuanggap aku benar.
“Biasanya ada ikhsan, nelson, siapa lah itu. Sekarang nggak ada. Hehehe.” Kekehku.
“Brengsek kamu.” Gerutunya.
“Bisa aja sih saya temenin tidur. Tapi ada tambahan biaya ya...” kuhembuskan asapku ke wajahnya. Gantian.
“Temenin tidur macam apa yang pakai biaya hah?!”
“Biaya untuk menahan libido saya. Ngga sadar dari tadi itu buah berry kepampang jelas?”
Dia langsung menunduk dan terpekik kaget melihat gaun tidurnya sudah robek dan melorot. “Ini gara-gara kamu!” serunya sambil menutupi dadanya.
“Baju dinas itu dipakai di depan suami, jangan keponakan.” Gumamku tak mau disalahkan.
Ia setengah berlari menuju kamarnya.
Tapi pintunya tidak ditutup.
Semakin menguatkan pendapatku kalau ia takut tidur sendirian. Bahkan mungkin dia takut menempati rumah ini sendirian.
Kuletakkan ice pack kembali ke kulkas, lalu aku berjalan dengan rasa malas mengikutinya ke kamar.
Dia bahkan tidak pakai celana dalam.
Membelakangiku tanpa sehelai benang pun, sambil memilih baju tidur yang lain di lemarinya yang isinya acak-acakan itu.
“Bukan mau saya pakai baju begini, tapi hanya baju ini yang berhasil saya temukan!” serunya kesal.
“Kan bisa pakai yang lain.” Gerutuku. Membayangkan kalau besok pasti aku bakal disuruhnya untuk menyortir isi lemari berdasarkan warna, kegunaan, dan merek.
“Saya hanya bisa tidur kalau pakai baju yang bahannya tipis dan tidak mengikat.”
Aku menghela nafas panjang, lalu kulepaskan kaosku.
Kuloloskan ke tubuhnya.
“Pakai ini aja dulu.” Desisku.
Dia diam sebentar sambil menunduk melihat penampilannya dengan kaos oblong putih yang biasa kugunakan sebagai kaos dalam, saat memakai seragam paskibraka.
Di tubuhku terasa ketat, tapi ternyata di dirinya kebesaran ya, dia bagai tenggelam di kaos itu.
“Tipis dan tidak mengikat.” Desisku.
“Hm. Makasih.”
Itu tanda dia setuju dan meng-approve tindakanku.
“Sekarang...” Aku pun mematikan rokokku di asbak di atas meja riasnya lalu berbaring di kasurnya. Aku menepuk-nepuk area kosong di sebelahku. “Jelaskan ada apa sebenarnya. Siapa tahu kalau dengar cerita tante, saya bisa jadi ngantuk.”
**
“Saya adalah orang terakhir yang dihubungi ayah kamu. Doni mengirimkan saya WA. Tulisannya ‘pastikan janjimu untuk menjaga Dennis sepeninggalku’.” Kata Tante Vivianna.
Aku masih mendengarkannya berlagak santai, padahal rasanya aku ingin sekali berteriak marah. Kenapa hal yang seperti ini tidak pernah sampai padaku secara langsung? Harus kuancam dulu baru dia bilang? Tapi aku tak ingin merusak moment ini, jadi kubiarkan saja dia bicara dengan lebih lengkap, versinya sendiri. Dari sudut pandangnya.
Tante Vivianna melanjutkan ceritanya, “Jadi saya membalas pesannya, saya bertanya dan Doni pun membalas pesan saya. Katanya, ’Istriku mulai tidak terkendali. Ia menuduhku ada main dengan perempuan lain. Sumpah demi Tuhan, aku tidak melakukannya'.”
Lalu hening sejenak karena ia mengutak atik ponselnya. “Karena merasa ada yang tidak beres, jadi saya meneleponnya. Saya merekam pembicaraan kami karena merasa kondisi itu sudah di luar batas wajar. Insting saya bilang saya harus memiliki bukti, untuk sesuatu yang belum terjadi. Yang saya harapkan tidak terjadi. Kamu bisa mendengarnya sendiri. “
Ia menyodorkan ponselnya padaku, kami mendengarnya bersama.
“Aku melihat Rahayu membeli arsenik dari toko online.” Suara ayahku, Doni.
“Ya kamu lari dong dari sana! Istrimu sudah gila!” seru Tante Vivianna.
“Kalau aku lari, Dennis yang jadi korban, Vivi!”
“Kamu bawa kabur Dennis!”
“Entahlah, Vivi. Aku merasa kemana pun aku lari dia akan memburuku. Dia bahkan membayar dukun untuk menyantetmu. Tapi untung saja dia nggak tahu tempat tinggalmu.”
“Aku lagi? Kita sudah berapa lama tidak kontak, Doni.”
“Rahayu cemburu buta padamu. Dan ke semua wanita yang dekat denganku. Aku hanya mencoba memperbaiki bisnisku, Vivi. Dan kebetulan saja ada beberapa direktur atau PIC klien yang wanita. Itu juga dia cemburui. Bagaimana caranya aku menyejahterakan keluargaku?”
“Astaga, Doni... kamu harus hubungi polisi.”
“Entahlah...”
“Apa maksudmu dengan ’entahlah’? Kamu sedang berhadapan dengan orang gila!”
“Yah, bukan kali ini saja aku berhadapan dengan Orang Gila, Vivi.”
Suara Tante Vivianna tak terdengar selama beberapa saat.
Kurasa saat itu Tante Vivianna teringat akan masa lalunya. Dialah orang gila kedua yang dimaksud ayahku di rekaman itu. Saat ia depresi dan gangguan jiwa, yang menolongnya dan selalu di dekatnya adalah Ayahku, yang mengusahakan Tante Vivianna mendapatkan perawatan yang tepat adalah Ayah juga.
“Vivi, kamu ingat patah hatinya dirimu saat ditinggal suamimu?” terdengar suara ayahku lagi.
“Hm...” gumam Tante Vivianna.
“Sakit kan rasanya?”
“Sangat.”
“Rahayu adalah cinta sehidup matiku. Bagaimana aku tega melaporkannya ke polisi? Seburuk apa pun perbuatannya? Lebih baik aku mati daripada melihatnya tersiksa dipenjara.”
“Doni...” suara Tante Vivi mulai terisak.
“Vivi, mungkin ini terakhir kalinya aku mendengar suaramu. Titip Dennis ya Vivi. Jaga dia. Jadikan dia orang besar yang tidak sepertiku. Kami berdua, aku dan Rahayu, sangat menyayanginya.”
“Maksudmu... kamu akan membiarkannya membunuhmu?” isakan Tante Vivianna semakin jelas terdengar.
“Dia pernah bilang ‘daripada kau berulang kali direbut wanita lain, lebih baik kita bersama sampai mati saja. Sekalian Dennis ikut kita’.”
“Doni, tolonglah... gunakan akal sehatmu.”
“Vivi, Akan kuusahakan Dennis sadar kalau Rahayu sudah menorehkan racun. Entah dimana, tapi aku akan berusaha di sisa hidupku aku akan memberi Dennis kode kalau ada sesuatu yang berbahaya.”
Dan perbincangan itu pun terputus.
Aku menarik nafasku.
Pusing di kepalaku makin terasa.
Kini ditambah mataku yang buram.
Benang merahnya langsung terjalin, dengan pengakuan Bahar kemarin.
Kurasa... aku akan menjual rumah itu. Terlalu banyak kenangan pahit di dalamnya.
Aku sudah tak peduli lagi nanti harta akan dibagi dengan saudara-saudara ayah atau ibu. Aku tak ingin menikmati hasilnya.
“Kenapa menyembunyikan hal ini.” tanyaku.
“Kami takut kamu akan lebih frustasi.” Kata Tante Vivianna.
“Hm.” aku mengusap wajahku dengan kedua tanganku. “Aku jangan disamakan dengan Tante dong.”
“Maaf.” Ia hanya bilang begini.
Apakah maaf saja cukup?
Entahlah.
Tapi aku merasa aku butuh sesuatu yang lebih memiliki nilai selain kata ‘maaf’ saja. Aku tahu Tante Vivianna tidak salah, tapi tak dapat dipungkiri, ia salah satu pemicunya.
Ibuku adalah seorang IRT, sehari-hari kehidupannya hanya berputar di rumah, paling jauh ke pasar. Apalagi ia bergantung ke ayahku. Temannya hanya ayah.
Sementara pergaulan ayahku dan Tante Vivianna lebih luas, melalang buana. Berbagai manusia mereka temui langsung tidak hanya dari layar kaca atau ponsel. Mereka menghadapi seluk beluk kehidupan lebih mendalam.
Tentu saja, ibuku menganggap kedekatan Ayah dan Tante Vivianna tidak wajar, karena ia tidak terbiasa dengan kedekatan laki-laki dan perempuan. Karena ia tidak melakukannya.
Tentu saja ayah dan Tante Vivianna menganggap ibuku berlebihan, lebay, overthinking, karena mereka berdua sehari-harinya berinteraksi dengan lawan jenis, baik itu urusan bisnis atau urusan entertain. Kedekatan laki-laki dan perempuan tidak selalu urusan cinta-cintaan.
Karena mereka berdua tidak mengalami hal-hal seperti ibuku, terkukung di rumah sendirian.
Seandainya ayah dan Tante lebih memahami ibuku, membayangkan kalau mereka ada di posisi ibuku, setidaknya kalau tidak bisa membayangkan mereka bisa lebih menghormati ibuku.
Seandainya ibuku lebih bisa memahami ayah dan Tante, membuka pikirannya lebih luas akan dunia dan sistemnya. Setidaknya kalau tidak bisa, ia bisa lebih mempercayai ayahku dan berserah diri kepada Tuhan.
Ah, seandainya, seandainya 100 kali juga tidak berguna. Semua tidak terjadi berdasarkan 'seandainya'. Semua sudah terlanjur.
Kesalahpahaman ini sudah terjadi.
Dan tampaknya ayahku merelakan hal ini.
Maaf memang tidak cukup, makanya Tante Vivianna mengambil-alih pekerjaan ayahku atasku.
Ia sadar betul semua ini karenanya.
memancing di danau keruh
dan boom dapat ikan 🤣😂
ngerti kebiasaAne othor yg maha segala