Sekuel dari novel Cintaku Dari Zaman Kuno
Azzura hidup dalam kemewahan yang tak terhingga. Ia adalah putri dari keluarga Azlan, keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negara Elarion. Namun, dunia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Azzura menyamar sebagai gadis cupu dan sederhana semua demi kekasihnya, Kenzo.
Namun, tepat saat perkemahan kampus tak sengaja Azzura menemukan sang kekasih berselingkuh karena keputusasaan Azzura berlari ke hutan tak tentu arah. Hingga, mengantarkannya ke seorang pria tampan yang terluka, yang memiliki banyak misteri yaitu Xavier.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Azzura Hilang
Sinar mentari pagi menyelinap lembut melalui tirai tipis berwarna gading, menyinari kamar luas bergaya klasik dengan sentuhan modern. Aroma lavender yang menenangkan memenuhi ruangan, namun hati Azzura sama sekali tidak tenang.
Matanya perlahan terbuka. Langit-langit tinggi dengan ukiran kayu indah menyambut pandangannya. Ia mengerutkan dahi, duduk perlahan di atas ranjang king size yang empuk.
“Di mana aku?” gumamnya pelan, suara masih parau.
Tiba-tiba rasa nyeri menjalar di pundaknya. Ia meringis, mengangkat tangan dan menarik tali tank-top-nya ke samping.
Bekas gigitan yang memerah, dalam, dengan sedikit jejak luka yang sudah hampir sembuh.
Nafasnya tercekat. Ingatannya langsung terlempar kembali, hutan, Xavier, mata merah, dan gigitannya, semua hal itu berputar di kepalanya.
“A—apa yang … dia lakukan padaku,” bisiknya dengan suara gemetar.
Tepat saat itu, tiba-tiba suara seseorang terdengar.
“Kau sudah bangun rupanya.”
Azzura tersentak. Suara itu terdengar dalam, berat, dan dingin.
Ia mendongak cepat dan mendapati Xavier berdiri tak jauh darinya, mengenakan kaus hitam polos dan celana santai. Di tangannya, sebuah nampan dengan semangkuk sup hangat dan segelas air putih.
Mata hijau Azzura membulat sempurna.
“K—kamu .…” ucapnya gugup, “Apa yang kamu lakukan padaku semalam?!”
Xavier meletakkan nampan di meja kecil di sebelah tempat tidur dengan tenang, lalu menatapnya tanpa ekspresi.
“Aku hanya menandai kamu. Sebagai milikku.”
“Apa?!” Azzura hampir meloncat dari ranjang.
“Kau gigit aku! Tanpa izin! Kau ... kau bahkan nggak tanya apa aku mau atau nggak!”
Xavier menatapnya datar. “Alpha tidak butuh izin untuk menandai Luna-nya. Dan kau terpilih oleh takdir, bukan oleh keinginan.”
Azzura menghela napas, marah bercampur syok. Ia berdiri dari ranjang, memeluk tubuhnya sendiri, seolah ingin melindungi diri.
“Bagaimana kalau … orang tuaku tahu?” katanya lirih namun penuh tekanan. “Kau pikir mereka akan diam saja?”
Xavier menyeringai tipis, santai, bahkan seolah menikmati kepanikan Azzura.
“Kalau mereka tahu, ya tinggal minta restu. Lalu, kita menikah.”
“Apa?!” Mata Azzura membelalak. “Kau gila?! Menikah?! Aku bahkan baru kenal kau semalam!”
Xavier melangkah pelan mendekat. Tak terburu-buru, tapi langkahnya mantap.
“Aku bukan manusia biasa, Azzura. Begitu juga kamu. Kau pikir kau bisa selamanya hidup sebagai gadis biasa?”
Azzura mundur satu langkah, tapi pandangannya tak lepas dari pria itu.
“Aku gak pernah minta hidup seperti ini, aku gak pernah minta jadi Luna siapa pun.”
Xavier berdiri di hadapannya sekarang, tak lebih dari dua langkah jarak di antara mereka.
“Tapi sekarang kau sudah jadi Luna-ku. Dan aku akan melindungimu. Dengan nyawa sekalipun.”
Untuk sesaat hening menyelimuti ruangan.
Azzura menatapnya dalam-dalam. Dalam kekesalan, ada getar halus di dadanya. Sesuatu yang asing namun nyata. Nalurinya ikut berbicara. Dan itu menakutkannya lebih dari apa pun.
“Keluarlah. Aku nggak mau lihat muka kamu sekarang,” ucapnya akhirnya, lirih namun tajam.
Xavier menatapnya sejenak, lalu mengangguk sekali.
“Makanlah. Kau butuh tenaga. Luka itu akan sembuh lebih cepat jika kau tidak melawannya.”
Tanpa kata tambahan, Xavier berbalik dan keluar dari kamar meninggalkan Azzura yang berdiri mematung.
Di pundaknya, bekas gigitan itu berdenyut hangat seolah hidup. "Dasar manusia gila," celetuk Azzura kesal.
***
Di sisi lain.
Matahari pagi belum sepenuhnya naik saat suasana perkemahan kampus Asteria mendadak heboh. Beberapa mahasiswa terlihat berkumpul di tengah lapangan, wajah mereka serius, ada yang cemas, ada pula yang bingung.
Sania berdiri di tengah kerumunan itu, wajahnya pucat, mata sembab karena tak tidur semalaman.
“Aku udah cari ke sekitar tenda, ke dapur, ke toilet, bahkan ke jalur hiking. Dia gak ada,” ujar Sania dengan suara gemetar.
Dosen pembina lapangan, Bu Tania, langsung menoleh serius.
“Kamu yakin terakhir kali Azzura terlihat adalah semalam, saat mencari Kenzo?”
Sania mengangguk cepat.
“Iya, Bu. Teman-teman juga bilang begitu. Tapi setelah itu dia nggak balik-balik.”
Beberapa mahasiswa mulai berbisik satu sama lain, kekhawatiran jelas terpancar di wajah mereka.
Sementara itu, di bawah pohon rindang, kelompok anak BEM berkumpul. Kenzo duduk di bangku kayu dengan wajah kesal, tangan menyilang di dada. Di sebelahnya, Rica memainkan rambutnya sambil melirik orang-orang yang lalu lalang.
“Ya ampun, gara-gara satu orang hilang, semua jadwal jadi kacau,” dengus Kenzo.
Boby, salah satu anggota BEM, menatapnya sinis.
“Kau itu bisa lebih simpati nggak sih, Zo? Yang hilang itu manusia, bukan ponsel.”
Kenzo mendengus, “Gue bukan panitia pencarian orang hilang. Dia yang mutusin cari gue, bukan gue suruh. Jadi, salah sendiri.”
Rica menimpali, “Dia itu terlalu baperan. Biasa aja kali, ngilang bentar aja heboh.”
Tiba-tiba Sania muncul dan berdiri di depan mereka, matanya merah karena marah.
“Kalian berdua,” ucapnya lirih, menahan amarah.
“Apa nggak ada sedikit pun rasa tanggung jawab kalian sebagai senior?! Dia hilang, Zo! Hilang! Dan lo … lo malah duduk santai sambil ngatain dia salah sendiri?!”
Kenzo berdiri perlahan, menatap Sania dengan nada meremehkan.
“Sania, jangan lebay. Azzura tuh udah gede, dia bisa jaga diri. Lagian gue yakin dia cuma drama. Nanti juga balik.”
“Kalau sampai terjadi apa-apa sama dia.” suara Sania bergetar, “gue sumpah, gue nggak bakal diem.”
Bu Tania tiba-tiba ikut bicara, nadanya tegas.
“Cukup! Ini bukan saatnya saling menyalahkan. Kita bentuk tim pencarian sekarang juga. Sania, kamu ikut saya. Lainnya bantu koordinasi.”
Semua mulai bergerak. Suasana perkemahan menjadi kacau, rencana kegiatan hari itu dibatalkan. Semua orang kini berpencar, ada yang ke arah sungai, ada yang ke jalan setapak, dan beberapa lainnya ke arah hutan.
Kenzo hanya mendecak pelan.
“Huh. Semua ribut cuma karena cewek cupu.”
Tiba-tiba deru mesin mobil terdengar di kejauhan.
Semua kepala menoleh.
Tiga mobil hitam mewah dengan plat khusus meluncur pelan masuk ke area perkemahan. Di sekelilingnya, beberapa pengawal berseragam hitam turun cepat, membuka pintu tengah.
Dari dalam mobil utama, turunlah sosok pria bertubuh tinggi dan tegap, mengenakan setelan hitam klasik. Wajahnya tajam, penuh wibawa. Di sampingnya, seorang wanita anggun dengan rambut panjang keperakan dan tatapan tajam namun lembut.
Zion dan Zanaya.
Begitu melihat mereka, para dosen dan rektor kampus langsung berdiri dan menunduk dalam-dalam. Mereka kini ketar-ketir melihat kedatangan kedua orang tua Azzura.
Semua jajaran dosen dan rektor tentu tahu jika Azzura adalah putri pemilik kampus tempat mereka mengajar. Makanya mereka langsung bergerak begitu Azzura hilang.
“T—tuan Zion … Nyonya Zanaya … selamat datang,” ucap Pak Damar, dosen pembina, dengan suara sedikit gemetar.
Rektor yang hadir bahkan segera menghampiri, “Kami … kami sangat menyesal. Kami baru saja hendak memulai pencarian mahasiswa yang hilang.”
Sania yang mendengar suara itu langsung menoleh dan matanya membelalak.
“Tante Zanaya … Om Zion?” gumamnya pelan.
Zion tak berkata apa-apa. Langkahnya mantap, sorot matanya dingin. Zanaya di sisinya menatap sekeliling dengan aura yang tak biasa terasa seperti ratu dari dunia lain.
Mereka tidak menggubris para dosen dan langsung menuju Sania.
Kenzo yang melihat sosok Zion dan Zanaya turun dari mobil, tersenyum lebar. Ia menyisir rambutnya cepat dan berjalan mendekat.
“Wah, selamat datang, Tuan Zion.” Ia menyodorkan tangan dengan percaya diri.
“Senang sekali akhirnya bisa bertemu dengan pemilik kampus ini. Ada yang bisa saya bantu?”
Namun tangan Zion tidak menyambut.
Ia hanya menoleh padanya sekilas tatapan matanya dingin, seperti menembus isi kepala Kenzo lalu mengabaikannya begitu saja.
“A—eh .…” Kenzo langsung kikuk. Senyumnya memudar, tangannya menggantung di udara.
🌹 ☕ 4u..