“Dibunuh Suami, Dihidupkan Takdir”

Tiga minggu setelah bangun dari koma, Raisa sudah bisa berjalan dari tempat tidur ke balkon tanpa dibantu.

Kakaknya yang kedua, dokter Gavin, bahkan sempat bersorak kegirangan di koridor rumah sakit.

“Pasien paling manis aku hari ini bisa jalan 15 meter tanpa alat bantu! Siapa sangka adikku yang keras kepala bangun dan langsung ingin jadi atlet?” ucap Gavin sambil memberikan pelukan cepat.

Vira hanya tersenyum. Ia belum terbiasa dengan pelukan seperti itu. Tapi, untuk pertama kalinya sejak ia mati sebagai Vira, tubuh barunya merasa… aman.

---

Di rumah sakit, ia mulai membentuk rutinitas.

Pagi hari latihan jalan dan terapi otot. Siang ia belajar nulis ulang. Malam hari menggambar.

Ia menolak membawa gawai atau membuka media sosial. “Aku harus sembuh dulu. Sempurna. Lalu aku akan cari mereka satu per satu.”

Tapi di sela-sela sunyi, ada keluarga Molan yang tak pernah gagal membawa tawa.

---

🍳 “Sarapan Ala Kakak”

Pagi itu, keempat kakaknya datang bersamaan.

Kakak pertama, Jordan, membawakan bunga segar. Kakak ketiga, Reno polisi—membawakan papan permainan. Kakak keempat, Rey si atlet datang sambil membawa nampan besar berisi roti gosong, telur pecah, dan jus melon campur kopi.

“Aku masakin sendiri, Sa! Ini sarapan cinta dari kakak Rey!” serunya dengan bangga.

Vira menatap piring itu dengan kaget. “Kak… ini… kayak makanan alien.”

“Hah?! Ini omelet! Jangan menghina hasil karya kakak!” Rey cemberut.

Reno tertawa sampai terbatuk. Jordan mengusap dahi. Gavin hanya mengangkat alis sambil berkata, “Aku dokter, jangan paksa aku nulis surat rawat inap karena keracunan.”

Vira tertawa pelan—tawa kecil, tapi nyata.

Pertama kali sejak ia hidup lagi… ia tertawa dari hati.

---

💬 Obrolan Santai

Hari itu mereka duduk bersama di ruang tunggu VIP rumah sakit, bermain kartu dan saling menggoda.

“Sa, kamu ingat nggak waktu kecil kamu suka pakai mukena mama terus keliling rumah bilang mau jadi Putri Jasmine?” tanya Jordan sambil mengocok kartu.

Vira mengangguk pelan. Ia memang tak tahu itu benar, tapi ia tahu bagaimana rasanya berpura-pura menjadi orang lain.

“Sekarang kamu jadi cantik banget, loh,” kata Gavin sambil tersenyum. “Udah siap jadi desainer?”

Vira ragu sejenak, lalu berkata pelan, “Aku… ingin coba. Tapi mungkin mulai dari gambar-gambar dulu.”

“Bagus!” seru Reno. “Mulai dari situ. Kalo ada yang ngeledek, bilang aja: kakakku polisi.”

Rey menyahut, “Atau bilang: kakakku atlet seksi yang bisa lempar bola ke muka mereka.”

Semua tertawa.

---

Malam harinya, Vira duduk sendiri di kamar. Ia membuka buku gambar yang diberikan Gavin.

Ia mulai menggambar rancangan gaun malam—berwarna merah marun, dengan potongan elegan dan tajam.

Ada makna dalam garis-garis itu.

“Aku akan kembali. Tapi bukan sebagai korban.”

“Aku akan bangkit sebagai perempuan baru. Bukan lagi Vira yang lembut dan diam.”

“Tapi Raisa… yang tahu caranya menghancurkan tanpa perlu berteriak.”

---

Vira menyimpan catatan rahasia di bawah bantal. Di situ, ia mulai menulis daftar:

Orang yang harus diawasi:

Vito Hartawan – suami pembunuh.

Sonia Ayuningtyas – sahabat penghianat.

Dokter yang menutupi hasil forensik.

Dan di halaman kedua…

Target yang harus diselamatkan:

Bayi yang belum sempat lahir.

Nama baik Vira Sita – yang mati dalam diam.

Hati sendiri – agar tak dibunuh dua kali.

Malam menjelang. Ponsel yang diberikan kakaknya akhirnya ia nyalakan. Penuh notifikasi dan pesan.

Tiba-tiba, satu nama muncul.

> Sonia.

Ia mengirim pesan lewat DM Instagram lama Raisa yang kini dibuka kembali:

“Sa, denger-denger kamu udah bangun. Welcome back, baby girl 😘 Harus ketemu ya, kita janjian nanti. Miss you.”

Vira membeku.

Tangannya mengepal. Matanya menatap layar dingin.

“Dia tidak tahu… bahwa aku yang membaca pesan ini… adalah Vira.”

bersambung