nre: Fantasi, Aksi, Sekte-Building, Antihero, Overpowered
Sinopsis:
Di benua Elvaria, kehormatan dan kesetiaan adalah dua mata uang paling berharga. Namun, bagi Kael Arvane, seorang jenderal muda yang pernah menyelamatkan kerajaannya dari kehancuran, keduanya hanyalah ilusi yang bisa dibakar oleh kekuasaan.
Dikhianati oleh rajanya sendiri dan difitnah sebagai pengkhianat, Kael diburu, disiksa, lalu dilempar ke lembah kematian yang dikenal sebagai "Jurang Sunyi"—tempat para monster, penjahat, dan kutukan abadi bermuara. Tapi justru di tempat itulah "Sistem Chaos Sovereign" bangkit dari sisa jiwanya yang penuh dendam.
Dengan sistem itu, Kael mampu menciptakan sekte dari nol: Sekte Chaos, sekte tanpa aturan moral, tanpa dogma suci—hanya kekuatan, kebebasan, dan ambisi pribadi. Ia mulai merekrut orang-orang yang dibuang oleh dunia: budak, pembunuh, monster setengah manusia, penyihir terkutuk, bahkan mantan bangsawan pengkhianat.
Dari mereka, ia membentuk Dua Belas Pilar Chaos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon febri_yeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Dunia yang Tak Lagi Sama
Tiga hari setelah malam runtuhnya Takhta Suci, angin di benua Aetheryon berhembus lain. Aroma darah, api, dan kebangkitan terasa di setiap pelosok tanah.
Para pendeta Cahaya merunduk dalam doa, tak lagi yakin pada langit yang mereka sembah. Raja-raja kecil yang dulu mencibir nama Sekte Chaos kini mulai mengirim utusan dengan tangan gemetar, menyembunyikan maksud antara kata damai dan ketakutan. Karena seluruh dunia tahu—penguasa baru telah lahir, dan ia tidak datang untuk berkompromi.
Di pusat dunia, di atas reruntuhan Istana Cahaya, Kael duduk di singgasana yang baru ia bentuk sendiri—dibangun dari pecahan kristal ilahi dan tulang naga tua, dengan simbol Chaos terukir di bagian sandarannya. Di sekelilingnya, dua belas Pilar berdiri dalam keheningan. Mereka telah kembali dari medan perang dengan darah musuh membasahi jubah mereka.
Kael menatap cakrawala yang berwarna keabu-abuan, bukan karena kabut, tapi karena dunia masih bingung menentukan arah baru. Ia tidak tersenyum. Ia tidak bersorak. Ia hanya duduk—mata tajamnya menelusuri dunia yang dulu menyingkirkannya.
“Lapor,” kata Reina, Pilar Kedua, suaranya seperti besi panas.
Rasmus, Pilar Keempat, melangkah maju. Rambut putihnya terurai dan matanya bersinar biru lembut. Di tangannya terdapat gulungan peta dan laporan dari lima wilayah besar.
“Tiga kerajaan telah tunduk. Dua lagi sedang dibakar oleh pengikut Chaos yang memberontak. Kota suci Arkeld telah ditinggalkan oleh para tetua. Mereka tahu tak bisa melawan.”
Kael mendengarkan, tidak bicara. Tapi Pilar tahu: diamnya adalah bagian dari perencanaan.
“Pasukan Cahaya tersisa yang selamat bersembunyi di Pegunungan Ankeroth,” sambung Rasmus. “Mereka dipimpin oleh sisa-sisa Ordo Langit Ketujuh.”
Velka, Pilar Ketiga, mengepalkan tangan. “Ingin ku ledakkan gunung itu sekarang juga.”
“Belum,” Kael angkat tangan. “Biar mereka melihat dulu, bagaimana dunia berubah tanpa mereka.”
Xalreth tertawa kecil. “Sadisme politik. Aku suka gaya barumu.”
Kael berdiri dari singgasananya.
“Ini baru awal. Kekaisaran runtuh, tapi dunia belum benar-benar kita genggam. Masih banyak wilayah, sekte-sekte kecil, dan bangsawan rendahan yang akan mencoba menantang kita dalam bayangan.”
Ia melangkah ke depan, ke balkon tinggi yang menghadap hamparan reruntuhan Istana Cahaya.
“Bangkitkan murid-murid. Kita tak hanya butuh kekuatan. Kita butuh peradaban Chaos. Tatanan baru. Sistem baru.”
Reina maju satu langkah. “Apa perintahmu?”
Kael menatap langit. “Aku akan menciptakan Kota Inti. Kota pusat bagi Sekte Chaos. Bukan benteng. Bukan markas. Tapi pusat dunia baru.”
“Dan aku akan bangun sistem yang tak pernah dimiliki dunia ini.”
---
Di sisi lain benua, di reruntuhan Kuil Suci Lamirien, seorang gadis dengan rambut perak melangkah melewati api yang merambat. Ia mengenakan jubah abu-abu tanpa lambang. Tapi matanya menyala biru pucat.
“Jadi, dia benar-benar kembali…” bisiknya.
Ia membuka gulungan kuno di tangannya. Di dalamnya, terukir nama-nama leluhur dunia, termasuk satu nama yang telah disegel ribuan tahun: Kael Arven D’Lothis.
Di belakangnya, seorang lelaki tua bermata satu membungkuk.
“Apakah kita akan melaporkan pada Dewan Dimensi?”
Gadis itu tersenyum. “Tidak. Ini urusanku.”
Ia melangkah, dan setiap tapak kakinya menumbuhkan bunga di tanah hangus.
---
Kembali ke reruntuhan Istana Cahaya, pembangunan kota baru dimulai. Dengan kekuatan gabungan para Pilar dan ribuan murid, fondasi kota Chaos diletakkan dalam waktu yang tidak masuk akal—tiga hari. Bangunan-bangunan mulai menjulang, tidak seperti istana pada umumnya. Kota ini dibentuk dari campuran logam, kristal, dan sihir dimensi. Semua diciptakan untuk bertahan dari serangan dewa sekalipun.
Aethra, kini menjadi penasihat utama Kael, mengelola struktur administrasi.
“Kau ingin kota ini seperti apa?” tanyanya suatu malam.
Kael, yang sedang menatap blueprint kota dari atas menara, menjawab, “Kota yang tak tergantung pada langit. Kota yang mendidik kekacauan sebagai filosofi, bukan dosa. Kota di mana kekuatan tidak diwariskan, tapi ditempa.”
Aethra mengangguk. “Dan kau tahu, dengan ini, semua dunia lain akan mencampuri.”
Kael tersenyum. “Itu yang kuharapkan.”
---
Di ruang bawah tanah Kota Chaos, Pilar Kesepuluh, Sorun, berdiri di depan sebuah altar kuno. Ia sedang memanggil roh-roh kuno untuk dijadikan penjaga kota.
Darah diteteskan. Simbol kuno digoreskan.
Dari dalam bayangan, suara mulai terdengar:
“Chaos... kami dengar panggilanmu…”
Dan satu demi satu, makhluk penjaga muncul. Bukan monster. Bukan roh biasa. Tapi entitas dari era sebelum penciptaan, yang ditidurkan oleh dewa karena terlalu kuat.
Kini, mereka menjadi bagian dari benteng baru.
---
Tiga minggu berlalu.
Kota Chaos berdiri megah, menjulang di antara reruntuhan lama. Bangunan-bangunan berlapis glyph, jalanan berenergi, dan menara-menara pengamat yang berputar dalam dimensi keempat. Murid-murid Sekte bertambah. Dari seluruh penjuru dunia, orang-orang buangan datang, bersumpah setia pada Kael. Tak semua kuat, tapi semua memiliki hasrat untuk bebas.
Pada malam bulan purnama, upacara pengangkatan resmi Dua Belas Pilar dilakukan. Satu demi satu, mereka berdiri di depan ribuan murid. Sorak-sorai memenuhi udara.
Kael berdiri terakhir.
Ia tak mengucap janji.
Ia hanya menatap mereka semua dan berkata:
“Dulu, aku dikhianati karena tidak tunduk.”
“Kini, aku menciptakan dunia di mana ketundukan bukan hukum.”
“Aku tidak datang untuk menggulingkan kekaisaran. Aku datang... untuk menghapus konsep kekuasaan yang hanya milik segelintir.”
“Di sinilah tempatmu, jika kau ingin hidup dalam Chaos... bukan sebagai budak, tapi sebagai pembentuk dunia.”
Dan malam itu, dunia yang lama berakhir.
Sekte Chaos, resmi menjadi pusat kekuatan baru.
Dan Kael... duduk kembali di takhta.
Tapi kali ini, ia tidak sendirian.
---