NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:436
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 LEMBAH RINTIK DAN RAKSASA

Satu hal yang langsung Lyra sadari begitu mereka masuk ke wilayah Lembah Rintik: tempat ini terlalu cantik untuk dunia yang katanya di ujung kehancuran.

Bayangkan padang rumput hijau yang gelombangnya mengikuti arah angin, bunga liar warna-warni yang seolah meledak dari tanah, dan cahaya matahari yang turun dalam pola spiral dari celah awan. Kalau bukan karena tahu di ujung lembah ada raksasa doyan ngemil manusia, Lyra mungkin sudah rebahan dan ambil selfie buat dijadikan cover novel.

“Aku tahu tempat ini keliatannya kayak latar iklan sabun mandi,” Kaelen berkomentar sambil menghindari semak berduri, “tapi percayalah, makin cantik tempat di Aedhira, makin tinggi kemungkinan lo dimakan.”

“Noted,” sahut Lyra. “Jadi kalau kita lihat danau berkilau, pohon-pohon menyanyi, atau kucing bisa ngomong—lari?”

“Lari sekencang mungkin,” jawab Arven dari depan. “Dan jangan lihat ke belakang.”

Perjalanan mereka hari itu sebenarnya cukup damai. Mereka menyusuri jalur setapak di pinggiran lembah, mendaki batu-batu besar yang ditumbuhi lumut, dan sesekali berhenti untuk minum atau bercanda receh.

Tapi di balik ketenangan itu, Lyra tahu ada yang mengintai.

Bukan hanya karena burung-burung tiba-tiba berhenti berkicau, atau suara gemerisik dedaunan yang kayak... punya ritme. Tapi karena Inti Memoria di sakunya mulai hangat lagi. Seperti sedang berdenyut pelan.

“Ada yang nggak beres,” gumamnya, dan Kaelen langsung refleks memegang gagang pedangnya.

Arven berhenti berjalan. Ia membungkuk, menyentuh tanah dengan telapak tangan—dan membeku.

“Lari,” katanya pendek. “Sekarang.”

“Apa—”

DUUUUUUM.

Tanah di bawah mereka bergetar. Sekali lagi. Dan lagi.

Lalu dari balik tebing yang menjulang… muncul dia.

Raksasa berkepala tiga.

Yang tengah tertawa.

Dan dua kepala lainnya lagi… tampak sedang ngunyah. Sesuatu. Atau seseorang.

“Oke,” Kaelen mengangkat tangan sambil nyengir, “gue cabut ucapan gue soal danau dan sabun mandi. Lariiiii!”

Langkah mereka bertiga menghantam tanah lembah dengan kekuatan panik. Bunga-bunga cantik yang tadi menggoda mata kini terinjak, daun-daun beterbangan, dan satu-satunya melodi di telinga mereka adalah DUUUM. DUUUM. DUUUM.—getaran langkah sang raksasa berkepala tiga yang sekarang kelihatan sangat niat mengejar.

"Kenapa raksasanya harus punya tiga kepala sih? Nggak cukup satu buat nelen kita bertiga?" teriak Kaelen sambil loncat melewati batu besar.

"Karena ini Aedhira, bukan dunia lo yang penuh logika dan nasi goreng," jawab Arven datar, tapi napasnya jelas ngos-ngosan.

Seperti yang kalian tau kalau kaelen juga bukan asli penduduk Aedhira ya.

Lyra berlari paling depan, matanya melirik ke segala arah, mencoba mencari—apa pun—yang bisa dijadikan tempat persembunyian. Sayangnya, selain bunga yang bisa buat skincare alami, nggak banyak perlindungan di sini.

"Situ!" Lyra menunjuk ke arah semak lebat yang membentuk celah kecil di antara dua batu besar.

Mereka bertiga nyelonong masuk ke dalam semak, nyaris merobek pakaian masing-masing. Raksasa itu berhenti tepat di depan celah, mengendus-endus, salah satu kepalanya—yang berkumis tebal—menyipitkan mata.

"Aku... mencium manusiaaaa," dengus kepala nomor satu.

"Yah, wajar sih, kita belum sempat mandi," bisik Kaelen, yang langsung ditepuk oleh Lyra.

"Ada tiga dari merekaaa... satu wangi bunga, satu bau debu, satu... bau otak gosong," kata kepala kedua, menjilat bibir.

Kaelen membelalak. "Itu lo ngomongin siapa?!"

Arven mengangkat jari telunjuk ke bibir: diam.

Beberapa detik berlalu dengan ketegangan maksimum. Jantung Lyra seperti mau lompat keluar, terutama saat kepala ketiga—yang paling kecil dan paling... jahat ekspresinya—menunduk dan memandang ke arah celah.

"Hi, little rats..."

Dan sebelum siapa pun bisa teriak, Lyra merasakan panas menyebar dari sakunya. Inti Memoria—benda misterius yang seolah hidup itu—bergetar hebat. Tiba-tiba tangan Lyra menyala dengan cahaya putih keperakan.

"Apa—"

BUM.

Gelombang energi meledak dari tubuhnya, menghantam kepala si raksasa dan membuat makhluk itu terdorong ke belakang, menabrak pohon hingga tumbang.

"Apa yang... barusan kejadian?" tanya Kaelen, terengah.

"Aku... aku nggak tahu." Lyra menatap tangannya sendiri yang masih bergetar, cahaya mulai meredup.

Arven menatapnya dengan mata penuh perhitungan. "Kau... membangkitkan salah satu Kunci Cahaya."

Lyra mengerutkan dahi. "Kunci... apa?"

"Tidak sekarang," kata Arven cepat. "Kita harus pergi sebelum dia bangkit lagi."

Beberapa kilometer dari sana, Lios duduk di kamarnya, napasnya terengah. Tangannya pun tadi menyala—dengan warna yang sama persis.

“Apa yang terjadi padaku?” bisiknya, dan dari luar jendela, bayangan seseorang—berjubah hitam dengan lambang mata di dadanya—mengawasinya dari kejauhan.

Malam akhirnya turun. Langit Aedhira berubah warna jadi perpaduan ungu tua dan biru kelam, seolah langit sendiri ikut capek setelah kejadian sore tadi. Lyra, Kaelen, dan Arven memilih beristirahat di gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun mini. Nggak terlalu luas, tapi cukup hangat dan kering. Bonusnya: suara gemericik air yang bikin suasana sedikit... damai.

Kaelen melempar kantong makanannya ke tanah, lalu bersandar sambil mengeluh. “Kalau raksasa itu muncul lagi dalam mimpi gue, tolong bangunin ya. Tapi jangan pakai tendangan, Lyra.”

“Gue cuma pakai ujung kaki doang tadi,” balas Lyra datar sambil membungkus dirinya dengan jubah.

Arven duduk agak jauh, seperti biasa: menyendiri, menatap langit, dan mikir keras entah soal takdir dunia atau apakah bunga di Aedhira bisa dijual di marketplace.

Tapi Lyra nggak bisa tidur. Masih ada yang mengusik pikirannya.

“Arven…” suaranya pelan, tapi cukup buat si pemuda menoleh.

“Hmm?”

“Tadi siang. Itu... beneran kekuatan gue?”

Arven mengangguk pelan. “Inti Memoria merespons energi aslimu. Artinya... kamu memang punya hubungan langsung dengan Cahaya Tertua.”

“Kayak... ramalan atau semacamnya?”

“Lebih dari itu,” jawab Arven. “Aedhira sudah lama menunggu seseorang sepertimu. Tapi itu juga berarti banyak pihak—termasuk Raja Kelam—akan mulai memburumu.”

Lyra menunduk. “Gue nggak pernah minta semua ini.”

Arven menatapnya lama, lalu suaranya melembut. “Nggak ada yang pernah minta ditarik masuk ke perang kuno, Lyra. Tapi pilihan lo sekarang bisa menyelamatkan... atau menghancurkan dunia ini.”

Hening menggantung.

Sampai akhirnya Kaelen memecah suasana, “Eh, ngomong-ngomong soal pilihan, aku milih tidur sekarang, ya. Kalau besok kalian butuh tukang lempar batu ke raksasa, aku siap.”

Lyra tertawa kecil. Tapi saat Arven kembali menatap langit, ia bertanya lagi, lirih, “Arven... kamu tahu siapa aku, kan?”

Arven menoleh.

“Aku tahu sebagian.”

“Termasuk... soal mimpi-mimpi aneh yang terus datang sejak aku kecil?”

Arven menghela napas. “Itu bukan mimpi. Itu... kenangan.”

Lyra terdiam. Dunia seperti berhenti bergerak sesaat.

“Apa maksudmu?” bisiknya.

“Kau pernah ke Aedhira sebelumnya, Lyra. Waktu kecil. Tapi seseorang menghapus ingatanmu—dan menguncinya.”

Lyra menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya, ia merasa... takut. Bukan takut pada raksasa atau Raja Kelam. Tapi takut akan siapa dirinya sebenarnya.

“Siapa yang... menghapusnya?”

Arven menjawab pelan.

“Ayahmu.”

“Arven...” suara Lyra hampir tak terdengar. “Kamu bilang... ayahku yang menghapus ingatan itu?”

Arven mengangguk, tapi sorot matanya menghindar. “Waktu itu kau masih sangat kecil. Dan dia... melakukannya demi melindungimu.”

“Melindungi dari apa?” desaknya, tubuhnya menegang. “Dari dunia ini? Dari takdir yang katanya aku punya? Dari masa lalu yang bahkan aku sendiri nggak ngerti?”

“Dari perang,” jawab Arven akhirnya. “Dan dari dirimu sendiri.”

Deg.

Kalimat itu menghantam Lyra seperti batu. Dari... dirinya sendiri?

Kaelen yang tadinya setengah tidur, langsung duduk tegak, “Oke, itu kedengeran agak seram. Maksudnya... kayak gimana tuh?”

Arven menatap api kecil yang mereka buat dari ranting dan sihir sederhana, lalu berbicara pelan, hampir seperti mengulang kisah lama yang udah berkarat dalam memorinya.

“Kau bukan hanya manusia, Lyra. Darahmu... adalah darah dua dunia. Ibumu berasal dari Aedhira—keturunan Cahaya Tertua. Ayahmu, dari dunia manusia. Campuran yang sangat langka... dan sangat kuat.”

Lyra terdiam, kepalanya penuh dengan ribuan pertanyaan, tapi semuanya saling bertabrakan.

“Waktu kau lahir, kekuatan itu nggak stabil. Aedhira waktu itu sedang berada dalam kekacauan—Raja Kelam mulai bangkit, dan ramalan tentang Anak Cahaya mulai tersebar. Banyak pihak ingin memanfaatkannya. Maka, ayahmu membawa pergi kau ke dunia manusia, lalu menghapus semua ingatan tentang Aedhira. Supaya kau bisa tumbuh normal.”

“Dan gagal total,” gumam Lyra pahit.

“Tidak,” Arven memandangnya lembut. “Karena itu membuatmu jadi kamu yang sekarang—kuat bukan karena kekuatan, tapi karena kamu tahu rasanya bertahan.”

Suasana hening lagi. Tapi kali ini lebih... menyesakkan. Lyra menunduk, dan Kaelen dengan kikuk menawarkan buah berry ungu.

“Kalau lo nangis, nangisnya sambil ngemil aja. Lebih enak,” ujarnya.

Lyra tertawa kecil. “Lo niat banget ya jadi pelawak di tengah perang dunia.”

“Harus dong. Nanti siapa lagi yang ngurangin ketegangan di tim ini?”

Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Tapi di benak Lyra, satu keputusan mulai terbentuk: dia akan mencari ayahnya. Dia butuh jawaban. Tentang siapa dia sebenarnya. Tentang masa lalunya. Tentang alasan kenapa dia harus kehilangan ingatannya... dan kenapa perasaannya seperti sudah mencintai Aedhira, bahkan sebelum dia tahu nama tempat ini.

Dan dari balik bayangan gua, mata merah mengintip... mengamati Lyra dengan dingin. Seseorang dari masa lalu telah bangkit. Dan dia... tidak akan tinggal diam.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!