Mengandung Benih Presdir Dingin

“Bagaimana, apa kamu sudah menyelidiki tentang perempuan yang bersama dengan cucuku malam itu, Lee?” tanya kakek Hermawan dengan nada penuh tekanan di ujung telepon.

“Maafkan saya, Tuan. Saya belum menemukannya, tapi saya akan terus berusaha sebaik mungkin,” jawab asisten Lee yang sedang berbicara dengan kakek Hermawan melalui panggilan telepon rahasia antara mereka.

Sudah satu bulan berlalu sejak malam itu di hotel, dan sampai sekarang, asisten Lee belum menemukan satu petunjuk pun. Bukan karena tidak berusaha, melainkan karena rekaman CCTV hotel rusak, dan gadis itu tidak meninggalkan identitas atau barang apapun. Seolah-olah dia datang hanya untuk menghilang.

Jika saja Sagara tidak dikenal dengan sifat pemarah dan tertutupnya, tentu Lee bisa bertanya langsung pada majikannya itu. Sayangnya, Sagara sendiri tidak tahu bahwa kakek Hermawan diam-diam memerintahkan Lee untuk menyelidiki perempuan tersebut.

“Baiklah kalau begitu. Jika kamu menemukannya, segera kabari aku. Aku akan membayar mu tiga kali lipat dari cucuku!” kata kakek Hermawan dengan serius.

“Tiga kali lipat, Tuan?” pekik Lee pelan, nyaris tidak percaya. Matanya terbelalak, dan sesekali ia melirik Sagara yang duduk tak jauh darinya.

“Kurang? Mau aku tambah?” balas sang kakek dengan nada menggoda.

“Tidak, Tuan! Tidak sama sekali!” Lee menggeleng cepat. Gaji dari Sagara saja sudah cukup untuk hidup mewah. Jika ditambah sogokan dari kakeknya, ia bisa pensiun dini dan buka usaha sendiri.

Setelah telepon ditutup, Lee menghela nafas panjang. Ia berdehem pelan sebelum melangkah mendekati Sagara yang sedang duduk di balik meja kerjanya, namun tampak tidak fokus. Tumpukan berkas masih sama seperti pagi tadi, tidak tersentuh sedikitpun.

“Anda mau kopi, Tuan?” tanya Lee, mencoba mencairkan suasana.

“Tidak,” jawab Sagara singkat.

“Atau mungkin susu? Saya bisa buatkan,” tawarnya lagi dengan senyum kaku.

Sagara menoleh. Tatapannya begitu dingin dan menusuk, membuat Lee mengkerut.

“Ah, ya. Maaf, Tuan. Sepertinya Anda tidak membutuhkan kopi ataupun susu, bahkan saya sekalipun,” ujar Lee buru-buru sambil berbalik.

“Mau kemana kamu, Lee?” suara berat Sagara menghentikan langkahnya.

Lee menoleh malas. “Keluar. Ada yang anda butuhkan?”

“Kerjakan pekerjaanku. Aku butuh cari udara segar,” jawab Sagara. Ia langsung menyambar jas dan kunci mobil.

“Saya, Tuan?” Lee menunjuk dirinya sendiri dengan tidak percaya.

“Ya, kamu. Siapa lagi? Di sini cuma kita berdua, kan?” Sagara melenggang pergi tanpa menunggu jawaban.

“Argh, sial! Penyelidikan jadi terhambat lagi karena sikap tuan muda dingin dan arogan itu!” gerutu Lee sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia segera menghubungi anak buahnya.

“Ikuti tuan muda. Dan cari tahu lebih lanjut soal gadis malam itu. Kita harus dapat identitasnya.”

**

“Alika, tolong antar kopi ke meja kerjaku, ya. Jangan terlalu manis, jangan terlalu pahit. Sedang-sedang saja,” ujar seorang rekan kerja sambil menyerahkan tumbler.

“Iya, Mbak,” jawab Alika dengan ramah. “Lantai dua, kan?”

“Hmm. Cepat ya, aku harus serahkan berkas ini ke presdir.” Wanita itu segera masuk lift, meninggalkan Alika yang menuju pantry.

Namun, belum sempat Alika membuat kopi, rasa mual menyerang. Perutnya terasa bergejolak hebat, dan ia spontan berlari ke kamar mandi.

“Hoek, hoek…” suara muntahnya bergema di ruang sempit itu. Alika terduduk lemas, wajahnya pucat, dan peluh membasahi keningnya.

“Alika, kamu kenapa?” Riska masuk dengan panik.

“Nggak tahu, Ris, perutku mual banget. Mungkin masuk angin,” jawab Alika lemah sambil membasuh wajahnya dengan air kran.

Riska membantu Alika duduk di sofa ruang istirahat dan memberinya segelas air.

“Minum dulu, ya.”

“Makasih.” Gelas di tangan Alika terlepas saat aroma kopi dari pantry tercium. Ia buru-buru menutup hidungnya.

“Bau kopinya bikin kamu mau muntah lagi?” tanya Riska kaget.

“Hum, nggak enak banget,” jawab Alika sambil mengernyit.

“Lho? Kamu kan biasanya suka kopi.”

“Entahlah. Sekarang malah bikin mual.”

Alika berdiri dan segera keluar dari ruangan. Riska masih mematung kebingungan. Ia lalu menatap gelas kopi di tangannya dengan heran.

“Ada yang aneh,” gumam Riska dalam hati. Reaksi Alika terlalu tidak biasa. Aroma kopi yang biasanya disukainya, sekarang membuatnya mual.

Riska mulai curiga dan satu kemungkinan yang muncul membuatnya tertegun.

“Apa jangan-jangan Alika hamil?” gumam gadis itu.