Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Hampir Putus Asa
Pagi itu…
Hangat.
Itu hal pertama yang Ghea sadari. Bukan cahaya matahari. Bukan suara burung.
Tapi pelukan.
Lengan kekar melingkar di pinggangnya. Napas teratur di belakang tengkuknya.
Dan dada itu...
Ia tahu dada siapa ini.
Leon.
Ia belum membuka mata, tapi tubuhnya mengenali.
Terlalu cepat.
Terlalu dalam.
Bahkan... terlalu nyaman.
Aroma tubuh pria itu mulai akrab di inderanya. Aroma sabun bernuansa woody, bercampur bau maskulin yang samar, dan sesuatu yang... membuat tenang.
Kepalanya bersandar tepat di lekukan dada Leon. Mendengar degup jantungnya yang lambat dan stabil. Tidak tergesa. Tidak gelisah.
Beda.
Beda dengan David.
Ghea menggigit bibir.
Ada rasa bersalah menyelusup. Tapi tubuhnya tak mau bergerak. Tangannya bahkan secara refleks menggenggam jemari Leon yang masih terkulai di perutnya.
"Ini salah... salah..." bisik hatinya lirih.
"Tapi kenapa ini terasa seperti tempatku yang sebenarnya? Kenapa aku tak rela menjauh dari rasa nyaman yang tak seharusnya aku miliki?"
Ia memejamkan mata lebih erat, berharap waktu diam.
Atau dunia runtuh saja—sekalian.
Namun kenyataan...
Selalu tahu kapan harus datang tanpa diundang.
Tok. Tok. Tok.
“Ghea? Sayang, kamu sudah bangun?” Entah mengapa perasaan David tiba-tiba tak enak mendapati pintu kamarnya dan Ghea terkunci. "Biasanya Ghea tak pernah mengunci kamar kami."
Di dalam kamar, Ghea membeku. Suara itu.
David.
Detak jantung Ghea melonjak. Seketika, rasa nyaman itu berubah jadi ancaman.
Dadanya bergemuruh.
Tangannya refleks menyikut Leon. Panik.
“Leon... bangun. Cepat!” bisiknya tergesa. “Itu David! Dia di depan pintu!”
Leon membuka mata perlahan. Mata yang masih malas. Tapi satu sudut bibirnya terangkat.
“Pagi, Honey...” gumamnya serak, setengah menggoda.
Ghea ingin melempar bantal ke wajah pria itu.
Tapi...
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan dari luar terdengar lagi, kali ini lebih keras.
“Ghea? Aku bawain sarapan. Aku... mau minta maaf juga soal semalam. Aku benar-benar harus menyelesaikan pekerjaan.”
Ghea sontak bangkit dari tempat tidur, menarik bath robe-nya rapat-rapat. Panik.
"Leon masih di sini. Di ranjangku. Separuh telanjang. Dan David... di balik pintu."
Tubuhnya gemetar.
Bukan karena takut ketahuan—tapi karena hatinya belum memilih.
Karena ia tahu, saat membuka pintu itu…
Maka hidupnya tak akan pernah sama lagi.
“Ghea? Sayang? Aku bawain croissant favoritmu.”
Suara David kembali terdengar. Lembut. Peduli.
Dan... terasa asing pagi ini.
Ghea menoleh ke ranjang. Leon masih duduk di sana, menggeliat santai. Bertelanjang dada, rambut acak-acakan, dan senyum itu—senyum santai yang membuat Ghea ingin menamparnya… atau menciumnya.
“Leon! Kau harus pergi!” bisik Ghea cepat, mendekat panik. Suaranya tertahan tapi penuh tekanan.
Leon hanya mengangkat alis, seolah suara David hanyalah angin lewat.
Ia malah menguap.
“Ngga mau.”
“Leon, please!” Ghea memeluk kepalanya, frustrasi. Ia tahu satu hal tentang Leon—apa yang diucapkan pria itu, selalu sejalan dengan tindakannya.
Dan itu berarti... Leon benar-benar tak akan pergi.
“Kalau begitu, cepat sembunyi!”
“Kenapa? Kau takut David tahu aku di sini? Kenapa harus takut?Bukankah dia juga berselingkuh?”
“Ini bukan soal siapa yang berselingkuh, Leon!” desis Ghea. “Ini... ini bisa menghancurkan semuanya!”
Leon bangkit perlahan, mendekat sampai hanya sejengkal di depan Ghea. Tatapan matanya menusuk.
“Sesuatu yang bisa dihancurkan... berarti memang tidak cukup kuat untuk dipertahankan.”
Ghea terdiam. Napasnya memburu. Ia ingin membalas—tapi tak ada kalimat yang cukup kuat untuk menjatuhkan pria ini.
Leon bukan David.
Dia bukan pria yang bisa dipermainkan dengan air mata atau rayuan manja.
“Leon, aku mohon... bukan sekarang,” katanya akhirnya, suara melunak. “Ini bukan tentang perasaan. Ini... lebih rumit dari itu. Please. Sembunyi dulu...”
Dan untuk pertama kalinya, sorot mata Leon berubah. Tak lagi hanya bara.
Ada seberkas belas kasih yang melintas sekilas—tapi cepat memudar, hilang ditelan kesombongan yang nyaris menyakitkan.
Ia mendekat ke telinga Ghea, berbisik pelan namun menggetarkan seluruh sendi.
“Kau boleh buka pintu itu, Honey. Tapi aku tetap di sini. Di belakangmu. Di kamarmu. Di hidupmu.”
Jantung Ghea serasa jatuh ke perut.
Ia tahu.
Keputusan Leon bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Pria itu tak bisa dibujuk. Tak bisa dipaksa.
Leon adalah badai yang tak bisa diarahkan.
“Whatever. Tapi tolong... sembunyilah,” Ghea bergumam pelan, nyaris tanpa daya.
Suara David terdengar lagi dari balik pintu. Kali ini lebih khawatir. Lebih menekan. Lebih… mencurigai.
“Ghea! Kamu belum bangun juga?”
Ghea memejamkan mata sejenak. Ia tahu, ia kalah hari ini.
“Tolong, sembunyi dulu. Aku mohon...” bisiknya lagi, hampir putus asa.
Leon menghela napas. Ia mengacak rambutnya sambil bergumam malas,
“Oke. Tapi satu syarat—setelah kau buka pintu, pura-puralah ingin ke kamar mandi. Kalau tidak--”
“Oke. Tapi cepat,” jawab Ghea cepat, suaranya sedikit bergetar.
“Jangankan mengambil alih perusahaan, bahkan aku belum mulai belajar bisnis... Jika David melihat Leon di sini, aku takut dia akan melakukan hal-hal yang tak terduga.”
Leon berjalan santai menuju kamar mandi, tanpa menoleh lagi. Tubuhnya seperti tak memikul beban, padahal ia baru saja memecah dunia Ghea jadi dua bagian.
Begitu pintu kamar mandi tertutup di belakang Leon, Ghea langsung bergerak cepat. Ia memungut pakaian pria itu yang masih tercecer di sofa dengan tangan gemetar.
Saat hendak memasukkannya ke dalam lemari David, langkahnya terhenti.
"Bagaimana kalau David membukanya? Dia pasti curiga kalau melihat pakaian pria lain..." pikirnya panik.
Setelah beberapa detik berpikir cepat, Ghea mengubah rencana. Ia membuka lemari pribadinya dan menyelipkan pakaian Leon di antara deretan baju miliknya. Tangannya gemetar saat menutup pintu lemari, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan seluruh kekacauan yang terjadi pagi ini.
Tiba-tiba, matanya menangkap sepatu Leon yang tergeletak di bawah meja rias.
"Astaga..."
Dengan gerakan tergesa, ia mendorong sepatu itu masuk ke kolong ranjang, menyumpah dalam hati karena kelengahannya.
“Ghea, kamu baik-baik saja?” Suara David kembali terdengar dari balik pintu kamar.
Ghea menoleh cepat. Dengan napas tak menentu, ia mengacak-acak rambutnya sedikit, menciptakan kesan baru bangun tidur—berantakan, malas, tak curiga.
Ia berdiri di depan cermin sejenak, mencoba tersenyum meski jantungnya menghantam keras di dalam dada. Seakan seluruh tubuhnya memberontak, tapi wajahnya harus tetap tenang.
"Aman... Aku harus terlihat aman," batinnya mengingatkan diri sendiri, meski kenyataannya, hidupnya baru saja menyimpan bom waktu di balik pintu kamar mandi.
Ia menarik napas panjang, lalu membuka pintu perlahan.
David berdiri di sana. Menenteng nampan. Senyumnya lelah.
Matanya langsung menyapu isi kamar.
“Kau baru bangun?”
Ghea mengangguk. “Iya... aku masih mengantuk,” jawabnya, pura-pura menguap.
Ia berdiri di ambang pintu, tubuhnya sengaja menutupi ruang pandang David.
Tapi sekujur tubuhnya menegang.
Di balik pintu kamar mandi, Leon ada di sana. Tak terlihat. Tak bersuara. Tapi jejaknya masih membakar udara kamar.
Dan saat David melangkah masuk, aroma samar sabun dan jejak kulit maskulin yang masih tertinggal dari tubuh Leon menguar halus di udara.
David memicingkan mata, mencium sesuatu yang tak seharusnya ada.
“Kau tidur sendiri tadi malam?”
Ghea membeku sejenak. Tatapannya tanpa sadar melirik ke arah pintu kamar mandi. Ia harus segera ke sana—sebelum Leon melakukan sesuatu yang bisa memperkeruh segalanya.
Ia menarik napas, tersenyum tipis dengan nada datar. “Aku mau ke kamar mandi sebentar, ya.”
David mengangguk perlahan, tapi tatapannya belum juga beranjak dari sekeliling tempat tidur, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat.
Dan di saat itu, Ghea tahu satu hal dengan pasti:
Ia sudah melangkah terlalu jauh.
Dan tak mungkin lagi menyenangkan semua pihak.
Cepat atau lambat…seseorang akan terbakar.
Ghea menutup pintu kamar mandi dengan cepat, membalikkan tubuhnya dan menyandarkan diri pada daun pintu yang dingin. Napasnya masih tersengal, dada naik-turun berusaha meredam detak jantungnya yang kacau.
Namun belum sempat ia mengatur napas...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.