NovelToon NovelToon
Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Beda Dunia / Wanita Karir
Popularitas:664
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.

Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.

Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 24 (Janji Seorang Suami)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇ 

Tok… Tok… Tok…

"Masuk," sahut Tuan Sebastian dari dalam ruang kerjanya.

Dengan langkah tenang namun hati yang berdebar, Zidan membuka pintu dan masuk. Ruangan itu luas dan hangat, dipenuhi aroma kopi dan kayu tua. Tuan Sebastian duduk di balik meja kerjanya, namun saat Zidan berdiri di hadapannya, pria paruh baya itu berdiri, lalu berjalan menuju jendela besar dan menyibakkan tirai. Cahaya pagi langsung menyinari ruangan.

“Saya tidak akan bertele-tele,” ucap Tuan Sebastian sambil menatap ke luar jendela. “Saya ingin bicara sebagai seorang ayah, bukan sebagai kepala keluarga Beryl.”

Zidan mengangguk perlahan. Ia menghargai ketegasan itu, walau jantungnya tak berhenti berdegup cemas.

“Saya tahu pernikahan kalian tidak dimulai dengan cara yang ideal,” lanjutnya. “Letta… dia itu keras kepala, impulsif, dan terlalu berani mengambil risiko. Tapi satu hal yang harus kamu tahu—dia memiliki hati yang besar. Sayangnya, ketulusan dan keberaniannya itu sering kali disalahpahami.”

Zidan masih diam. Tidak membantah, tidak mengiyakan.

Tuan Sebastian berbalik, kini menatap Zidan tajam, sorot matanya menelusuk namun tak kehilangan kebijaksanaan seorang ayah.

“Saya tahu Letta mencintaimu,” katanya tenang. “Mungkin lebih dari yang bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Tapi yang ingin aku tahu… apakah kamu berniat mencintainya juga?”

Pertanyaan itu menghantam tepat di dada Zidan. Ia sudah menduga arahnya akan ke sana, tapi tetap saja lidahnya kelu. Jawabannya tidak sederhana.

“Saya… belum tahu,” ucapnya jujur, suara rendah tapi jelas.

Tuan Sebastian mengangguk pelan, tanpa terlihat kecewa.

“Kejujuran itu penting. Tapi di situlah ujianmu dimulai. Sekarang, keputusanmu bukan hanya menentukan jalan hidupmu sendiri… tapi juga masa depan putri saya.”

Ia kembali ke meja, mengambil sebuah amplop berwarna krem dan menyerahkannya pada Zidan.

“Baca ini saat kalian sudah kembali ke daerah A. Di dalamnya ada informasi proyek khusus. Sebuah peluang. Jalan untukmu menjadi mandiri, sebagai suami Letta. Saya tidak ingin kamu hanya jadi bayangan keluarga Beryl. Kamu harus punya pijakanmu sendiri.”

Zidan menerima amplop itu dengan dua tangan, sedikit terkejut. “Ini… untuk saya?”

"Anggap saja sebagai ujian," jawab Tuan Sebastian, datar namun tegas. "Jika dalam enam bulan kamu bisa membuat proyek itu berhasil, saya akan anggap kamu layak untuk Letta. Tapi kalau kamu gagal..." Ia menatap Zidan lurus. "Saya akan ambil alih semuanya. Termasuk Letta."

Deg. Jantung Zidan berdetak lebih cepat. Tekanan itu berat—nyata—namun anehnya, justru membangkitkan semangat dalam dirinya. Ini bukan sekadar tantangan. Ini kesempatan.

Namun sebelum Zidan sempat berkata lebih jauh, suara Tuan Sebastian kembali memecah keheningan.

“Ada satu hal yang lebih penting dari proyek itu. Saya ingin kamu berjanji…”

Zidan menatapnya penuh kesungguhan, fokus pada setiap kata.

“Berjanjilah… kamu tidak akan menyakiti Letta. Tidak secara fisik, tidak secara emosional, dan tidak secara diam-diam.”

Hening sejenak memenuhi ruangan, hanya terdengar detak jam dinding. Lalu, dengan mantap Zidan mengangguk.

“Saya janji, Tuan.”

Tuan Sebastian menaikkan satu alis. “Tuan?”

Zidan tersenyum tipis, lalu memperbaiki ucapannya, “Maaf… saya janji, Papi.”

Senyuman kecil mengembang di wajah Tuan Sebastian. Ada sedikit kelegaan yang terlihat di matanya.

“Bagus,” ucapnya singkat, lalu melanjutkan, “Dan satu hal lagi, Zidan.”

Zidan kembali menajamkan perhatian.

“Kamu bisa kembali ke daerah A bersama Letta, menjalani hidup kalian seperti sebelumnya. Setelah semua urusan selesai, kalian bisa kembali ke sini untuk mengambil peran di perusahaan keluarga.”

Zidan mengangguk, mendengarkan dengan tenang.

“Tinggallah di sini. Mulailah dari awal bersama Letta. Bangun hubungan kalian dari pondasi yang benar. Aku akan beri kamu tempat di perusahaanku. Bukan karena kamu suami Letta, tapi karena aku percaya kamu punya potensi.”

Zidan berdiri, membungkuk sedikit dengan hormat. “Terima kasih, Papi. Saya akan pertimbangkan baik-baik.”

Saat Zidan membuka pintu dan keluar dari ruang kerja, di ujung lorong ia mendapati Letta berdiri menunggu, memeluk lengan sendiri dengan raut cemas. Begitu melihat Zidan keluar, ia buru-buru menghampiri.

“Gimana? Papi ngomel?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.

Zidan menggeleng pelan, membuat Letta mengerutkan kening. Ia tahu betul betapa keras kepala sang Papi. Mana mungkin pertemuan itu berlangsung damai?

“Papi cuma minta aku jaga kamu baik-baik selama di daerah A,” ucap Zidan, mencoba meyakinkannya dengan suara tenang.

Letta menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi suaminya. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengangguk pelan.

“Yang penting kamu keluar dengan selamat tanpa luka,” gumamnya setengah lega. “Itu saja sudah cukup.”

Zidan menatap Letta sesaat, lalu mengangguk. Untuk pertama kalinya, tak ada jarak sejauh biasanya di antara mereka.

“Ayo siap-siap, katanya kita pulang hari ini, kan?” ucap Zidan tanpa pikir panjang. Ucapan itu membuat Letta sontak terdiam. Pulang? batinnya. Kata sederhana itu mendadak terasa begitu hangat, seolah memberi harapan baru.

“Letta?” panggil Zidan ketika melihat istrinya hanya terpaku tanpa respon.

Letta tersentak dari lamunannya dan tersenyum canggung. “Eh, mas tadi ngomong apa ya?”

Zidan hanya menghela napas, lalu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Letta begitu saja.

“Ih, mas! Kok ditinggal?” protes Letta sambil menyusul langkah Zidan yang terus menuju kamar mereka.

“Mas tadi ngomong apa sih? Pulang? Maksudnya aku ikut pulang ke rumah mas? Ke kampung halaman mas?” tanya Letta antusias saat keduanya memasuki kamar. Tapi pertanyaan itu justru menghentikan langkah Zidan. Wajahnya berubah, seolah baru tersadar akan sesuatu.

Ya, mereka sudah menikah… Tapi keluarganya belum tahu sama sekali.

Zidan perlahan membalikkan tubuh dan menatap Letta. Tatapannya dalam dan sulit diartikan. Letta pun ikut terdiam, baru menyadari situasi yang rumit ini.

“Umm, maaf mas,” ucap Letta pelan, merasa bersalah karena terlalu terburu-buru.

Zidan menggeleng pelan. “Aku belum bisa bawa kamu ke rumah,” jawabnya jujur.

Letta cepat-cepat mengangguk. “Iya, aku ngerti kok. Tenang aja. Nanti aku bakal tinggal di apartemenku yang dulu. Tapi…” Letta menunduk sesaat, lalu memberanikan diri melanjutkan, “Mas... boleh nggak sesekali nginep di sana? Biar kita tetap bisa bareng.”

Zidan terdiam. Tidak ada yang salah dari permintaan itu. Lagi pula, Letta adalah istrinya sekarang. Tapi perasaan canggung itu masih ada, menumpuk, dan belum sepenuhnya hilang.

Namun, bayangan wajah Tuan Sebastian dan percakapan serius mereka pagi tadi kembali terlintas di benaknya. Ia tahu, ini bagian dari proses membangun sesuatu yang baru—dan Letta berhak mendapatkan usahanya.

“Baiklah,” jawab Zidan akhirnya, mantap.

Ya, Zidan akan mencobanya. Karena rasa senang Letta langsung memeluk lengan Zidan, “Yey... Makasih, Mas,” bisiknya penuh syukur.

Dan di tengah momen sederhana itu, Zidan mulai menyadari: mungkin, Letta tak sepenuhnya salah tempat di hidupnya. Mungkin, kesempatan ini bukan awal dari keterpaksaan… tapi justru awal dari kemungkinan yang lebih besar—cinta yang tumbuh bukan karena dipaksa, melainkan karena dipelajari.

TBC...

1
Mira Esih
ditunggu terus update terbaru nya thor
Leo Nuna: siap kak🫡
total 1 replies
Mira Esih
sabar ya letta nnti jg ada perubahan sikap Zidan masih menyesuaikan keadaan
Mira Esih
terima aja Zidan mungkin ini takdir kamu
Leo Nuna: omelin kak Zidan-nya, jgn dingin2 sma Letta😆🤭
total 1 replies
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah hidupnya pas²an..
Okto Mulya D.: sama²
Leo Nuna: iya nih kak, makasih loh udh mampir😉
total 2 replies
Okto Mulya D.
Kasihan ya, cintanya ditolak
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah cinta putih abu-abu yaa
Okto Mulya D.
semangat Letta
Okto Mulya D.
udah mentok kalii sudah 28 tahun tak kunjung ada
Okto Mulya D.
Letta coba kabur dari perjodohan.
Okto Mulya D.
jadi pelakor yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!