Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ormas Tukang
Tara memasuki sebuah bangunan yang bertuliskan Ormas Tukang. Di dalam suasana sangat ramai orang. Ada yang berkumpul dengan kelompoknya, melihat misi, menyerahkan misi, dan lainnya.
Ormas Tukang merupakan organisasi yang mengurusi dan menaungi segala jenis tukang. Mulai dari bidang keamanan, kesehatan, kebersihan, pembangunan, makanan pokok dan sebagainya. Tugas utama yaitu melayani masyarakat yang ingin mencari pekerjaan atau memperkerjakan seseorang. Karena Ormas Tukang menangani bidang apapun kecuali pemerintahan.
Pemerintah hanya sebagai pengawas tanpa campur tangan dalam bentuk apapun. Mungkin ada beberapa kondisi yang mengharuskan pemerintah mengambil kendali. Tapi selebihnya ditangani oleh para pegawai sipil.
Nusa menyaksikan sekelompok tukang bangunan yang baru saja mengambil pekerjaan dan mereka pergi keluar bersama-sama. Ada juga beberapa tukang berburu yang membawa hewan buruan berupa babi hutan yang cukup besar. Mungkin ada petani yang lahannya dirusak oleh babi tersebut, akhirnya dipanggil beberapa tukang berburu untuk menangkapnya.
Mereka berbaris di depan meja resepsionis sesuai dengan bidang mereka. Walaupun suasana terlihat ramai dan padat, tapi masih kondusif dan teratur karena semua orang paham aturan.
Nusa pergi ke meja resepsionis yang terlihat agak ramai. Itu adalah bagian pos paket. Dia mengantri dibelakang beberapa orang.
"Permisi."
Seorang kurir paket datang mengantarkan barang. Dia membawa masuk meja resepsionis lewat pintu disamping meja. Tiba giliran Nusa mendapatkan pelayanan.
"Selamat siang, ada keperluan apa?"tanya resepsionis perempuan dengan ramah.
"Saya ingin mengambil pesanan sebuah buku." kata Nusa.
"Boleh tau nama bukunya?" tanya resepsionis.
"Petualangan Bambang: Hutan Rimba Borneo, dan Rahasia Dataran Es."
"Oke. Kebetulan bukunya baru sampai. Tolong isi formulir dan datang ke meja administrasi untuk pembayaran. Terima kasih."
Nusa segera mengisi formulir dan pergi ke meja administrasi.
"Selamat siang. Ada keperluan apa?" tanya administrasi.
"Membayar buku atas nama Nu Rin Sa." ucap Nusa.
"Oke silakan tanda tangan disini."
Nusa menandatangani formulir dan memberikan beberapa uang. Setelah itu, administrasi memberikan tas kain yang berisi dua buku yang cukup tebal.
"Terima kasih, selamat datang kembali."
Nusa beranjak pergi setelah mendapatkan bukunya, meninggalkan Gedung Ormas menuju kepasar.
Sesampainya di pasar, Nusa mendapati selembar kertas yang tertempel di gerobaknya. Bertuliskan 'aku duluan ke gerbang, membeli sate untuk makan siang' yang ditulis oleh Tara.
"Sial, dia tidak mau menunggu." ucap Tara geram.
Akhirnya, Nusa menaiki gerobak dan pergi dari pasar.
_ _
Tara sedang bersantai di meja makan sembari melihat orang lalu lalang. Dia sedang duduk di kursi disalah satu warung sate. Seporsi sate datang ke meja Tara.
"Silahkan." kata penjual sate.
"Kau pintar memilih lokasi, sangat strategis." ucap Tara sembari menunjuk orang berlalu lalang.
"Memang, cukup mahal dan susah mencari tempat yang seperti ini. Nah, silahkan makan." pedagang sate pergi meninggalkan Tara untuk lanjut melayani pembeli lain. Tara melihat Nusa melintas menaiki gerobak.
"Nusa, sini." Tara memanggil Nusa dengan melambaikan tangannya. Nusa hanya membalas menganggukkan kepala.
Tara lanjut menyantap satenya. Tak lama kemudian, datanglah Nusa.
"braak"
"Kau ini, tidak mau menunggu." Nusa datang dan memukul meja dengan pelan.
"Kau yang lama, aku sudah mulai laper. Sana, pesan sendiri." ucap Tara tidak ingin membagi sate miliknya.
"Bang. Pesan empat, dibungkus." panggil Nusa.
"Oke, tunggu ya." sahut tukang sate yang sedang mengipasi satenya.
"Untuk siapa? banyak sekali." tanya Tara heran.
"Mbak Tari." jawab Nusa.
"Ya, jangan lupakan itu." kata Tara semangat ketika mendengar nama Mbak Tari.
"Cepatlah, Mbak Tari sudah menunggu di gerobak." desak Nusa.
"Oh, ya. Oke." Tara menghabiskan lontongnya dan membawa sate yang masih tersisa pergi ke gerobaknya.
"Woi, kau sudah bayar belum?" teriak Nusa melihat Tara kabur.
"Sekalian." ucap Tara yang sudah menghilang di balik tembok.
"Taik lah." maki Nusa dengan nada kesal.
_ _
Mereka pun berangkat pulang. Tara menurunkan penumpang di depan rumah mereka. Setelah semua pekerjaan beres, mereka pulang kerumah masing-masing. Dan hari sudah mulai sore.
_ _
Nusa bersantai di ayunan depan rumahnya sembari membaca buku petualangan yang baru saja sampai setelah berminggu-minggu menunggunya tiba.
_ _
"MANA KUTANGKUUUU?"
Tara sedang berada di pinggir sungai dengan menaiki Barkeo. Dia berteriak kencang karena kutang penanda perangkapnya hilang.
_ _
Nusa menggaruk lubang telinganya karena gatal.
"Ishhh, apasih ini." maki Nusa.
_ _
Di suatu tempat, di depan sebuah gubuk, Yudha sedang duduk di kursi panjang sambil mengelus ayam Cemani. Datang seorang lelaki bertubuh kekar menghampiri Yudha. Yudha menghiraukan kedatangan orang itu.
"Yudha, dimana Supa?" tanya lelaki itu.
"Tadi dia mengejar para pedagang ayam Cemani, mungkin dia tersesat." ucap Yudha sambil mengelus ayam miliknya.
"Dasar orang tidak jelas. Katanya mau ngajak latihan, sekarang malah ngilang." ejek lelaki itu.
"Oooiii, Yudha. Aku mendapatkannya." teriak Supa sambil melambaikan Tamba berisi ayam Cemani.
"Akhirnya muncul juga dia."
"Kemana saja kau? Kenapa lama sekali?" tanya lelaki itu.
"Mencari ayamlah, apalagi." ucap Supa malas menanggapi.
"Kau tidak menancapkan mereka ke bambu lagi kan?" tanya Yudha.
"Tidak. Aku mengikat mereka di sungai sambil terbawa arus. Darah mereka mengalir mengikuti air sungai. Mantap" jelas Supa puas dengan apa yang sudah dilakukannya.
"Oh, ya. Aku ada informasi untukmu, Tian. Kau mau mendengarnya?" sambung Supa.
"Bilang saja."
"Postermu banyak di tempel di berbagai tempat." ucap Supa dengan nada bercanda. Dia menyerahkan ayam Cemani ke Yudha.
"Apa hanya itu?" ucap Tian jengkel.
"Aku menemukan jejak para siluman." ucap Tara dengan wajah serius.
"Oke. Teruskan."
_ _
Senja sudah berganti malam. Nusa bersiap pergi tidur. Dia melakukan peregangan karena capek. Ketika dia melepas kekuatan Wayang hitam miliknya, tiba-tiba tubuhnya terasa terbakar. Dia menggerang kesakitan. Ibunya datang karena mendengar erangan keras Nusa.
"Aaarrggghhh."
"Nusa, apa yang terjadi?" ibu Nusa panik melihat Nusa yang kesakitan. Dia bingung harus melakukan apa.
Semakin lama tubuh Nusa semakin panas. Nafasnya tersengal karena tak sanggup menahan rasa sakitnya. Ibunya menangis melihat anaknya kesakitan. Dia memeluk Nusa dengan erat. Tapi itu tidak meredakan rasa sakit yang dialami Nusa.
Jantung Nusa berdetak kencang, memompa darah di sekujur tubuhnya, memaksanya untuk mengalir. Nusa merasakan tulangnya seakan diremuk. Organ tubuhnya seakan ditusuk besi panas. Nusa akhirnya pingsan karena tak kuat menahan rasa sakit. Ibu Nusa semakin menangis melihat anaknya pingsan.
"Huuu..huuu..Nusa.." Ibu Nusa terisak karena tangis yang berlebihan.
_ _
Malam pun berlalu. Sinar matahari masuk melalui celah bambu menyinari mata Nusa yang sedang tertidur. Nusa merasa terganggu dengan cahaya itu dan terbangun. Nusa merasa tubuhnya sangat berat. Dia mencoba mengingat kejadian semalam. Dia ingat tubuhnya terasa terbakar dan ibunya memeluknya sambil menangis dan dia pingsan. Selanjutnya dia lupa apa yang terjadi.
Tiba-tiba perut Nusa terasa mual. Diapun bergegas membuka jendela kamarnya dan memuntahkan isi perutnya. Keluar banyak sekali cairan berwarna kuning kecoklatan, seperti warna obat yang sudah di konsumsinya selama ini. Setelah selesai muntah, dia merasa tubuhnya terasa ringan dan bertenaga. Dia melihat tubuhnya penuh dengan otot. Dia sangat terkejut melihat perubahan tubuhnya. Dia menyentuh seluruh tubuhnya yang di penuhi otot dengan perasaan tak percaya.
"Haaa..haaaa... Tidak mungkin.Aku sembuh. Yeaahh, aku sembuh." Nusa menangis haru di jendela kamarnya. Dia memegang kepalanya yang botak. Dia berhenti menangis.
"Haa...Sepertinya botaknya masih sama." Nusa menghela nafas panjang seakan masalahnya belum selesai.
"Tidak masalah, yang penting penyakitku hilang." Nusa bergegas keluar rumah, mencoba menghirup udara segar.
"Akhirnya, perasaan ini. Perasaan yang aku inginkan sejak lama. Bebas menghirup udara segar tanpa bantuan Wayang."
Nusa membentangkan tangannya dan merasakan setiap hembusan angin dan sinar mentari yang menerpa. Selama ini, Nusa selalu merasakan dadanya sakit bila menghirup udara tanpa menggunakan Wayang. Kini dia terasa lega dan tidak ada lagi rasa sakit yang dirasakannya. Kicau burung ikut meramaikan suasana.
"Oh, ya. Karena sudah sembuh, aku coba saja melakukan beberapa jurus."
Nusa merasa sangat kegirangan. Bagaimana tidak, salah satu tujuannya untuk segera sembuh adalah untuk bisa menjadi seorang pendekar, agar dia bisa melindungi orang yang dicintainya. Dia pun melakukan kuda-kuda dan menarik nafas panjang. Nusa melakukan beberapa pukulan tendangan dan lompatan. Semua dilakukannya dengan mudah. Gerakan ini tidak bisa dia lakukan sebelumnya.
"Weehh..Nusa, kau sembuh? Bagaimana bisa?" Tara menyaksikan Nusa melakukan beberapa gerakan jurus dengan mulut menganga. Dia tidak percaya temannya sembuh. Dia duduk di atas Barkeo yang berhenti di luar pagar.
"Iya. Bagaimana menurutmu?" tanya Nusa dengan perasaan gembira.
Tara masih menganga, dia tergagap dan tidak bisa berkata-kata.
"Ap..apa..apa karena pisang kemarin?" tanya Tara masih tidak percaya.
"Mungkin iya? Tapi aku juga tidak tau. Yang penting aku sudah sembuh. Ayo Tara, kita latih tanding." ajak Nusa ingin menguji kesembuhannya. Dia tidak sabar ingin melancarkan beberapa serangan.
"Sombong sekali kamu. Baru sembuh langsung ngajak latih tanding." ucap Tara meremehkan Nusa.
"Kenapa memangnya? Tidak berani?" Nusa sengaja memprovokasi Tara agar mau bertanding dengannya.
"Heh, kalah jangan nangis, hee." ucap Tara menerima tantangan.
Tara saat ini tidak menggunakan Wayang miliknya, karena dia datang ke rumah Nusa memang bukan untuk bertanding. Dia hanya membawa satu tongkat miliknya. Dengan pengalaman miliknya, dia merasa mampu melawan Nusa hanya dengan satu tongkat.
Mereka mengambil posisi masing-masing. Nusa mengambil kuda-kuda dan Tara hanya berdiri tegap. Tara melambaikan tangan mengisyaratkan Nusa untuk maju duluan. Nusa menanggapi tantangan Tara.
Nusa melompat kearah Tara dengan tangan kanan mengambil ancang-ancang pukulan. Nusa melesatkan pukulan, tapi Tara berhasil menepisnya dan hanya membelokkan tubuhnya kesamping. Seringai terlihat di wajah Tara.
Nusa terlihat emosi. Dia melayangkan beberapa pukulan samping dan diakhiri sapuan dengan kaki. Tara dengan mudah menghindarinya. Tara melompat menghindari sapuan dan mendarat sembari kakinya ditempelkan di pangkal leher Nusa, menandakan kemenangan Tara.
"Heh, masih terlalu cepat seribu tahun untukmu bisa mengalahkan ku." ejek Tara sambil menyeringai. Tara menarik kakinya.
"Halah, kau saja tidak mungkin hidup selama itu." Nusa bangun dan mengibaskan debu di pakaiannya.
Melihat pertandingan tadi, terlihat jelas perbedaan kemampuan mereka berdua. Karena memang Tara sering melatih tubuhnya untuk menguasai teknik bertarungnya. Berbeda dengan Nusa yang hanya sesekali latihan karena keterbatasan fisiknya yang memberatkannya.
Tapi, dengan kesembuhan Nusa, dia memiliki kesempatan untuk melatih kemampuan bertarungnya.
"Ayo kita sering-sering berlatih." ajak Nusa merasa tidak puas dengan hasil latihan tadi.
"Tidak masalah." Tara menyanggupi ajakan Nusa.
Nusa melakukan beberapa gerakan latihan. Tara hanya menatap dengan tatapan kosong seakan memikirkan sesuatu. Diapun terduduk.
"Nusa." panggil Tara.
"Ya?" sahut Nusa sambil melakukan tendangan dan pukulan.
"Ayo kita cari pisang itu juga. Melihatmu sembuh setelah memakannya..." Tara memegang kakinya yang cacat.
Nusa mengerti perasaan Tara. Dia pasti juga ingin sembuh dari cacatnya. Nusa merasa iba.
"Tapi..bagaimana dan dimana mendapatkannya? Kata si Pedo Boy dia memberikan pisang itu karena Takdir." Nusa ingin membantu tapi tidak tau caranya.
"Dia memberimu karena takdir. Dia bisa mendapatkannya mungkin bukan karena takdir. Pasti ada di suatu tempat."
Tara bertekat untuk mencari pisang itu. Dia berpikir tidak mungkin pisang itu ada kalau bukan karena suatu sebab. Pasti ada cara untuk mendapatkannya.
"Tunggu, bukankah Rinson kemarin langsung bereaksi ketika kau memegang pisang itu?" Tara mengingat kejadian ketika Rinson memaksa Nusa memakan pisang itu.
"Oh, iya. Pasti Rinson bisa mencium bau dari pisang itu. Kita minta Rinson bantu mencarinya saja."
Nusa segera bergegas menuju kandang Rinson. Ketika sampai di sana, Nusa mendapati Rinson tidak ada di kandangnya. Kandangnya kosong dan hanya terlihat gerobak milik Nusa.
"Huh? Kemana Rinson. Rinson? Rinson?" Nusa memanggil-manggil Rinson karena tidak melihatnya di kandang.
"Rinson tidak ada?" tanya Tara heran.
"Iya, kandangnya kosong." jelas Nusa juga merasa heran.
"Rinson? Rinson?" Nusa terus menerus memanggil Rinson.
"Click." Pintu Rumah Nusa terbuka.
"Hoaaamm, ada apa nyari Rinson?" Ibu Nusa membuka pintu rumah. Dia sepertinya terbangun mendengar Nusa memanggil-manggil Rinson. Dia mengusap matanya yang masih terlihat belum terbiasa terkena cahaya dan dia seperti memeluk sesuatu.
"IBU, PAKAIANMU" Nusa berteriak melihat penampilan ibunya Nusa yang keluar rumah menggunakan busana minim.
"Wuuoooohhhh." Tara berteriak kegirangan menyaksikan pemandangan di depannya.
Ibu Nusa melihat tubuhnya dan wajahnya menjadi memerah.
"Kyaaaaaaa..." [bonus untuk Tara pagi ini]
_ _
"Slep. Slep."
Bambu runcing melesat menancap di papan target. Papan target itu di pasang di pundak Tara, sejajar dengan kepalanya. Tara berdiri dengan posisi tangan terbentang. Bambu runcing itu hampir mengenai kepala Tara. Dia terlihat menangis, air mata keluar dari matanya dengan deras.
"Apa kau sudah lupa, Tara." tanya ibu Nusa dengan wajah dingin.
"I..iya." jawab Tara ketakutan.
"Jawab dengan jelas." gertak ibu Nusa sambil melemparkan bambu runcing.
"Iyaa." teriak Tara.
"Apa warnanya tadi? Jawab dengan jujur." gertak ibu Nusa.
"Biru muda." jawab Tara jujur.
"Kau belum lupa." Ibu Nusa melemparkan lima bambu sekaligus, membuat Tara semakin takut.
Di bangku panjang, Nusa memandangi hewan kecil di depannya. Itu adalah Rinson.