Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Kebimbangan Raka
Azizah terisak dalam pelukan ibunya, tubuhnya gemetar, setiap tetes air mata mengalir seperti hujan yang tak terbendung. Viona dan Susi dengan lembut membantu Aziza duduk di sofa, menjaga agar tak ada lagi beban yang memberatkan tubuhnya.
“Sudah, Nak. Yang lalu biar berlalu. Kamu harus menyongsong hidupmu dengan lebih baik. Bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk anak yang kamu kandung, Nak,” ucap Viona, suaranya penuh kelembutan namun tegas, mencoba memberi kekuatan pada anaknya.
Azizah menggenggam erat tangan ibunya, jari-jari mereka saling terjalin, seperti menggenggam harapan yang ingin mereka bangun bersama. “Maafkan Izah, Bu. Izah salah… Izah nggak denger kata ibu waktu itu,” ucapnya dengan suara tercekat, seakan setiap kata yang keluar dari bibirnya mengiris hatinya lebih dalam.
Viona mengelus punggung tangan Aziza dengan lembut, berusaha menenangkan. “Sudah, Nak. Jangan menyalahkan dirimu terus. Itu adalah pelajaran yang harus kamu ambil hikmahnya. Ke depan, kamu harus lebih hati-hati. Lebih baik telat, asal kamu tepat dalam mengambil keputusan,” ucap Viona, dengan mata yang penuh kasih sayang, seperti memberi kekuatan untuk langkah baru Aziza.
Azizah menatap mata ibunya, air mata masih menggenang di matanya, tapi senyuman tipis mulai terbit. “Terima kasih, Bu. Masih menerima Izah…” suara Aziza bergetar, namun ada rasa syukur yang mendalam di setiap kata yang terucap.
Viona menatapnya dengan penuh kelembutan. “Kamu itu anak ibu, anak kesayangan ibu. Mana mungkin ibu tidak menerima kamu, Nak?” ujarnya dengan penuh cinta, menghapus semua rasa takut dan keraguan yang masih ada dalam diri Aziza.
Azizah memeluk ibunya erat, seolah ingin menyatu dengan cinta yang tulus ini. “Terima kasih, Bu,” ucapnya lirih, namun terasa seperti janji yang tak terucap.
Tiba-tiba pintu terbuka perlahan. Suara Jayadi, ayah Aziza, terdengar dari ambang pintu, penuh kehangatan. “Azizah, kamu pulang, Nak?” tanyanya lembut, matanya penuh dengan perhatian yang mendalam.
“Iya, Pak… Maafin Aziza. Aziza gagal membanggakan Bapak…” kata-kata itu keluar dengan rasa bersalah yang begitu dalam, seakan setiap kata menyesakkan dada Aziza.
Jayadi mendekat, langkahnya penuh kasih sayang. “Kamu tetap kebanggaan Bapak, dulu, sekarang, atau sampai kapanpun. Kamu adalah putri kecil Bapak, sampai kapanpun.” Tanpa ragu, ia memeluk Aziza dengan penuh kasih, seakan ingin menghapus semua rasa sakit yang ia rasakan.
Azizah menutup mata, merasakan hangatnya pelukan itu, merasakan cinta yang tak pernah pudar meskipun waktu dan kesalahan telah menguji mereka.
"Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan, Nak?" tanya Jayadi, matanya menatap penuh harapan sekaligus kekhawatiran. Suaranya terdengar penuh kasih sayang, tapi juga ingin memastikan Aziza tahu arah hidupnya.
“Izah akan fokus sama lahiran dulu, Pak,” jawab Aziza, suara tegasnya sedikit bergetar, seperti mencari ketenangan dalam menghadapi tantangan besar yang datang.
Jayadi mengernyitkan dahi, emosi kesal mulai tampak di wajahnya. "Kamu nggak mau balas dendam sama keluarga suami itu?" tanyanya, suaranya penuh amarah, tidak bisa menyembunyikan ketidakpuasan terhadap perlakuan keluarga itu.
Aziza menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Mau, Pak… Tapi aku mau fokus dulu ke lahiran anak aku, Pak," jawabnya, ada kekuatan dalam suaranya meski hatinya bergejolak.
Viona, yang sejak tadi diam, akhirnya memberi saran dengan suara lembut namun penuh pertimbangan. "Atau Bapak saja yang lakukan, Nak?" tanyanya, mencoba memberi solusi.
Aziza terdiam sejenak, lalu menatap kedua orang tuanya dengan mata penuh tekad. “Jangan, Pak, jangan, Bu. Jangan lakukan apapun dulu. Aziza ingin sendiri yang melakukannya,” jawabnya dengan penuh keyakinan, seakan ini adalah jalan yang harus ia pilih meskipun penuh resiko.
Jayadi menghela napas, meskipun marah, ia mencoba menghormati keputusan anaknya. "Oh, ya sudah kalau itu yang mau kamu, Nak. Bapak ikut aja," jawabnya dengan suara sedikit berat, namun penuh pengertian.
Viona tersenyum hangat, mengelus kepala Aziza dengan lembut. "Ya, kamu fokus dulu di rumah, Nak. Ibu akan temani kamu selama 24 jam," ucapnya penuh kasih, seakan menawarkan perlindungan tanpa syarat.
Aziza mengangguk, merasa sedikit lega dengan dukungan itu. “Bu, aku izin bawa Susi. Dia adalah bidan, Bu. Aku udah nyaman sama Susi," ucapnya, harapannya agar ibunya mengerti.
“Ga masalah, Nak,” jawab Viona, sambil tersenyum lembut, tidak ada keraguan sedikit pun dalam suaranya.
Jayadi, yang sempat terdiam, lalu bertanya dengan nada sedikit bercanda. "Jadi yang menolongmu itu Cindy?" tanya Jayadi, mencoba mencairkan suasana dengan sejenak melupakan masalah yang lebih besar.
“Iya, Pak,” jawab Aziza, mencoba tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ada ketegangan yang tak mudah hilang.
"Hehe, anak itu kemarin menggemparkan dunia bisnis. Dia dapat tender besar, eh, tau-tau dananya nggak sanggup. Liciknya dia bagi tiga ke keluarga Pratama dan Aditama," ucap Jayadi sambil tertawa kecil, seakan mengolok-olok strategi licik yang dilakukan Cindy.
Aziza pura-pura terkejut, meskipun dalam hatinya, ia tahu persis apa yang Jayadi bicarakan. "Masa sih, Pak?" ujarnya, seolah tidak tahu apa-apa. Padahal, strategi itu adalah hal yang pernah ia gulirkan dulu saat ia mengalahkan keluarga Pratama dan Aditama. Dan dulu, ia juga seperti itu—membagi proyek kepada keluarga Pratama dan Aditama demi keuntungan bersama.
Namun, meski ia pura-pura tidak tahu, Aziza merasa sedikit bangga. Strategi itu adalah bagian dari dirinya yang dulu berani melawan, meskipun kini semuanya terasa berbeda.
Susi mengetuk pintu kamar dengan lembut, suaranya terdengar di antara keheningan yang ada. “Nyonya, ada telepon dari Nyonya Cindy,” ujarnya dengan nada yang cukup serius.
Aziza segera bangkit dari kursinya dan menuju ke meja samping tempat teleponnya diletakkan. Begitu ia mengangkatnya, suara Cindy terdengar dengan cepat, terdengar cemas dan sedikit kesal. “Aduh, HP kamu kenapa sih, nggak aktif-aktif, beb?” tanya Cindy, suaranya penuh kekhawatiran.
Aziza menghela napas, menatap layar HP yang masih kosong, merasa ada ketegangan yang mengalir di antara percakapan mereka. “Aku upa, udah dua hari HP aku matikan, say,” jawabnya dengan suara tenang, mencoba menjelaskan tanpa terburu-buru.
Di sisi lain, Cindy sepertinya tidak terlalu puas dengan penjelasan itu. “Kamu kenapa pergi dari apartemenku, beb?” tanya Cindy, nada suaranya berubah menjadi lebih khawatir, mungkin merasa ada sesuatu yang tak beres.
Aziza terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan jujur. “Aku nggak nyaman ada Romi di dekat apartemen kamu,” ujarnya, suara tertekan terdengar, menggambarkan ketidaknyamanan yang ia rasakan.
Cindy tertawa kecil, seolah tidak menganggap itu sebagai masalah besar. “Ah, kamu ini. Si Romi ditakut-takutin, dia masih bucin tahu sama kamu,” kata Cindy, seperti meyakinkan Aziza dengan cara yang cukup ringan.
“Masak sih? Tadi sikapnya dingin banget sama aku,” balas Aziza, merasakan keanehan dalam pertemuannya dengan Romi.
“Haha, dia emang kayak gitu. Tapi yakin sama gue, dia masih menunggu kamu, say,” ujar Cindy dengan nada meyakinkan, seakan ingin menghapus semua keraguan yang ada dalam pikiran Aziza.
Aziza terdiam, mengingat lagi kejadian-kejadian yang melibatkan Romi. “Udah, jangan bahas dia deh. Aku selalu merasa bersalah kalau ingat dia,” ucap Aziza dengan suara pelan, ada kesedihan yang tersirat di balik kata-katanya.
“Ok, kalau begitu, Zah. Aku khawatir, untung aja kamu pulang ke rumah Pratama. Coba kalau pulang ke rumah suamimu, akan kuseratakan itu rumah suamimu,” ucap Cindy, dengan suara yang penuh keberanian, namun terdengar sedikit berlebihan.
Aziza terkekeh mendengar itu, mencoba menghilangkan ketegangan yang ada. “Et... mentang-mentang Quin Mafia Syari, main ratakan aja,” ujarnya sambil tertawa, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Hehehe, ya udah dulu ya, beb. Aku masih ada kerjaan. Nanti aku ke rumah kamu,” kata Cindy, seolah ingin menutup percakapan dengan cara yang ringan.
Sebelum Aziza bisa berkata apa-apa lagi, telepon pun ditutup. Aziza menatap layar HP-nya, merasa ada ketegangan yang masih tersisa. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa lepas begitu saja—kenangan akan Romi, dan keputusan-keputusan yang harus dihadapi selanjutnya.
.. Di rumah Raka, suasana penuh ketegangan. Raka berjalan ke dapur dengan ekspresi kesal yang terukir jelas di wajahnya. "Ibu, dapur kotor banget sih, Bu!" keluhnya dengan suara yang tajam, seperti melemparkan frustrasi yang telah lama dipendam.
Samarni yang sedang duduk di ruang tamu hanya melirik dengan ekspresi tidak puas. “Sari tuh ngelayap kemana tahu? Bukannya beres-beres rumah, malah main aja, kerjaannya," ucap Sumarni dengan nada penuh sindiran, seakan melemparkan kesalahan kepada orang lain.
Raka mengernyit, suaranya semakin tajam. "Awas kalau pulang, aku suruh cuci piring, ngepel, dan lain-lain!" ujarnya dengan penuh amarah yang menggantung, seolah sedang menunggu kesempatan untuk melepaskan emosinya.
Namun, yang lebih membuat suasana semakin berat adalah ketidakhadiran Aziza. Sudah dua hari, dan rumah seperti kapal pecah. Bekas-bekas piring berserakan di meja makan, sampah yang tidak terurus, bau busuk mulai tercium, membuat hidung terasa sesak. Suasana yang biasanya penuh tawa dan kehangatan kini berubah menjadi suram, seperti kehilangan semangat yang dulu ada.
Di dalam hatinya, Raka terus bergumam, "Aziza, awas kalau ketemu aku. Tidak akan kuberi ampun, Aziza. Kamu sudah menyiksa aku dan ibuku," pikirnya dengan penuh kebencian, perasaan yang tak tertahankan. Setiap kali teringat pada Aziza, amarahnya semakin membara, seperti api yang tidak bisa dipadamkan. Namun, di balik itu, ada rasa cemas yang terus menggerogoti dirinya, perasaan yang rumit antara cinta dan kebencian yang tidak bisa ia ungkapkan dengan jelas.
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu