Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Dia Satu-satunya
POV JOSEPH SEBASTIAN ABRAHAM
Namaku Joseph Sebastian Abraham, aku anak ketiga di keluargaku. Meski aku dibesarkan dari keluarga yang berkecimpung dalam dunia bisnis. Bukan berarti membuatku jadi pria yang bisa bermalas-malasan.
Aku ingin menciptakan karakterku sendiri. Membangun bisnis dari nol tanpa melibatkan keluarga. Mereka cukup memberikan dukungan, itu saja sudah cukup buatku.
Aku adalah founder sekaligus CEO merk kosmetik Carehe and Ve yang memproduksi macam-macam parfum berkelas, body wash, body lotion dan beberapa produk kecantikan lainnya.
Dalam perjalanan produkku yang mulai meroket di pasaran, aku menyempatkan diri untuk live lewat platform media sosial untuk menjangkau lebih luas sasaran. Ya, meski itu bukan akun pribadiku.
Sesungguhnya, aku sama sekali tidak memiliki akun media sosial satupun. Kalaupun ada itu berarti para adminku yang menjalankan.
Dan siapa sangka aku justru dipertemukan dengan seorang perempuan cantik yang sangat mengagumi produk milikku. Marsha namanya.
Seorang perempuan yang selalu menghiasi wajahnya dengan riasan tipis, rambutnya di cat blonde, dan tingginya yang semampai itu mulai menarik perhatianku.
Seiring berjalannya waktu, kami akhirnya saling mengagumi.
"Sya, bisa makan siang?" tanyaku padanya di suatu kesempatan.
"Sepertinya tidak bisa, aku sudah ada janji dengan editor mau bedah karya. Mungkin lain kali, maaf," tolaknya.
Entah kenapa, ditolak seperti itu rasanya aku sangat sedih. Bahkan aku kehilangan selera makan, hingga malas keluar, bahkan untuk meetingpun aku mulai malas.
Entah candu apa yang gadis itu berusaha tebar, tetapi aku mulai menyukainya. Sangat suka. Terlebih, putraku sangat cocok dengannya.
Hingga akhirnya, aku berniat ingin menikahinya. Ya, walaupun rencana itu belum sempat ku ungkapkan, tapi setidaknya ada.
Namun, hatiku dibuat hancur tanpa sisa ketika pertama aku melihat sebuah cincin melingkar indah di jari manisnya.
Isi otakku hanya Marsha, dan Marsha.
Tetapi aku sempat lega ketika ia berani mengungkapkan perasaannya.
Perasaan yang ternyata tidak bisa kumiliki seperti orang normal lainnya.
Umumnya, orang akan langsung mendapatkan apa yang mereka inginkan jika saja kedua belah pihak keluarga setuju.
Nasib buruk berkata lain, ketika aku ikut datang di acara pertunangan kakakku, Giorgio. Siapa duga jika calon pengantinnya adalah Marsha. Wanita Satu-satunya yang mampu membuatku jatuh hati.
Tak banyak yang tahu tentang pernikahanku sebelumnya. Aku dijebak dan dibuat mabuk oleh seorang perempuan dan terpaksa kunikahi karena ia hamil.
Mirisnya, setelah ia melahirkan bayi. Dia malah selingkuh dengan tiga pria sekaligus. Lalu aku menceraikannya.
Karena tak mau Steven memiliki kenangan buruk tentang kelakuan ibunya, akhirnya aku terpaksa berbohong jika ibunya telah tiada.
"Pa, apa dia benar-benar mamaku? Dia cantik sekali, aku menyukainya," ungkap Steven ketika pertama kalinya bertemu dengan Marsha.
"Ya, dia mama kamu," jelasku dengan suara bergetar.
"Mama!" teriaknya, yang disambut dengan pelukan hangat oleh Marsha.
Aku sempat bahagia.
Melihat perlakuannya yang lembut dan begitu sayang dengan Steven, perasaanku pada Marsha semakin tumbuh.
Tumbuh dan semakin gila, hingga aku selalu menjadikan Steven sebagai alasan untuk bertemu.
Tentang Koko Gio. Sejak lama ia tidak pernah tertarik pada seorang perempuanpun. Sesungguhnya aku sangat terkejut ketika ia mendadak mengatakan akan menikahi seseorang.
Bertahun-tahun ia selalu dirumorkan penyuka sesama jenis. Mungkinkah ia hanya mengorbankan wanita yang kusayangi untuk menutupi jati dirinya yang sebenarnya? Semoga tidak. Karena jika itu yang sebenarnya terjadi aku sendiri yang akan merebut Marsha darinya.
Jantungku rasanya nyaris mencelos saat melihatnya menuruni anak tangga di rumahnya.
Dia sangat cantik dengan balutan kebaya itu. Aku memang sering menjemputnya di rumah megah itu. Tetapi ini adalah pertama kalinya aku masuk dan mengenal ayahnya.
Entah kenapa, aku menerka tidak ada kebahagiaan di matanya.
"Apa kamu yakin akan menikah dengan kakakku, Sya?" tanyaku mencuri waktu dan kesempatan.
Marsha belum menjawab. Ujung jemariku bahkan sangat dingin setiap kali bersentuhan dengannya. Tetapi usahaku mendekatinya selalu digagalkan.
"Joey, apa yang kamu lakukan? Berusaha merayu calon istriku kakakmu sendiri? Jangan mencari masalah denganku. Anak bungsu sebaiknya menurut!" ancam kakakku. Dan suaranya terus terngiang di kepalaku.
Ya. Aku benar-benar tidak menduga kalau akan saingan dengan kakakku sendiri.
Malam pertunangan itu. Kami berdua bertengkar hebat. Membuat Marsha yang mungkin saja kelelahan pingsan di ujung acara.
"Joey, apa yang sebenarnya terjadi?" Erika, kakak sulung kami menegurku dengan nada suara yang tak biasa.
"Aku yang dapetin dia duluan, Ce. Koko merampasnya dariku," tuduhku dengan mata memerah karena menahan marah.
"Diam, kamu ngerti enggak tata krama itu apa? Joey, aku mengenalmu karena kamu lebih tangguh dan lebih bisa diandalkan daripada Gio. Ini mimpi kedua orang tua kita, biarkan semua orang bahagia!" hardik kakakku kemudian.
Aku terdiam tak percaya.
Biasanya, dia selalu bersikap lembut padaku. Tapi kali ini nada suaranya terdengar tinggi. Belum lagi sorot matanya tajam.
Tak hanya Ce Erika, seluruh keluargaku terkesan membela kakak keduaku.
Malam itu, kami semua hening di perjalanan pulang. Mama dan papaku, mereka memilih untuk tidak bertanya. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku.
Mungkinkah mereka mempercayai Ko Gio? Atau justru mereka tahu jika kakakku itu hanya pura-pura dan sebab itu mereka diam? Entah.
Malam harinya, karena pikiranku kalut, aku tak bisa tidur.
Sehingga kuputuskan untuk mengirim pesan kepada Marsha. Dengan dalih Steven, kukatakan ingin bertemu.
Namun, tak ada jawaban. Ditambah Ko Gio menginap di sana malam itu. Semua membuatku frustrasi.
Ingin rasanya kunyatakan tentang rasa yang sama dengan perasaan yang pernah Marsha nyatakan padaku di hari sebelum pertunangan itu terjadi.
Entah kenapa, ketakutanku seketika muncul. Aku takut dia tak bahagia. Aku takut dia dipermainkan. Aku takut Giorgio hanya berpura-pura, aku sangat takut menyakitinya. Sangat.
Semalaman aku tetap terjaga, dan ketika mentari terbit menyapa, aku segera bergegas membawa Steven ke sana.
Tetapi aku dikejutkan dengan hal lainnya, Giorgio tidak sedikitpun memberikan kesempatan itu padaku. Ia bahkan sengaja ikut kami.
Jantungku semakin berdegup tak karuan. Antara tak rela dan berubah cemburu ketika aku menyadari ia secinta itu pada Marsha.
Sungguh. Ini pertama kalinya aku merasakan sesak. Rasa yang luar biasa sakitnya seperti ditikam belati hingga mengenai tepat di ulu hati.
"Wah, Paman ikut juga ternyata." Steven sangat senang pagi itu.
"Panggil aku papa mulai sekarang ya, Nak," ucap Ko Gio pada anakku.
"Kenapa?" tanya Steven dengan wajah polosnya.
"Karena perempuan yang kamu panggil mama ... sebentar lagi akan menikah denganku," terangnya.
Dan hatiku benar-benar, remuk.
Steven hanya seorang anak kecil. Seorang anak yang dipaksa mengerti tentang hubungan keluarga yang rumit.
"Sya," panggilku di tengah keramaian.
Marsha menggeleng.
"Aku harus menikah dengan kakakmu Pak Joseph. Kubur perasaanku padamu dalam-dalam. Anggap saja, aku salah bicara. Maafkan aku, ya," katanya dengan tatapan mata teduh yang dipenuhi embun.
Ini pertama kalinya aku merasa patah hati. Rasanya seperti tak punya arti. Sakit sekali. Sesak.
Bersambung....