Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang belum sembuh.
Hari-hari berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Meski Raka tak pernah lagi mengetuk pintuku, kehadirannya masih terasa di udara, mengambang seperti bayangan masa lalu yang tak bisa kuusir sepenuhnya.
Sore itu, saat aku tengah duduk di teras rumah sambil membaca buku parenting yang baru kubeli, ponselku berbunyi. Nama yang tertera di layar membuatku membeku.
Tania.
Butuh beberapa detik bagiku untuk memutuskan, dan akhirnya kutekan tombol hijau.
"Nayla?" suara di seberang terdengar ragu.
"Iya. Ada apa?"
"Aku... Aku tahu aku orang terakhir yang pantas menelepon kamu. Tapi aku dengar kamu di Bandung. Aku... pengin ketemu."
Aku terdiam. "Untuk apa? Supaya kamu bisa menyakiti aku lagi, Tan?"
"Nggak... Aku cuma pengin minta maaf. Aku sadar aku menghancurkan semuanya. Aku cuma... pengin kamu tahu kalau aku menyesal. Dan... aku hamil."
Tubuhku gemetar. Butuh waktu lama sebelum akhirnya aku menjawab pelan, "Baik. Aku akan pikirkan."
Malam itu aku menangis. Bukan karena masih mencintai Raka atau membenci Tania. Tapi karena luka itu kembali terbuka. Bekas-bekas yang selama ini berusaha kusimpan rapat kembali menganga. Perasaan terkhianati, ditinggalkan, dan harus berdiri sendiri… semuanya kembali menyeruak.
Siska duduk di sampingku. "Kalau kamu mau marah, marahlah. Kamu punya hak. Tapi jangan biarkan rasa sakit itu menguasaimu lagi. Kamu udah melangkah terlalu jauh untuk mundur."
Aku mengangguk, meski air mata tak berhenti mengalir.
Dua hari kemudian, aku menghubungi Tania. Kami bertemu di sebuah kafe kecil, tidak jauh dari rumah kontrakanku.
Tania tampak pucat dan berbeda. Tak ada lagi senyum angkuh yang dulu selalu melekat di wajahnya.
"Aku nggak minta kamu maafin aku sekarang. Aku cuma pengin bilang... aku hancur. Raka ninggalin aku setelah tahu aku hamil. Katanya... dia nggak siap."
Aku menarik napas dalam. "Sekarang kamu tahu rasanya."
Tania menunduk. "Iya. Dan itu lebih menyakitkan dari apa pun."
Kami duduk lama tanpa banyak kata. Dan saat mata kami saling bertemu, tak ada dendam di sana. Hanya luka... yang sama-sama belum sembuh.
Setelah pertemuan itu, aku berjalan pulang dengan langkah berat. Banyak hal bergelayut di pikiranku. Tentang memaafkan, tentang menerima, dan tentang bagaimana caraku melindungi diriku dan anakku ke depan.
Sesampainya di rumah, aku menulis di buku harian:
"Kadang luka tidak pernah benar-benar sembuh. Tapi kita bisa belajar hidup bersama luka itu... dan tetap tumbuh."
Malam itu, aku tidur dengan satu pemahaman baru:
Aku tidak akan membiarkan masa lalu mendikte masa depan anakku.
Mungkin aku belum sepenuhnya sembuh, tapi aku tidak lagi berada di titik terendah. Dan itu... cukup untuk saat ini.
Seminggu setelah pertemuan dengan Tania, aku mulai merasa sesak. Bukan hanya karena rasa yang belum selesai, tapi karena tubuhku benar-benar mulai kelelahan. Kandunganku memasuki trimester kedua, dan tekanan mental yang kutanggung nyaris membuatku limbung.
Aku memutuskan untuk menenangkan diri di taman dekat kontrakan. Duduk di bangku kayu yang sedikit lapuk, aku memandangi langit senja yang mulai berubah warna. Udara Bandung sore itu sejuk, dan aku merasa sedikit lebih tenang.
Beberapa anak kecil berlarian di rumput, tertawa-tawa sambil bermain layangan. Suara mereka, tawa mereka, membuatku membayangkan masa depan anakku.
Apakah ia akan bermain seperti itu juga? Apakah aku akan sanggup membesarkannya sendirian?
Seketika, rasa takut kembali merambat ke dadaku. Aku takut menjadi ibu yang gagal. Takut anakku tumbuh dalam keluarga yang tak utuh. Tapi di saat yang sama, aku tahu aku tak boleh menyerah.
Aku menyentuh perutku yang mulai membesar. "Maafkan Mama kalau Mama belum kuat, Nak. Tapi Mama janji, akan terus belajar. Demi kamu."
Malam harinya, ponselku kembali bergetar. Kali ini pesan dari Raka.
"Aku tahu aku nggak pantas. Tapi aku akan tetap di sini. Bahkan kalau kamu nggak pernah membukakan pintu lagi untukku."
Aku membaca pesan itu berkali-kali. Dulu, aku mendamba kalimat-kalimat seperti ini. Tapi sekarang, hatiku sudah kebal. Luka yang dulu menganga kini mulai mengeras. Bukan sembuh, tapi lebih kebal terhadap rasa sakit.
Namun ada bagian dari diriku yang tak bisa sepenuhnya mengabaikan kehadiran Raka. Mungkin karena ia ayah dari anakku. Atau mungkin karena kenangan kami masih membekas dalam diam.
Aku membalas singkat:
"Jangan datang tanpa kabar. Aku butuh waktu."
Keesokan harinya, saat aku sedang menyiram bunga di depan rumah, Siska menghampiriku sambil membawa dua gelas teh manis hangat.
"Kelihatan kamu mulai agak tenang sekarang."
Aku tersenyum lemah. "Sedikit. Tapi kadang rasanya masih seperti roller coaster."
Siska duduk di tangga teras. "Itu wajar. Kamu sedang sembuh. Luka nggak bisa dipaksa cepat pulih. Tapi pelan-pelan, kamu akan bangkit. Aku yakin."
Aku mengangguk. Kata-kata Siska selalu terasa menenangkan. Mungkin karena ia pernah melalui hal yang sama. Kehilangan. Kesendirian. Dan akhirnya bangkit.
Malam itu aku kembali menulis:
"Ternyata hidup tak selalu tentang melupakan. Tapi tentang berdamai dengan kenyataan yang tak bisa diubah."
Dan di sanalah aku. Masih belajar. Masih meraba. Tapi juga… masih bertahan.