Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gombal Monyet
Aku benar-benar tidak mengerti, apa Deco lagi demam? Kenapa jadi bicara aneh seperti ini?
“Val, kamu tahu siapa nama perempuan yang memakai pita merah muda itu?” tanya Deco tersipu.
“Oh, perempuan yang berambut pendek dengan pita merah muda itu?” tanyaku memastikan.
“Iya yang itu, kamu tahu siapa, Val?” tanya Deco terlihat begitu bersemangat.
Tersirat niat iseng di pikiran. Aku mengarang nama perempuan tersebut walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak tahu namanya. Menurut kabar, dia adalah anak keturunan Jepang. Ayahnya berasal dari Jepang dan ibunya berasal dari Bali. Wajar saja dia memiliki bentuk fisik yang amat rupawan. Dia dari kelas sebelah, tapi cukup populer keberadaannya di sekolah ini.
“Hmm, nama perempuan itu adalah Kunti Sando,” kataku.
“….” Deco terdiam.
“Kenapa Co?” tanyaku sambil tertawa kecil.
“Tidak apa-apa, namanya manis juga ya.”
“Hei, kamu ini kenapa sih Co?” Manis apanya? Tanyaku dalam hati.
“Hmm. Kamu pernah dengar kata cinta?” tanya Deco.
“Iya aku pernah melihat kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena kata itu benar-benar sulit diartikan,” kataku.
“Kamu benar, memang sulit mengartikannya. Bahkan dengan rumus matematika sekalipun,” kata Deco.
“Iya tapi kamu kenapa?” tanyaku lagi.
“Aku jatuh cinta sepertinya, walaupun sangat asing istilah itu.”
Buum!
Kepalaku seperti meledak mendengarnya. Ingin aku menanyakan bagaimana rasanya jatuh cinta itu. Ingin rasanya menjadi reporter yang akan membahas soal cinta. Aku ingin mengungkap rahasia perasaan orang yang sedang jatuh cinta.
Deco pergi ke arah perempuan berambut pendek dengan pita warna merah muda itu. Tubuh Deco bergetar, ketika dia mulai mengucapkan salam pada perempuan itu. Ini pertama kalinya aku melihat Deco begitu salah tingkah. Dia tidak sengaja mencium tangan perempuan itu, seakan-akan perempuan itu adalah ibunya sendiri. Bahkan wajahnya terlihat sedikit pucat.
Saat seluruh murid perempuan yang ada dalam kerumunan mengelilingi Deco dan melihatnya dengan tatapan bingung. Wajah Deco makin pucat dan pipinya terlihat memerah.
“Apa benar namamu Kunti Sando?” tanya Deco pada perempuan itu.
Begitu mendengar Deco menanyakan itu, aku langsung tertawa kecil. Aku menunggu reaksi perempuan itu. Deco yang terlihat masih malu tapi tetap berniat mencari tahu nama asli perempuan itu. Deco sepertinya orang yang tidak mudah percaya orang lain sebelum dia membuktikannya sendiri.
“Hahaha! Kamu ini bicara apa sih?” tanya perempuan itu.
“Jadi, namamu bukan Kunti?” tanya Deco.
“Kamu lucu sekali, kamu kira aku kuntilanak apa? Namaku Frisly Evertasha. Panggil saja aku Frisly. Kamu, kata siapa namaku Kunti?” tanya perempuan yang bernama Frisly itu.
“Eh, ampun …. Maaf, a … aku hanya ingin tahu namamu. Aku dengar ada yang bilang namamu Kunti, maaf mungkin aku yang salah dengar,” kata Deco sambil menunduk meminta maaf.
“Ah, sudahlah tenang saja. Aku tidak marah kok. Kamu lucu juga. Padahal aku dengar kamu orang yang suka dengan matematika. Bukankah biasanya orang seperti itu amat membosankan tapi ternyata tidak juga,” kata Frisly sambil tertawa kecil.
Asli, aku merasa tidak enak dengan Deco. Kuharap dia tidak marah padaku. Namun, aku salut dengan Deco, bahkan di saat dia mulai merasakan hal yang dinamakan cinta, dia sudah bisa mendapat awal yang baik. Aku berpikir tentang Dera. Deco menyukai orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan dia langsung dapat dengan mudah berbicara kepadanya. Sementara aku, aku suka dengan temanku tapi dia langsung membenciku. Entah tiba-tiba terlintas dalam pikiranku sebuah pertanyaan. Mengapa aku dahulu menjadi temannya Dera? Mungkin jika aku belum mengenalnya, dia akan lebih menerima keberadaanku di hatinya lebih dari sekadar teman.
Deco dan Frisly masih asyik mengobrol. Proses pendekatan yang amat cepat. Mereka terlihat cocok meskipun baru kenal. Mereka terlihat begitu mesra walaupun bukan sepasang kekasih. Jujur saja, aku iri dengan Deco. Dia memiliki nilai tambah dalam matematika, tapi aku? Apa yang bisa aku andalkan untuk membuat perempuan tertarik?
Tiga hari kemudian, aku memutuskan pergi ke rumah Deco untuk belajar matematika. Sesampainya di sana, Deco pun keluar dari rumahnya setelah sebelumnya aku mengirimkan SMS yang menandakan aku sudah berada di depan rumah. Tiba-tiba di depan rumahnya, bukan hanya aku yang datang, tetapi Frisly pun ikut datang ke rumah Deco. Ada gerangan apa? Mungkin ingin belajar bersama juga, pikirku.
“Hai, Deco!” sapa Frisly dari kejauhan.
“Hai, Sayang!” balas Deco dengan suara yang agak manja.
“Hai, Val, masuk saja katanya mau belajar,” ucap Deco.
“Kamu Valda, temannya Deco yah? Yang kemarin bilang namaku Kunti?” tanya Frisly dengan raut wajah cemberut.
“I … iya, maaf, waktu itu aku tidak tahu siapa namamu,” kataku.
“Val! Dasar! Hampir aku digampar Frisly! Kunti sama Frisly itu beda jauh ya!” protes Deco, terlihat kesal tapi juga lucu raut wajahnya seakan-akan mirip bebek yang sedang menutup dan membuka mulutnya dengan cepat.
“Kamu ini Val, kalau tidak tahu, kenalan saja kan bisa. Aku Frisly. Aku sudah mendengar banyak tentangmu dari Deco,” ucap Frisly.
“I … iya, aku Valda. Maaf yah Frisly,” kataku.”
“Iya tenang saja, bukan masalah besar kok,” kata Frisly.
“Dan kamu Deco, Sayang! Mana mungkin aku menampar orang sepertimu. Huh! Kamu ini!” kata Frisly dengan wajah cemberut dan gerakan badan yang seakan-akan seperti kera menari.
“Hehe, Sayang. Maaf, saat itu ‘kan aku tidak terlalu mengenalmu, habis wajahmu waktu itu benar-benar terlihat menyeramkan,” kata Deco sambil nyengir.
“Kalian pacaran yah?” tanyaku heran karena sejak tadi mereka berdua saling memanggil dengan sebutan sayang.
“Iya Val, kami sudah jadian dari kemarin,” kata Deco dengan semangat.
“Iya kami jadian kemarin tepat di tanggal empat, bulan delapan. Aku suka tanggal jadiannya, angka empat adalah tanggal lahirku dan delapan adalah tanggal lahir Deco. Menyenangkan bisa kebetulan begini,” kata Frisly dengan girangnya sambil menggandeng tangan Deco.
“Ih, Sayang, kamu ini sayang aku atau sayang sama tanggal jadian kita?” tanya Deco cemberut.
“Haha cemburu yah? Tentu saja, tanggal jadian kita. Hehehe …,” ucap Frisly.
“Ah, kamu jahat ah!” balas Deco sambil cemberut.
“Hehehe, tenang, Sayang. Sudah jelas aku sayang sama kamu, masa iya aku sayang sama tanggal?” kata Frisly tersenyum dengan pipi yang agak memerah.
“Asyik! Aku juga sayang kamu!” teriak Deco.
Apa seperti ini rata-rata orang pacaran?
Setelah itu, kami semua masuk ke rumah Deco. Di dalam, kami disambut ramah oleh ibunya Deco. Aku segera membuka catatan matematika, kali ini materi tentang persamaan kuadrat. Deco mencoba memberiku soal, dia memberiku lima soal.
Bingo! Setelah dua puluh menit aku berkencan dengan kalkulator jari, buku, serta pensil dengan penghapusnya, akhirnya aku bisa menyelesaikan soal-soal itu. Tiba-tiba, kenapa ruangan ini terasa sepi? Rupanya aku baru sadar, Deco dan Frisly sedang sibuk berpacaran di teras. Aku melihat dan mendengar Deco sedang menggombal, “Frisly lihat bunga itu, aku tidak akan melihatnya ketika aku mulai berhitung tentang banyaknya bayangan bunga di wajahmu.” Teknik menggombal yang hebat, semudah itukah berpacaran?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...