Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9
Afandi memasuki kamar dengan perasaan hampa dan bersalah. Padahal dia sudah berusaha untuk adil terhadap anak-anaknya. Dia bukan tidak menyayangi Adira, tapi Vania lebih membutuhkan kasih sayangnya.
"Ayah, baru pulang?" tanya Ella terbangun, karena Afandi menghidupkan lampu kamarnya.
"Sudah dari tadi." jawab Afandi.
"Kok baru masuk sekarang? Dari mana aja? Cek kondisi Vania?" beruntun Ella.
"Bukan, tapi melihat keadaan Adira."
"Adira? Memangnya dia kenapa?"
"Kenapa? Kamu ini seorang Ibu Ella. Bahkan, kamu tidak tahu kalau Adira sakit?" ujar Afandi menahan amarah.
"Cuma demam kan?" sahut Ella tetap santai.
"Cuma? Bahkan kamu tidak ... Ahh ..." Afandi berlalu memasuki kamar mandi. Dia tidak bisa memarahi Ella, karena Afandi sadar, jika ia pun sama.
Setelah mandi, pikiran Afandi jauh lebih segar. Dia mendekati Ella yang masih duduk bersandar di ranjang.
"Maaf, jika aku memarahi mu."
"Tak apa, Adira kenapa?" tanya Ella lembut.
"Tidak apa-apa, cuma demam saja." Afandi bersiap-siap untuk tidur. "Bu, kamu tahu apa makanan kesukaan Adira? Cemilan misalnya?"
"Martabak manis, kan kita sering membelinya Yah."
"Bukan itu."
"Eh ,,, iya kah? Terus apa?" tanya Ella penasaran.
"Kita orang tua yang tidak berguna ya, bahkan makanan kesukaan anak sendiri saja tidak tahu." lirih Adira.
"Bukan tidak berguna sayang, tapi karena dia tidak pernah meminta pada kita. Jangan dipikirkan, besok-besok akan aku cari tahu." ucap Ella, kemudian mereka berdua tidur.
...🍁🍁🍁🍁🍁...
Karena sudah istirahat dengan cukup. Keadaan Adira jauh lebih baik.
Berhubung hari ini hari minggu. Adira masih saja berada di kamarnya. Dia enggan turun kebawah, karena tidak ingin bertemu langsung dengan Ayahnya.
Namun, tanpa diduga Ibunya datang dengan membawa napan berisi makanan.
"Kenapa tidak turun?" tanya Ella pada Adira yang sudah mandi. Terbukti, karena Adira tidak lagi dengan baju tidurnya.
"Untuk apa?" cetus Adira yang menatap jauh ke depan. Karena dia berdiri di balkon kamarnya.
"Sarapan Adira." sahut Ella.
"Bukannya aku tidak boleh makan, sebelum meminta maaf pada Kak Vania?" ujar Adira menahan sesak, saat mengingat perkataan Ibunya kemarin.
"Ibu hanya ingin mendidik mu jadi anak yang bertanggung jawab Adira. Apa salahnya minta maaf?" elak Ella, dia enggan meminta maaf pada Adira.
"Terus? Ibu malah mendidik Kak Vania agar lebih leluasa memanfaatkan penyakitnya?" tanpa menoleh ke Ibunya yang sudah berada tepat di sampingnya.
"Kenapa kamu jadi bebal begini sih? Kamu gak pernah patuhi ucapan Ibu, semua yang Ibu lakukan kamu anggap salah, bahkan kamu kait-kaitkan dengan Kakakmu Vania. Kalian berdua sama-sama anak Ibu, sama-sama Ibu sayang. Jangan karena Ibu lebih membela Kak Vania kamu berpikir Ibu tidak menyayangimu. Kamu salah, Ibu begini karena kesehatan Kak Vania lebih buruk darimu." jelas Ella panjang lebar.
"Jadi, benar yang diucapkan Adira? Kalau Ibu cuma menyayangiku karena aku yang penyakitan? Tega ..." jerit Vania yang mendengar semua ucapan Ella.
Tadi, Vania sengaja menyusul Ibunya, karena telah lama berada di kamar Adira. Dia tidak rela, jika terjadi keakraban antara Ibu dan Adira.
Saat melihat Ibunya menyiapkan makanan untuk Adira saja, dia merasa cemburu, apalagi sekarang, mereka menghabiskan waktu berdua saja.
"Vania, bukan begitu nak." panik Ella melihat Vania berderai air mata.
Ella langsung mengejar Vania yang terus berlari menuruni tangga.
"Vania hati-hati nak. Jangan lari-lari, kamu gak boleh kecapean." jerit Ella.
"Vania ..." teriak Ella, melihat Vania jatuh berguling dari tangga, memang tidak terlalu tinggi. Namun, berhasil membuat Vania tidak sadarkan diri.
Mendengar jeritan dari Ella, membuat Bu Mar dan Siti menghampiri. Begitu juga Adira.
"Tolong angkat Vania bawa ke mobil, aku ambil tas dulu." seru Ella panik.
Adira yang melihat Kakaknya jatuh pingsan pun, ikut panik. Dia juga berlari turun dari tangga. Guna melihat keadaan Vania.
"Bu Mar, temani saya. Kamu dan Bu Siti tinggal di rumah" titah Ella.
"Baik Bu," jawab Bu Siti bersamaan dengan Adira.
Dalam keadaan panik, Ella menyetir dengan kecepatan tinggi. Dia bahkan menyalip beberapa kendaraan, bahkan suara klakson dari pengemudi lain saja, tidak Ella hiraukan.
Bu Mar, menelpon Afandi, atas suruhan Ella. Afandi yang mendengar kabar tersebut, langsung panik dan keluar dari ruang kerjanya untuk menuju ke rumah sakit.
Begitu tiba, Vania langsung ditangani oleh dokter jaga di IGD. Ella menangis tersedu-sedu. Dia sanga merasa bersalah pada Vania. Jika nanti terjadi sesuatu pada putrinya, mungkin dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri beserta dengan Adira.
Melihat suaminya datang, Ella langsung berlari memeluknya. Dan dia berulang kali mengucapkan permintaan maaf. Sedangkan Vania masih didalam ruangan ditangani oleh dokter.
Ella langsung menceritakan kejadian sebenarnya pada Afandi tanpa melebih atau mengurangkan sedikitpun.
"Gak apa, ini bukan kesalahanmu, ataupun Adira. Adira hanya ingin protes pada kita. Dia kan juga anak kita." ucap Afandi mengelus lembut bahu istrinya.
"Andai aku gak ke kamar Adira, mungkin ini tidak akan terjadi Yah." isak Ella.
"Jangan sesali, sudah-sudah. Ini semua bukan keinginanmu ataupun Adira kan? Jadi, jangan salahkan dia."
Bu Mar, di suruh pulang oleh Afandi setelah dokter yang memeriksa Vania keluar. Dan kabar baiknya Vania tidak apa-apa. Mungkin dia hanya sedikit shock. Dan untuk selanjutnya Afandi dan Ella diharapkan untuk jangan membuat Vania stres ataupun kecapean.
...🍁🍁🍁🍁🍁...
Semenjak Vania pingsan, hubungan Adira dan Ibunya juga semakin menjauh, Ella bahkan sangat jarang berinteraksi langsung dengan Adira. Itu semua dia lakukan untuk menjaga perasaan Vania.
Dan Ella sampai lupa, jika Adira juga mempunyai perasaan.
Untungnya, Afandi yang mulai mendekati Adira. Bahkan setiap malam dia menyempatkan diri untuk ke kamar Adira. Itu juga, karena perintah dari Ayahnya bernama Johan.
Ya, Johan sering menelpon atau sekedar bertanya kabar sama Adira. Adira yang merasa kesepian kerap kali mencurahkan isi hatinya kepada sang Kakek. Bahkan menurut Adira, orang yang benar-benar tulus menyayanginya hanya Kakeknya seorang.
Hari ini pengumuman kembali lompa olimpiade. Dan Adira kalah ditingkat kabupaten. Sedangkan Vania menang, walaupun bukan juara pertama, namun dia termasuk salah satu dalam tiga besar.
Adira tidak terlalu menyesal karena kalah, sebab itu semua murni kesalahannya. Apalagi saat mengisi jawaban dia tidak terlalu fokus dikarenakan badannya yang kurang sehat.
"Cieee, dengar-dengar tadi ada yang kalah dari olimpiade." ejek Kesya. Namun Adira tidak memperdulikan ucapan Kesya.
"Pasti malu lah itu, makanya pura-pura gak dengar." lanjutnya.
Namun Adira malah membuka buku, membaca dan mempelajari soal-soal yang ada di buku tersebut.
"Eh budek ..." memukul meja Adira. "Kamu dengar gak sih aku ngomong apa?"
"Apa-apaan kamu? Gak lihat aku lagi tidur hah?" teriak teman sebangku Adira bernama Ifana.
"Makanya jangan tidur di kelas." sahut salah satu teman satu geng Kesya.
"Apa urusan lo? Lagian sekarang gak ada guru kan?" balas Ifana.
"Lagian kamu Adira, kayak orang bego aja. Lawan aja napa? Kamu mending kalah di kabupaten, kalau Kesya? Sebelumnya aja udah kalah. Jadi intinya, kamu lebih bodoh dari Adira." lanjut Ifana.
"Kamu ..." tunjuk Kesya.
"Jangan tunjuk-tunjuk didepan wajahku, atau tanganmu aku buat patah." menghempas tangan Kesya. "Calon ani-ani." gumam Ifana sinis, langsung membuat Kesya meninggalkan meja Adira.
"Makasih," ucap Adira. Karena baru pertama kali melihat ada teman yang membelanya.
"No problem,,, Tapi sekarang kita berteman?" menyerahkan tangannya dan langsung disambut Adira.
Ifana merupakan murid pindahan. Karena sudah tidak ada tempat duduk kosong selain samping Adira, makanya mereka bisa jadi teman sebangku. Ifana sudah beberapa kali menyapa Adira. Namun Adira hanya membalas seadanya, karena dia tidak tahu cara berinteraksi dengan teman-temannya sebab pribadinya yang tertutup.
"Tapi, tolong ajari aku belajar ya." pinta Ifana dan Adira hanya mengangguk senang.
Sepulang dari sekolah Adira di ajak oleh Ifana untuk nongkrong di kafe yang sedang viral di lingkungan mereka. Bahkan di media sosial. Ini kali pertama Adira duduk di kafe berdua dengan temannya, biasanya dia selalu saja sendiri.
Baru saja Adira mengedarkan pandangan, terlihat di area parkir, dari jendela kaca yang terlihat sempurna ke arah luar. Vania datang bersama teman-temannya. Bahkan Vania tertawa dengan begitu lepas.
Begitu Vania masuk, mata mereka bertemu. Namun, Vania langsung membuang muka. Seolah tidak mengenal Adira adiknya sendiri.
"Selamat ya Vania. Karena kamu nama sekolah kita semakin dikenal." puji teman Vania yang dapat didengar oleh Adira. Karena meja mereka berdekatan.
Deg ... Adira bisa menebak, bagaimana heboh Ibunya nanti, saat mengetahui Vania menang. Dia juga sudah tahu pasti. Nanti dia pasti dibanding-bandingkan. Mengingat hal tersebut, ingin rasanya dia tidak pulang.
"Sebagai perayaannya, kalian boleh pesan apa saja. Aku yang traktir." seru Vania mendapatkan tepuk tangan dari temannya, tak lupa dengan melihat sinis pada adiknya Adira.
Adira yang kebetulan ingin buang air kecil pun, pamit ke toilet pada Ifana. Melihat Adira menuju ke arah toilet, Vania juga mengikuti dengan alasan yang sama.
"Kita pura-pura gak kenal. Karena aku gak mau kalau teman-temanku tahu jika aku punya adik sepertimu. Apalagi, status sekolah kita yang jauh berbeda." sinis Vania pada Adira yang sedang mencuci tangan.
"Emang kita kenal? Kamu siapa?" sahut Adira meninggalkan Vania yang mengepal tangan geram.
Rasany ngk enk bget