“Ara!!!!” pekikan bagai toa masjid begitu menggema di setiap sudut rumah ku yang tak begitu besar,
Ku hembuskan nafas kasar, mendengar suara yang begitu mengusik telinga di pagi yang begitu cerah ini.
“Bangun!!! Anak gadis jam segini belum bangun! Pantes aja jodohmu ga nongol-nongol” gerutu wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu, yang tak lain adalah mama ku tercinta.
“Ara capek ma!!” gumamku enggan beranjak dari ranjang kecilku yang begitu nyaman.
“ih, bangun ga? Atau mama siram pakai air!”
Begitulah ancaman yang aku dengarkan setiap aku bangun siang, padahal aku juga tak bangun siang tiap hari, hanya saat hari libur saja, apalagi saat aku kena palang merah seperti saat ini, jadi aku ingin menikmati masa istirahatku setelah di forsir kerja hingga malam hari.
***
“Bukannya aku terlalu pemilih, tapi bagaimana aku mau memilih, kalau laki-laki saja tak ada yang mendekatiku, tak ada yang mengharap menjadi pendamping hidupku”—Humaira Mentari
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WS Ryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
🌺Happy Reading🌺
Hafa POV
Sore ini harusnya aku sudah keluar dari bengkel dan menjemput adik ku yang pulang kerja. Namun banyaknya laporan yang harus aku lihat membuatku tak segera beranjak dari ruangan ku bekerja saat ini.
Ting!!
Notice pesan dari adiku membuatku segera melihat ponsel yang berada di atas meja dan melihat isi pesannya.
‘Mas, aku pulang di antar temen ku, ga usah jemput’
“Temen siapa?” Aku pun merasa heran, karena aku sendiri belum mengenal teman-teman adikku, berbagai pikiran negative berkecamuk dalam pikiran ku, lalu aku memilih untuk segera meninggalkan ruangan dan segera menjemput adik ku.
“Temen siapa? Mas otw ke kantormu, tunggu mas aja”
Cukup lama menunggu, tak ada balasan dari Rindi masuk ke dalam ponselku, hingga akhirnya aku hampir tiba di kantornya, sebuah pesan kembali masuk yang mengatakan bahwa Rindi sudah dekat dengan rumah dan sedang membeli martabak.
Ku urungkan berhenti di depan tempat Rindi bekerja dan melajukan mobil ku menuju rumah, cukup lega karena adik ku sudah hampir sampai rumah, tapi tumben mampir ke tempat penjual martabak, pikirku heran. Biasaya Rindi akan mengajak mama kalau ingin membeli martabak, meskipun sudah mengenal penjualnya dan lokasinya tak jauh dari rumah, Rindi tetap akan meminta di temani sang mama.
Hingga saat melewati tempat mangkal penjual martabak, aku tak melihat Rindi di sana, mungkin Rindi sudah pulang dan bahkan sampai di rumah.
Tanpa menunggu, ku tambahkan kecepatan untuk memastikan adik ku telah tiba di rumah. Hingga saat hampir tiba di depan rumah, ku lihat adikku sedang berbicara dengan seorang gadis yang masih duduk di atas motornya.
“Itu temannya? Huff” Aku merasa lega, karena bukan cowok yang mengantarkan Rindi pulang.
Ku bunyikan klakson karena mereka berhenti tepat di depan gerbang, ku lihat gadis itu segera menepikan motornya kemudian Rindi segera membuka gerbang untuk jalan masuk mobil yang ku kemudikan.
“mbak langsung ya Rin!” terdengar gadis itu berteriak berpamitan pada Rindi yang tengah membuka gerbang,
Suaranya yang cukup keras mengusik pendengaran ku, ku lihat dia melambaikan tangan sembari tersenyum ke Rindi membuat dada ku berdesir, detak jantung ku sontak berdetak cepat seperti genderang yang sedang di tabuh cepat.
Segera ku alihkan pandanganku saat gadis itu memakai helmnya dan belalu malajukan motornya.
“Siapa itu dek?”
Tanya ku setelah ku memarkirkan mobil dan menghampiri Rindi yang menunggu ku untuk masuk bersama ke dalam rumah.
“Mbak Ara mas, kan tadi Rindi sudah bilang kalau pulang di anter mbak Ara”
Aku hanya tersenyum, seingatku Rindi tak menyebutkan nama yang akan mengantarnya, hanya bilang ‘di antar teman’
“Kamu ga bilang namanya dek, hanya bilang di antar teman”
“Iya kah? Hehe Rindi lupa, ya udah, sekarang udah tau, yang anter tadi mbak Ara”
“ohw, teman kerja kamu?”
“Iya lah mas, satu tim sama aku, dia senior aku”
Seulas senyum terbik dari bibir ku, mengingat ingat nama gadis yang baru saja membuat hati ku berdesir.
‘Ara...., nama yang cantik’
Hingga setelah merasakan naik motor bersama temannya itu, Rindi beruapaya membujuk ku megijinkannya naik motor sendiri, membuatku menghela nafas panjang.
“Ga dek, bahaya buat kamu, lagian kamu cewek, bahaya kemana-mana sendiri pakai motor”
“nyatanya mbak Ara gapapa tuh, dari dulu mbak Ara juga naik motor, sendirian, kalau lembur malam dia juga pulang sendiri, dan mas tau rumahnya itu di Desa Y, kan lebih jauh dari sini, kalau Rindi kan ke tempat kerja deket, ya? ya?”
Satu lagi alasan yang membuat hatiku berdesir, gadis yang baru saja aku lihat adalah gadis yang mandiri, dan cukup berani.
“selama mas masih bisa antar jemput kamu, ga akan mas ijinin kamu naik motor sendiri, lagian emang kamu bisa ?’”
“Ya belajar lah mas, kalau mas jemput Rindi telat kaya tadi kan Rindi juga yang susah mas”
“Ya kan bisa naik taksi dek” kilah ku agar adik ku tak kembali membujuk, namun hal itu malah membuatnya mengerucutkan bibir kecilnya, tak terima dengan penolakan ku.
Aku pun terkekeh menggelengkan kepala lalu berlalu ke kamar ku untuk membersihkan diri.
Hingga waktu makan malam tiba, aku pun segera menuju ruang makan di mana dua wanita kesayanganku telah menungguku. Ya di dalam rumah ini hanya kami bertiga, papa ku sudah meninggalkan kami beberapa tahun lalu, saat Rindi masih duduk di bangku SMA. Kondisi beliau yang sakit parah tak memungkinkannya bertahan hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Kenyataan yang begitu berat harus aku hadapi saat itu, kembali kehilangan orang yang ku sayangi, beberapa tahun sebelumnya kami baru saja kehilangan adik laki-lakiku karena kecelakaan motor.
Saat itu, adikku dalam perjalanan ke sekolahnya menggunakan motor, ia di tabrak oleh pengendara lain yang tak bisa mengendalikan laju motornya, hingga akhirnya adik laki-laki ku terluka parah, dan menghembuskan nafasnya di usia 17 tahun. Mirisnya lagi penabrak adik ku adalah gadis yang baru saja masuk bangku SMA dan belum begitu mahir mengendarai sepeda motor.
Adik bungsuku yang tak lain adalah Rindi, saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SD, tentu saja belum begitu memahami apa yang terjadi, hanya tau dia kehilangan salah satu kakaknya, tanpa tau penyebabnya.
Hingga sampai saat ini aku pun tak pernah mengatakan penyebab kakak keduanya meninggal kepada Rindi. Semenjak tragedi kecelakaan itu, papa miminta ku lebih berhati-hati saat mengendari motor jika berangkat kuliah atau pergi kemanapun. Rasa trauma yang begitu takut kehilangan lagi itu lah yang membuatku begitu protect kepada Rindi, dan tak mengijinkannya mengendarai motor sendirian.
Namun setelah melihat gadis yang mengantarkan Rindi sore tadi, sedikit membuat kekhawatiran ku selama ini terusik. Selama ini aku bisa menekan keinginan adikku untuk belajar mengendari motor, dengan alasan, ‘ya ga lucu, kakaknya punya bengkel tapi adik nya ga bisa naik motor’. Kali ini ada alasan lain yang ia lontarkan, dan membuatku memikirkan ucapannya, benar juga kalau aku tak bisa setiap hari menjemputnya.
Selama makan malam pun Rindi berusaha membujukku untuk mengijinkannya belajar naik motor, ia pun menceritakaan kekagumannya pada sosok gadis yang mengantarkannya tadi sore mambuatku kembali tersenyum dengan hati yang berdesir saat Rindi menyebut namanya.
Beberapa hari setelah melihat gadis itu pun, aku pun tak berhenti memikirkannya, namun untuk bertanya lebih jauh lagi pada Rindi rasanya masih malu,
‘Apa iya aku jatuh cinta pada pandangan pertama?’
Pertanyaan itu yang terus bersemayam dalam pikirannku, membuatku kadang tersenyum dan menghela nafas kemudian.
Hingga sore hari saat aku pulang dari bengkel, aku kembali melihat gadis yang bernama Ara itu keluar dari warung Mie ayam, namun yang berbeda kali ini dia berboncengan, dan yang mengendarai motornya adalah laki-laki.
Deg!
‘Siapa laki-laki itu? apa cowoknya? Kok mesra gitu?’
TBC
Hallo semua 🤗🤗🤗🤗
Mohon terus dukungannya 🤩🤩🤩
Love you all 😍😍😍