NovelToon NovelToon
NIKAH KONTRAK, CINTA NYATA

NIKAH KONTRAK, CINTA NYATA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.

Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1: Dunia yang Menyesakkan

Pagi itu, matahari nyaris tak terlihat di balik langit kelabu. Udara pengap masuk dari jendela retak di rumah kontrakan sempit yang nyaris rubuh itu. Di dalamnya, Elina berdiri diam menatap meja yang penuh dengan tumpukan kertas, semua bukan miliknya, tapi menghantuinya.

Surat tagihan listrik yang sudah tiga bulan belum dibayar. Air yang sebentar lagi diputus. Cicilan pinjaman yang berbunga gila, warisan dari kedua orang tuanya yang meninggal mendadak dua tahun lalu. Dan di antara semuanya, ada satu amplop yang lebih berat dari yang lain, berisi ancaman.

Tangannya gemetar saat membukanya.

"Jika tidak ada pembayaran minggu ini, kami akan mengambil alih barang-barang berharga Anda. Tidak ada negosiasi."

Napas Elina tercekat. Matahari belum tinggi, dan hari sudah terasa seperti malam yang panjang. Ia duduk perlahan di lantai dingin, membenamkan wajah di lututnya. Sebagai guru TK dengan gaji pas-pasan, ia tak bisa menutupi semua ini. Bahkan untuk makan sehari-hari pun, ia harus menghitung recehan. Kemarin, ia hanya makan roti kering yang disisakan murid-muridnya.

Pintu rumahnya diketuk keras.

Dug-dug-dug!

Elina terlonjak. Detak jantungnya melonjak lebih cepat daripada detik jam dinding. Ia melangkah pelan ke jendela, mengintip. Dua pria berdiri di luar. Yang satu berkacamata hitam, satu lagi merokok. Bukan tetangganya. Bukan teman. Ia tahu pasti siapa mereka.

Penagih.

Dengan cepat ia mematikan lampu dan menahan napas. Ini bukan pertama kali mereka datang. Minggu lalu, mereka memaki-maki dari depan rumah. Menyebut namanya. Menggedor pintu. Bahkan menyiramkan kopi basi ke dinding rumah.

Elina membeku, menunggu suara langkah mereka menjauh. Jantungnya berdentum begitu keras hingga ia yakin tetangga sebelah bisa mendengarnya.

Saat akhirnya mereka pergi, Elina tersandar di dinding. Matanya basah, tapi tidak menangis. Ia sudah melewati tahap air mata. Kini, hanya ada kelelahan. Kelelahan yang begitu pekat, seakan menelan hidupnya dari dalam.

Namun ia harus bangkit.

Ia mencuci wajahnya dengan air dingin yang mengalir lemah dari keran tua, mengganti bajunya dengan seragam kerja yang warnanya mulai pudar, dan berjalan keluar rumah, melangkah menuju sekolah tempat ia bekerja.

Anak-anak tak boleh tahu betapa dunia gurunya nyaris runtuh.

...****************...

Hari itu tak berbeda dari sebelumnya, langit suram, udara pengap, dan senyum-senyum kecil yang harus dipaksakan di tengah kelas taman kanak-kanak yang berisik oleh tawa anak-anak.

Elina duduk bersila di atas karpet biru, dikelilingi anak-anak yang sibuk menggambar dengan krayon warna-warni. Tangannya menggenggam buku cerita, tapi matanya kosong. Kepalanya masih penuh angka dan bayangan pintu rumahnya yang setiap saat bisa digedor para penagih.

"Miss Elina, ini bunga untuk kamu," ujar seorang murid, menyodorkan kertas yang dipenuhi coretan warna merah muda.

Elina tersenyum, senyum yang tak sampai ke mata.

"Terima kasih, sayang. Bunga kamu cantik sekali."

Ia mengelus rambut bocah itu dengan lembut. Di hadapan anak-anak, ia mencoba menjadi kuat. Tapi di dalam, jiwanya retak sedikit demi sedikit.

Waktu berlalu pelan. Saat bel pulang berbunyi, Elina mengantar anak-anak satu per satu ke gerbang sekolah. Beberapa dijemput orang tua mereka dan yang lainnya dituntun oleh pengasuh.

Lalu sebuah mobil hitam mengilap berhenti perlahan di depan gerbang. Jendelanya turun secara otomatis, dan dari dalam tampak seorang pria duduk di kursi pengemudi. Jasnya rapi, matanya tajam, rahangnya tegas. Wajahnya dingin, nyaris tak menyisakan ruang untuk kehangatan.

Claire, murid baru yang pendiam, segera berlari ke arah pagar. "Daddy!" serunya pelan, tapi penuh semangat.

Elina terkejut. Pria itu turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Claire. Ia tak mengucap kata manis, hanya mengangguk kecil, tapi tangannya meraih tangan putrinya dan menggenggam erat. Gerakannya singkat, dingin, tapi tak bisa disangkal... penuh kuasa.

"Dia ayah Claire?" bisik salah satu guru.

Elina menatap pria itu dengan campuran penasaran dan tekanan batin. Ada sesuatu yang mengganggunya, bukan hanya karena wajah tampannya yang mencolok atau mobil mewah yang ia kemudikan, tapi sorot matanya. Tatapan itu menyapu ruangan sejenak, lalu berhenti tepat padanya.

Tajam. Menilai. Seolah ia sudah tahu segalanya tentang Elina tanpa perlu bicara sepatah kata pun.

Untuk sepersekian detik, dunia seolah berhenti. Elina menahan napas, berdiri kaku seperti tertangkap basah.

Lalu pria itu, Adrian Leonhart, mengangguk singkat. Tidak ramah, tidak juga kasar. Hanya...formal. Claire memeluknya sebentar, lalu melompat masuk ke mobil.

Tanpa sepatah kata pun, mobil itu melaju perlahan, meninggalkan debu tipis di depan gerbang sekolah.

Elina berdiri terpaku, jantungnya berdetak tidak karuan. Ia tak tahu, tapi hari ini bukan sekadar hari biasa. Ia baru saja menatap mata pria yang akan mengubah hidupnya selamanya.

...****************...

Hujan mengguyur sore itu, seperti sedang menumpahkan semua kesedihan langit ke bumi. Semua anak sudah dijemput, kecuali satu, Claire.

Sesuatu terasa ganjil. Biasanya gadis kecil itu akan dijemput tepat waktu. Namun hari itu, menit terus berjalan dan Adrian Leonhart belum juga datang.

Elina melirik jam tangannya. Hampir setengah jam berlalu. Ia tak bisa membiarkan Claire sendiri. Maka ia menggandeng tangan kecil itu dan mengajaknya ke warung kecil di seberang jalan untuk berteduh.

"Daddy belum datang, ya?" tanya Elina lembut.

Claire mengangguk pelan. Matanya yang jernih mulai berkaca-kaca. "Mungkin Daddy sibuk..."

Elina meraih gadis kecil itu ke dalam pelukannya. Hatinya teriris, ia tahu rasanya menunggu, merasa tak penting di dunia yang terus berjalan tanpa peduli.

Dari kejauhan Claire melihat mobil Daddynya "Miss...itu Daddy sudah datang!" sambil menunjuk ke sebuah mobil diseberang jalan.

Tak lama kemudian, suara klakson keras dan teriakan membuat Elina menoleh cepat. Ia melihat sebuah mobil hitam melaju kencang dari tikungan, kehilangan kendali karena jalan licin.

Dan di ujung trotoar, Claire, yang berlari kecil ingin menyambut ayahnya, berada tepat dalam jalur maut itu.

"Claire!" teriak Elina, tapi suara itu tenggelam oleh dentuman hujan.

Tanpa berpikir panjang, Elina berlari. Ia mendorong tubuh kecil Claire ke sisi kanan, menjatuhkan dirinya bersamaan. Mobil itu mengerem keras, namun ban selip menghantam papan iklan di belakang mereka dengan suara menghentak.

Tubuh Elina terbanting ke tanah basah. Kepalanya terbentur keras.

"Miss Elina!" Claire berteriak, menangis keras.

Beberapa menit kemudian, keributan terjadi. Orang-orang berlarian. Dan dari arah berlawanan, seorang pria turun dari mobil hitam lain dengan wajah panik. Adrian.

Ia segera berlari ke arah Claire dan Elina. Napasnya tertahan saat melihat guru TK itu terbaring basah kuyup dengan darah tipis di pelipis.

"Daddy..." Claire tersedu. "Miss terluka karena menyelamatkan Claire.."

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Adrian kehilangan kata-kata. Ia menatap wanita itu, terluka, lemah, tapi tetap menggenggam tangan Claire, seolah melindungi dengan seluruh nyawanya.

Petugas medis datang, dan semuanya berlangsung cepat. Elina dibawa ke klinik terdekat.

Adrian memeluk Claire kecil yang ketakutan "Miss tidak terluka parah, dan para tenaga medis itu bisa menyembuhkan Miss dengan cepat..."

"Benarkah?"

"Ya!" Sambil mengelus pucuk kepala gadis kecil itu.

"Claire pulang bersama pak supir ya, Daddy harus menemani Miss Elina!" Claire mengangguk ringan. Lantas Adrian menggendong tubuh kecil itu dan mendudukkannya di kursi penumpang.

"Tolong antar Claire ke rumah ya pak, setelah itu jemput saya!" seraya memasangkan sabuk pengaman Claire.

"Baik Tuan!"

Adrian menutup pintu dan segera menyusul Elina.

...****************...

Malam itu, Adrian duduk diam di dalam ruang kerja. Laporan medis Elina ada di meja. Tidak parah, tapi cukup untuk membuatnya merasa bersalah.

Wanita itu...telah mempertaruhkan nyawanya untuk putrinya.

Dan itu adalah hal yang tak pernah dilakukan Karien: ibu kandung Claire, sekalipun.

...****************...

Dua hari kemudian, saat Elina terbangun di ranjang klinik sederhana. Kepalanya masih terasa berat. Ia tidak mengingat semuanya, hanya kilasan suara mobil, teriakan, dan tubuh Claire yang begitu kecil dalam pelukannya.

Saat ia membuka mata sepenuhnya, ada seseorang duduk di samping ranjang.

Adrian Leonhart.

Dengan jas hitamnya yang mahal dan sorot mata yang sulit dibaca.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya datar.

Elina terkejut. Ia mencoba bangkit, tapi Adrian menahan pelan bahunya.

"Beristirahatlah."

Hening. Suara hujan di luar jendela menjadi satu-satunya pengisi ruang.

"Aku tak tahu harus berkata apa," lanjutnya. "Tapi aku tak suka berutang. Dan kali ini...aku berutang besar padamu."

1
Mia Syara
Awal baca,sudah tertarik dengan alur cerita ini..Salam dari Malaysia
Wiedha: Terimakasih sudah mampir Kak Mia...diusahakan untuk up date setiap hari...🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!