Demi menuruti permintaan terakhir dari sang Ayah, Citra rela menikah dengan seorang pria matang berumur 35 tahun yang bernama Steven Prasetyo.
Dipaksa? Tentu tidak. Citra dengan ikhlas dan senang hati menerima pernikahan itu meski selisih mereka 16 tahun. Bahkan, dia sudah jatuh cinta saat pertama kali bertemu dengannya.
Namun, sebuah fakta mengejutkan saat Citra mengetahui sebuah rahasia tentang alasan Steven menikahinya. Mungkin itu juga sebabnya mengapa sikap Steven selalu dingin dan menjaga jarak selama ini.
Sesungguhnya dia kecewa, tetapi entah mengapa semangat untuk mendapatkan cinta dari pria dewasa itu tak pernah pudar. Malah makin membara. Citra bertekad akan membuat pria yang membuatnya berdebar setiap hari itu jatuh cinta padanya. Bila perlu sampai tergila-gila.
Akankah Citra berhasil menaklukkan hati Steven? Atau justru dia menyerah dan lebih memilih meninggalkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Itu pertanyaan yang berat
"Tentang rumah Ayah biarkan saja. Nanti kapan-kapan kalau kamu ingin tinggal di sana, tentu boleh." Steven hanya menjawab pertanyaan terakhir Citra.
"Eemm ... tapi, aku ingin kita ke makan Ayah dulu, Om. Aku kangen sama Ayah." Kedua mata Citra langsung berkaca-kaca.
"Jangan sekarang deh, besok saja bagaimana?" tawar Steven. Bukan dia tak mengizinkan, tetapi dia sendiri takut jika nanti Citra pingsan lagi. "Dan mulai sekarang kamu jangan terlalu larut dalam kesedihan, ikhlaskan Ayah Danu. Dia sudah tenang di sana dan nggak akan merasakan sakitnya lagi," imbuh Steven. Dia berbicara selembut mungkin sambil menoleh dengan senyuman di bibir. Tetapi terlihat kedua pipi Citra kembali basah, dia menangis.
"Tapi aku nggak mau Ayah pergi, Om. Aku ... aku ingin dia ada disisiku. Sekarang aku sendirian ...." Citra menyeka kedua pipinya, namun tetap saja air mata itu kembali jatuh. "Pertama Bunda yang lebih dulu meninggalkanku, sekarang Ayah. Aku—"
"Kamu nggak akan sendirian," sela Steven cepat. Dia tiba-tiba saja mengerem mobilnya hingga terhenti lalu menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Kelemahannya, dia tak pernah bisa melihat perempuan menangis. Apa lagi gadis semanis Citra. "Aku akan menjagamu, melindungimu. Kamu nggak akan pernah sendirian."
"Om nggak akan meninggalkanku seperti Ayah dan Bunda, kan? Om akan terus disisiku, kan?" tanya Citra dengan masih berderai air mata.
Pertanyaan itu sukses membuat Steven bungkam, dia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Itu sangatlah berat buatnya.
"Ah sudah, kita lanjutkan perjalanan ini. Aku yakin kamu pasti lapar dan ingin makan." Steven melepaskan pelukannya dan membenarkan jas. Lalu kembali mengemudi.
"Kenapa Om nggak jawab pertanyaanku? Apa Om juga akan meninggalkanku?" tanya Citra lagi.
"Itu pertanyaan yang berat, umur manusia nggak ada yang tahu, Cit."
"Tapi selama Om masih hidup ... Om akan selalu bersamaku, kan? Menjagaku dan melindungiku?"
Lagi-lagi pertanyaan itu seperti menggantung di udara. Citra tak mendapatkan jawaban sampai mobil Steven sampai di parkiran apartemen.
Pria dewasa itu mengajak Citra masuk ke dalam apartemen yang berada di lantai dua. Ruangan itu cukup luas dan begitu lengkap dengan semua fasilitas. Kedua tangannya mendorong dua koper yang berisi pakaian Citra yang memang sengaja diambil dari rumah Danu tadi.
"Memang nggak sebesar rumah Ayah Danu. Tapi semoga kamu suka." Steven membuka sebuah kamar lalu menaruh dua koper itu di dekat lemari kayu dengan beberapa pintu.
Citra pun segera merebahkan tubuhnya dengan terlentang sambil menatap langit-langit kamar. Kamar itu seluas kamar pribadinya, hanya saja bedanya bernuansa hitam putih.
"Aku suka kok. Aku suka dimana pun tinggalnya asal bersama Om."
"Tapi kita nggak tinggal bersama." Steven menggeleng cepat, lalu berjalan keluar kamar menuju dapur.
Citra langsung bangun dan berjalan menghampirinya. Dilihat Steven tengah mengambil batu es di dalam kulkas lalu menaruhnya ke dalam baskom.
"Nggak tinggal bersama maksudnya gimana? Katanya Om bilang tadi aku akan tinggal di apartemen Om?"
Citra mengikuti langkah kaki Steven lagi, saat pria itu kini duduk di sofa lalu mencelupkan handuk kecil ke dalam baskom. Setelah diperas, dia hendak menempelkannya ke pipinya yang biru, tetapi dengan cepat handuk itu dipegang oleh Citra.
"Biar aku saja, Om."
Tangan Citra hampir sedikit lagi mendarat ke pipi mulus Steven, tetapi dengan cepat Steven mengambil kembali handuk itu. Dia juga menggeserkan bokongnya sedikit sebab merasa mereka terlalu dekat.
'Aku harus jaga jarak dengannya, apalagi kita hanya berdua di sini,' batin Steven.
"Nggak perlu, aku bisa sendiri," ucap Steven. Suaranya terdengar datar dan dia juga mengalihkan pandangan.
Wajah Citra seketika sendu, dia merasa sedih melihat Steven menolak bantuannya, tetapi dia berusaha senyum sambil memandangi Steven.
"Maafin Om Tegar dan Om Tian ya, Om. Gara-gara mereka pipi mulus Om biru," ujar Citra tak enak hati.
"Nggak apa-apa. Oh ya, kamu mau makan apa? Dari kemarin malam kamu belum makan, kan?" Steven melirik sekilas pada Citra.
"Aku mau makan mie goreng, apa disini ada? Tapi aku nggak bisa memasaknya."
"Jangan makan mie, perutmu 'kan kosong dari kemarin. Dan sekarang sudah jam ...." Steven menengadah ke arah jam dinding yang menempel pada tembok. Seketika matanya membulat saat melihat jarum pendek itu menunjukkan pukul 5. "Sudah jam 5 sore, maafkan aku. Aku lupa mengingatkanmu makan. Sekarang kamu mau makan apa? Aku akan memesankannya."
Steven terlihat kelabakan, dia langsung melempar handuk yang dipegangnya di atas meja, lalu mengambil ponselnya di dalam saku jas.
'Jangan sampai gara-gara ini dia sakit, Citra nggak boleh sakit,' batin Steven.
"Aku nggak kepengen makan nasi, Om. Aku malah pengennya mie."
"Kan aku sudah bilang nggak boleh. Nggak baik buat kesehatan juga. Bubur saja bagaimana?" tawarnya. Matanya fokus pada layar ponsel.
"Kenapa Om duduknya jauh sekali? Apa pantat Om gatal?"
Pertanyaan Citra langsung membuat Steven menoleh ke arahnya. Dilihat dari posisi duduk mereka sekarang benar-benar jauh seperti orang musuhan. Rupanya sejak tadi Steven terus-menerus menggeser bokongnya. Dan seperti apa yang Citra tanyakan, mungkin saja pantatnya gatal.
"Enak saja pantatku gatal, nggaklah." Steven mengangkat bokongnya, lalu memindahkannya untuk sedikit lebih dekat meskipun kini masih berjarak. "Sekarang katakan mau apa? Tapi harus nasi."
"Aku binggung, Om saja yang pilihkan."
"Berarti bubur mau?"
Citra menggeleng. "Nggak, katanya nasi tadi, Om."
"Bubur juga berbahan dasar nasi."
"Iya, sih. Tapi aku nggak mau, Om."
"Terus maunya apa?"
"Kalau Om mau apa? Om pasti makan juga, kan? Temenin aku."
Steven mengangguk. "Iya, aku juga makan. Aku mau bubur."
"Ya sudah, aku bubur juga deh."
Steven menghela napas, kemudian menekan-nekan ponselnya dan memesan makanan yang sesuai pilihannya. "Minumnya apa?" tawarnya.
"Samakan saja sama Om."
Steven mengetik ponselnya lagi. Setelah berhasil mengorder makanan—benda pipih itu ditaruh di atas meja.
"Sekarang kamu mandi dulu, dari pagi belum mandi, kan?"
Citra langsung menundukkan wajahnya sambil memandangi tubuhnya sendiri. Apa yang dikatakan Steven benar, bahkan pakaiannya saja masih sama.
"Ah iya, aku lupa mandi. Bahkan dari pagi." Citra langsung berdiri, tetapi dia langsung mengingat pertanyaannya yang belum sempat dijawab oleh pria dewasa itu. "Tadi Om bilang kita nggak tinggal bersama, apa setelah ini Om akan pergi meninggalkanku?"
"Aku nggak akan meninggalkanmu, Cit. Tapi aku akan tinggal di apartemen sebelah."
"Maksudnya kita tetanggaan?" Alis mata Citra bertaut.
Steven mengangguk.
"Lho kok gitu, sih? Aku nggak bisa tinggal sendirian, Om. Aku orangnya penakut. Apalagi kalau tidur sendiri, aku nggak bisa." Citra menggeleng cepat. Selain itu dia juga takut pada kegelapan. Citra mempunyai trauma masa kecil.
"Bi Titin akan datang nanti malam, dia yang menemanimu di sini," jawab Steven.
Bi Titin ini adalah pembantu di rumah Danu, sebelumnya Danu juga meminta Steven untuk mengajak Bibi Titin tinggal bersama mereka. Benar, untuk menemani Citra dan memenuhi kebutuhannya. Tak mungkin gadis manja itu bisa melakukan semua hal sendiri.
Kalau Steven, dia memang terbiasa tinggal seorang diri di apartemen. Tetapi setiap pagi akan ada tugas kebersihan yang selalu membersihkan apartemennya.
"Tapi Om sendiri yang bilang aku akan tinggal di apartemen, Om. Kalau kita nggak tinggal bersama ... itu sama saja aku nggak tinggal di apartemen Om, kan?"
"Kamu 'kan tinggal di apartemenku, ini apartemen milikku. Bahkan semua unit di gedung ini milikku, Cit."
Citra tampak bengong, dia pikir tinggal di apartemen adalah tinggal satu atap. Ternyata tidak, hanya tinggal di apartemennya, tetapi tak bersama.
"Terus bagaimana cara Om bisa menjagaku kalau kita nggak tinggal bersama? Kalau aku kenapa-kenapa bagaimana? Misalkan ada rampok yang datang? Terus aku diapa-apain? Aku 'kan cantik, Om. Sedangkan di sini nanti hanya ada aku dan Bi Titin. Dia seorang wanita, dia juga pasti nggak bisa berkelahi. Aku pastinya dalam bahaya." Begitu banyak rentetan pertanyaan yang terlontar dari bibirnya. Jujur saja—yang Citra inginkan adalah tinggal bersama, tidak berpisah seperti apa yang Steven katakan.