Kuliah? Haruskah aku menjadi cepat dewasa, menemukan pasangan lalu menikah? Tunggu, aku harus meraih gelar sarjanaku lebih dulu. Tapi, bagaimana kalau bisa meraih keduanya?
Oh, Tidak ...! Ini benar-benar membingungkan.
Ini kisah Adinda Dewi Anjani, gadis desa yang terpaksa merantau ke kota untuk kuliah, demi menghindari perjodohan dengan anak kepala desa yang ketampanannya telah menjadi sorotan berita.
Lika-liku kisah Anjani mengejar gelar sarjana, tak luput dari godaan cinta masa kuliah. Apalagi, tren slogan "Yang Tampan Jangan Sampai Dilewatkan" di antara geng kampusnya, membuat Anjani tak luput dari sorotan kisah cinta. Lalu, akankah Anjani lebih memilih cinta sesama daripada gelar yang pernah dimimpikan olehnya? Atau justru pembelajaran selama masa kuliah membuatnya sadar dan memilih hijrah? Yuk, kepo-in ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indri Hapsari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CS1 Belum Untuk Saat Ini
Satu buket mawar merah dan mawar putih imitasi selesai dibuat. Sentuhan pita emas berpadu perak pada buket, sukses menambah kesan indah dan memesona. Tambahan parfum pada bunga pun menjadi pelengkap yang akan memanjakan pemiliknya. Siapa pun yang akan menerima buket itu, pastilah orang yang amat istimewa.
Satu pelanggan telah puas dengan hasil buket bunganya. Disusul satu lagi pelanggan yang juga menginginkan bunga. Kali ini seorang wanita yang memakai pakaian bergaya oversized, tapi tetap terlihat modis dengan beberapa barang mewah yang dipakainya. Wanita tersebut tidak memesan buket bunga. Dia hanya menginginkan setangkai mawar merah segar dengan sebuah pesan sederhana. Dia segera mendapat apa yang diinginkan, dan tersenyum puas.
Dua pelanggan pertama hari ini sudah terlayani. Anjani puas melihat senyum pelanggannya. Namun, ada satu yang dari tadi masih mengganggu pikirannya. Meli, sahabatnya itu belum kembali ke toko. Beberapa kali Anjani mencoba menengok keluar toko, tapi tetap tidak ada tanda-tanda kemunculan sahabatnya. Padahal, sudah lebih dari satu jam sejak terakhir kali Meli menghubunginya.
Anjani mencoba mengusir prasangka buruknya dengan cara menyibukkan diri. Anjani teringat pesanan beberapa buket bunga yang akan diambil sore nanti. Tanpa banyak berpikir lagi, Anjani bergegas menyiapkan beberapa lembar cellophane, pita perak, gunting, dan alat perekat. Tidak lupa bunga-bunga dalam keranjang yang tadi pagi dipetik dari rumah Kak Lisa. Nah, Anjani siap merangkai bunga-bunganya.
Tidak butuh waktu lama untuk membuat buket bunga. Anjani sudah terbiasa membuatnya. Baru beberapa menit mengerjakan, sudah jadi dua buket bunga kombinasi. Beberapa buket bunga lainnya akan memadukan mawar merah dan mawar putih, juga lily dan matahari. Sepertinya pelanggan yang memesan buket-buket bunga itu memiliki suatu acara yang istimewa.
Anjani hendak membuat buket ketiga, tapi sosok yang sedari tadi ditunggunya telah tiba. Ya, Meli telah tiba. Dan ... di luar dugaan Anjani, Meli justru sama sekali tidak menampakkan wajah kesal. Melihatnya, Anjani jelas terheran dengan sikap sahabatnya.
"Mel, kamu oke?" tanya Anjani.
"Yap. Oke banget." Meli menanggapi sambil meletakkan tas miliknya.
Meli mendekat ke tempat Anjani membuat buket. Dia pun melihat hasil buket yang dikerjakan Anjani, dan tersenyum setelahnya. Tidak lama setelah senyuman itu mengembang, Meli mengambil beberapa tangkai bunga dan mulai membantu Anjani. Anjani yang melihat gelagat aneh sahabatnya itu pun terheran, dan tidak kuasa lagi menahan diri untuk tidak bertanya.
"Meli, kenapa sih? Kukira kamu bakal marah, loh?" tanya Anjani. Dia memutuskan untuk bertanya.
"Buat apa marah, Anjani. Kamu ninggalin aku sama cowok-cowok ganteng, masa sih aku harus marah. Terus lagi ya, tadi pas perjalanan pulang, angkot sempet mogok. Kesel sih awalnya, tapi habis itu aku lihat promo di warung bakso langganan kita. Beli satu gratis satu. Aha, senengnya pagi ini sarapan bakso dua porsi." Meli menjelaskan dengan wajah riang gembira.
"O, begitu." Anjani menanggapi dengan singkat.
"Hah? Hanya O saja? Anjani ... kamu masih hutang cerita sama aku. Ngapain aja tadi sama Mario?" tanya Meli, dan ekspresinya kini berubah. Tadi terlihat ceria, dan sekarang terlihat penuh curiga.
"Nggak ada apa-apa, kok. Tadi dia cuma bantuin nganter keranjang bunga. Setelah menerima bayarannya, dia langsung pamit pulang. Udah, itu aja!" jelas Anjani.
"Oke, terus kenapa kamu nutupin muka pakek keranjang dan mengabaikanku tadi?" tanya Meli, semakin menyelidik.
"I-itu ... anu ... itu karena ...." Anjani bingung mau menjelaskan dari mana.
"Stop! Nggak perlu dijelasin lagi. Aku sudah tau, lho." Meli kini terlihat kembali ceria, dan berusaha menggoda Anjani.
"Tau apa, Mel?" tanya Anjani. Kali ini dia yang penasaran.
"Yang tadi bersamaku, pelanggan buket bunga itu, tuh. Yang satu namanya Ken dan yang satu lagi namanya Juno. Dia Juno-mu yang di desa, kan." Meli terlihat menggoda Anjani.
"Bukan! Emm .... Itu .... Aku nggak punya perasaan apa-apa sama dia, Mel!" tegas Anjani.
"Ah! Terserah kamu aja, deh. Nggak apa-apa kalau belum mau mengaku untuk saat ini. Yang penting, hari ini aku sudah mengenal Juno. Ihihi." Meli terlihat bahagia.
"Sudah, ayo selesaikan buketnya. Tuh, barusan ada pesan perubahan jadwal ambil. Ntar siang diambil buketnya, Mel. Bukan sore." Anjani baru teringat dengan perubahan pengambilan pesanan buket bunga, dan segera menyampaikannya pada Meli.
"Benarkah? Ya ayo kalau begitu segera kita selesaikan." Mendadak Meli kembali serius dan bergegas membantu Anjani.
Anjani dan Meli larut dalam rangkaian buket bunga. Tidak ada canda lagi, karena pesanan akan segera diambil. Namun, di balik keseriusan membuat buket bunga, pikiran Anjani terusik. Dia memikirkan perkataan Meli tentang Juno. Juno ada di kota dan telah bertemu dengan Meli. Maka, cepat atau lambat pasti Juno akan menghampiri Anjani.
***
"Mau diantar kemana lagi setelah beli makanan, Mas?" tanya sopir Mario.
"Langsung pulang saja," jawab Mario.
Mobil mewah bercat merah sedang melaju menuju kompleks perumahan elit. Setelah keluar dari toko bunga tadi, Mario dijemput sopir rumahnya menggunakan salah satu mobil pribadi ayahnya. Sebelum pulang, Mario sempat mampir ke salah satu rumah makan membeli beberapa bungkus nasi menggunakan upah dari Anjani.
Mobil yang semula melaju kencang, seketika melamban saat Mario mengisyaratkan kepada sopirnya untuk mengemudi pelan ketika memasuki kompleks perumahan. Dugaan Mario benar, Ken dan Juno masih belum pulang. Mereka terlihat sedang duduk santai di pinggiran trotoar. Melihat itu, mobil Mario pun berhenti.
"Ah! Itu dia Mario." Ken menunjuk ke arah Mario yang baru saja turun dari mobil.
Mario tidak menghampiri Ken dan Juno. Dia hanya memberi isyarat agar keduanya bergegas masuk mobil. Baik Ken ataupun Juno tidak ada yang protes ataupun memburu Mario dengan pertanyaan atas adegan kejar-kejaran tadi pagi.
Belum, itulah kata yang lebih tepat. Saat di mobil, Ken dan Juno memang tidak memburu Mario dengan kata-kata. Akan tetapi, begitu sampai di rumah Mario, seketika rentetan pertanyaan-pertanyaan itu meluncur. Ken dan Juno tidak tahan lagi untuk tidak bertanya. Ekspresi mereka berdua pun terlihat sangat penasaran dan benar-benar butuh penjelasan.
"Hei, bukankah selama ini kamu menghindar untuk bertemu Anjani. Kenapa tadi tiba-tiba begitu?" tanya Ken.
"Apa? Mas Mario ternyata kenal sama Bunga? Kapan kenalnya, Mas?" tanya Juno.
"Mario, tadi kenapa kuteriaki kamu cuek aja, he?" tanya Ken lagi.
"Mas Mario ada hubungan apa sama Bunga, Mas? Kenal di mana?" tanya Juno yang semakin penasaran.
"Jangan-jangan kamu ada perasaan dengan Anjani, ya?" tanya Ken sekali lagi.
"Apa? Mas Mario suka Anjani? Beneran, Mas?" Kali ini Juno yang kembali bertanya.
"Cukup pertanyaannya!" tegas Mario sambil menyodorkan kresek berisi bungkusan nasi.
Mario jelas-jelas sedang diburu oleh Ken dan Juno. Pertanyaan-pertanyaan yang tadi dilontarkan jelas-jelas bukan sekedar rasa ingin tahu. Mario paham betul dengan karakter Ken dan Juno. Apalagi karakter Ken yang sudah sejak lama menjadi sahabatnya. Mario menduga, Ken dan Juno berusaha memancing reaksinya.
"Aku bawakan sarapan. Ini dari upah kerjaku jadi sopir keranjang bunga pagi ini. Nih!" ujar Mario dengan nada santai.
"Hah?" Ken memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar.
"Maksudnya apa, Mas?" tanya Juno. Dia terlihat masih tidak mengerti.
"Maksudnya, sekarang aku tidak hanya seorang sales sepatu, tapi juga sopir bayaran. Mengerti? Sudah cukup, dan silakan dimakan." Mario memberi isyarat agar bungkusan nasi yang telah dibeli segera dimakan oleh Ken dan Juno. Tapi isyarat itu seolah gagal diberikan. Ken dan Juno saat ini saling pandang, tanda masih menyimpan banyak pertanyaan yang tidak kunjung bersambut dengan jawaban.
"Jadi, Mas Mario tidak memiliki perasaan pada Bunga? Ah, maksudku pada Anjani. Benar begitu, Mas?" tanya Juno.
"Belum tentu. Mungkin, belum untuk saat ini." Mario menjawab sambil berlalu meninggalkan Ken dan Juno.
Juno melongo mendapati jawaban dari Mario. Reaksi Ken tidak kalah heboh. Sikap Mario yang seperti itu membuat Ken tidak percaya bahwa itu adalah sahabatnya. Mario yang dikenalnya adalah Mario yang sering bersikap dingin dan acuh jika menyangkut masalah perasaan. Tapi kali ini, ada apa dengan Mario?
***
Kepo-in lanjutan ceritanya, yuk. Jangan lupa, dukung author dengan cara like dan tinggalkan jejak komentar. See You.
FB : Bintang Aeri
IG : bintang_aeri
Dukung karya author di sana ya 💙
Eh, aku juga punya cerita nih guys.
Nggak usah penasaran ya, karena bikin nagih cerita nya🥺
jgn lupa mampir juga di novelku dg judul "My Annoying wife" 🔥🔥🔥
kisah cewe bar bar yang jatuh cinta sama cowo polos 🌸🌸🌸
tinggalkan like and comment ya 🙏🙏
salam dari Junio Sandreas, jangan lupa mampir ya
salam hangat juga dari "Aster Veren". 😊