Bercerita tentang seorang pekerja kantoran bernama Akagami Rio. Ia selalu pulang larut karena ingin menyelesaikan semua pekerjaannya hingga tuntas. Namun, takdir berkata lain. Ia meninggal dunia karena kelelahan, dan direinkarnasi ke dunia lain sebagai Assassin terkuat dalam sejarah.
Mari baca novelku, meskipun aku hanya menulis dengan imajinasi yang masih sederhana ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KHAI SENPAI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arena Kuno Elvaria
Pagi itu, di bawah langit cerah ibukota Elvaria...
Rio berjalan menyusuri jalanan berbatu yang perlahan mulai dipenuhi warga. Suara riuh pasar pagi, aroma roti hangat, dan deburan langkah para kesatria memenuhi udara. Di balik topeng hitam yang menutupi wajahnya, mata Rio menatap lurus ke depan dengan tenang, fokus.
Tujuannya hanya satu: Arena Kuno Elvaria, yang terletak di barat istana kerajaan. Tempat di mana para pendekar dari berbagai pelosok berkumpul untuk membuktikan kekuatan mereka dalam Turnamen Pedang yang diselenggarakan oleh kerajaan.
Rio menggenggam kertas pengumuman turnamen yang ia ambil dari papan pengumuman kemarin. Matanya sedikit menyipit, mengingat perkataan Yuuto dan hinaan para pahlawan dunia lain.
"Jangan terlalu berharap pada para pahlawan itu..." batinnya dingin. "Aku akan memperlihatkan perbedaan antara kekuatan sejati dan kesombongan kosong."
Sesampainya di depan gerbang Arena Kuno, bangunan besar dengan arsitektur batu zaman dahulu.... para peserta lain memandangnya heran. Sosok bertopeng misterius dengan aura menakutkan jarang terlihat mendaftar di acara resmi kerajaan.
Rio melangkah masuk tanpa berkata apa-apa.
Hanya suara langkahnya yang terdengar, menggema di aula pendaftaran.
"Turnamen ini... akan menjadi panggung pertamaku."
Panggung di mana dunia ini mulai mengenali nama Akagami Rio...
Rio berjalan menuju meja pendaftaran di dalam Arena Kuno Elvaria.
Lorong-lorong batu yang dipenuhi lambang kerajaan dan spanduk turnamen terasa sunyi saat sosok bertopeng itu melangkah perlahan. Para penjaga dan petugas memandangnya dengan penuh tanda tanya, tidak biasa ada peserta misterius seperti dia.
Di depan meja, seorang pria paruh baya yang bertugas sebagai petugas pendaftaran menatapnya curiga.
"Nama?" tanya petugas itu dengan nada formal.
Rio meletakkan tangan di atas meja, menjawab dengan suara pelan dan tenang.
"Akagami Rio."
Petugas itu menoleh sejenak ke daftar, lalu mengangguk dan mulai mencatat.
"Usia?"
"15 tahun."
"Senjata?"
"Pedang."
Petugas itu sedikit terkejut, anak seusia itu, dengan aura seperti Seorang Assassin legendaris atau ayahnya Rio?
Setelah semua selesai, petugas memberi sebuah tanda logam kecil bertuliskan nomor peserta.
"Nomormu 117. Datang ke tempat undian besok pagi. Persiapkan dirimu, bocah... banyak peserta yang bukan orang biasa."
Rio tidak menjawab. Ia hanya mengambil tanda peserta dan berbalik, berjalan menjauh dengan langkah tenang, meninggalkan keheningan aneh di meja pendaftaran itu.
Semua orang yang melihatnya… hanya bisa diam.
Entah karena rasa takut, atau rasa penasaran yang tak terjelaskan.
“Turnamen ini akan menjadi awal... kehancuran para pahlawan palsu.”
pikir Rio dalam hati sambil menghilang di balik cahaya pagi ibukota.
Di sisi lain arena, langkah kaki berat terdengar mendekati meja pendaftaran.
Seorang pemuda berambut perak gelap dengan sorot mata tajam memasuki aula. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan lambang naga merah di pundaknya....dialah Nero Alzeth.
Tatapan orang-orang seketika teralihkan padanya. Wibawanya memancar kuat, meski ia hanya berjalan dengan tenang.
"Nama?" tanya petugas pendaftaran seperti biasa.
"Nero Alzeth," jawabnya singkat, suaranya dalam dan tegas.
Petugas itu langsung mencatat tanpa banyak bertanya, seolah sudah tahu kalau pemuda di hadapannya bukan peserta biasa.
Orang-orang di sekitar meja pendaftaran mulai berbisik saat Nero berjalan melewati mereka dengan langkah mantap.
"Bukankah... dia murid Akagami Zero?" bisik salah satu dari mereka dengan nada sedikit gemetar.
"Yang itu... Nero Alzeth, bukan? Kudengar dia pernah menumbangkan monster kelas tinggi sendirian..."
Bisikan demi bisikan menyebar seperti angin.
Namun Nero, yang mendengar semua itu, tidak sedikit pun menoleh. Matanya tetap lurus ke depan, wajahnya datar tanpa ekspresi, seolah suara di sekitarnya hanyalah angin lalu.
"Hmph... mereka terlalu banyak bicara," batinnya dalam hati.
Tiba-tiba, seorang petugas turnamen menghampiri Nero sambil memegang selembar papan kecil bertuliskan angka.
“Ini nomor peserta anda,” ucap petugas itu dengan sedikit gugup, menyerahkan papan itu dengan dua tangan.
Nero menatap papan itu sejenak. Nomor 107.
Ia mengambilnya tanpa berkata apa pun, hanya sebuah anggukan kecil sebagai tanda terima.
Saat tangannya menyentuh papan itu, sebagian peserta lain diam-diam memperhatikan dengan rasa penasaran dan tekanan yang tak bisa dijelaskan.
Petugas itu mundur perlahan, merasa terintimidasi hanya karena tatapan mata Nero yang tajam dan penuh keyakinan.
Nero kemudian melangkah pergi, menggenggam nomor pesertanya, tanpa menoleh sedikit pun ke arah kerumunan.
“Turnamen ini... akan menarik,” pikir Nero dalam hati, dengan senyum tipis yang sulit ditebak maksudnya.
Di sisi lain, di dalam istana Kerajaan Elvaria...
Dalam aula kerajaan yang dihiasi pilar emas dan permadani mewah, Raja Ragnar Elvaneiros duduk di atas singgasananya yang megah. Di sampingnya, Permaisuri Elviera Caelthina dengan anggun memandangi suaminya.
Raja Ragnar membuka suara, suaranya berat namun berwibawa.
"Besok kita harus hadir menyaksikan Turnamen Pedang itu... Aku ingin melihat sendiri siapa yang pantas memenangkan hati putri kita." katanya serius, sembari menatap jauh ke luar jendela istana.
Permaisuri Elviera tersenyum lembut, lalu menjawab dengan tenang,
"Semoga yang terbaik muncul sebagai pemenang… dan bukan hanya kuat, tapi berhati mulia."
Langit di atas kerajaan mulai beranjak gelap... menandakan akhir dari hari yang akan mengubah takdir banyak orang.
To be continued…
Maaf kalau ada komentar yang kurang sreg.
Misal kalau dia adalah orang yang dulunya OP dan ingin membangkitkan kembali kekuatannya untuk balas dendam. itu bisa dimengerti dibanding dia yang dulunya hanya kerja kantoran aja udah repot dan banyak mengeluh.
Dia pasti motivasinya bisa hidup lebih santai menikmati dibanding sebelumnya yang terlalu sibuk bekerja.