Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Suara langkah Ibu Lina mengalihkan perhatian mereka. "Oke, Tante tinggal dulu ya," ujarnya dengan senyum ramah yang tak sepenuhnya bisa menghapus ketegangan di udara. "Kalau perlu apa-apa, bilang sama Jessy aja ya, Yan."
"Terima kasih, Bu Lina," balas Rayyan dengan sopan, berusaha menjaga kesan formal.
"Panggil Tante aja ya, Yan. Jangan sungkan," koreksi Lina sambil terkekeh ringan sebelum berbalik dan meninggalkan mereka berdua sendirian di ruang tamu yang megah itu.
Begitu ibunya pergi, Jessy langsung memanfaatkan situasi. "Belajar panggil 'Tante' dulu. Nanti baru belajar panggil 'Mami'," godanya, matanya berbinar licik, menikmati setiap detik ketidaknyamanan Rayyan.
Rayyan tak menjawab. Dia hanya menatap Jessy dengan pandangan kesal yang dalam, mulutnya terkunci rapat menahan segala ucapan pedas yang ingin dilontarkan.
"Emangnya nggak ada guru privat lain apa?" keluhnya akhirnya, suara rendah penuh kelelahan.
"Nggak ada yang seoke kamu," balas Jessy dengan senyum puas, sengaja menggunakan kata slang yang membuat Rayyan semakin geram.
"Bahkan bokap lo bisa bayar profesor buat ngajarin lo, Jes."
"Hey!" seru Jessy, ekspresinya berubah menjadi kesal. Dia melangkah mendekat, menunjuk jari telunjuknya ke arah Rayyan. "Inget nggak peraturannya! Nggak boleh ngomong 'Lo' atau 'Gue' kalau lagi ngomong sama aku!" Ucapannya tegas, penuh tuntutan. "Susah banget sih sekedar bilang 'aku' dan 'kamu'?" keluhnya, seolah dialah yang paling dirugikan dalam situasi ini.
Mendengarnya, Rayyan hanya bisa mendengus pelan, menahan amarah yang membara. "Terserah lah..." gumannya, menyerah untuk sementara.
"Oke, sekarang kita bisa ke kamar aku," ajak Jessy, tiba-tiba berubah menjadi ceria, menunjuk ke arah tangga megah.
"Kamar? Maksud lo? Maksud gue— Aahh!!" gerutu Rayyan, wajahnya berkerut kesal karena belum terbiasa dengan aturan bahasa yang dipaksakan. Dia menghela napas berat. "Maksud kamu?!" ujarnya akhirnya, dengan penekanan yang berlebihan pada kata 'kamu'.
Jessy terkekeh girang melihat kegelian Rayyan. "Kan buku dan meja belajarnya ada di kamar aku. Ya kita belajar di kamarlah," jelasnya, berpura-pura tidak mengerti sumber ketidaknyamanan Rayyan.
"Nggak bisa di sini aja?" balas Rayyan, matanya menghindari tatapan Jessy.
"Emang ada orang belajar di ruang tamu?" ujar Jessy, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya, seolah Rayyan baru saja mengajukan ide paling aneh di dunia.
"Emang harus belajar di kamar?" balas Rayyan, berusaha bertahan.
Jessy akhirnya menyadari ketidaknyamanan Rayyan yang sebenarnya. Sebuah kilatan pemahaman—atau mungkin sedikit belas kasihan—muncul di matanya. "Oke," ujarnya, menyerah. "Kita bisa belajar di paviliun belakang." Dia menunjuk ke arah taman belakang rumah melalui jendela kaca lebar.
Mereka kemudian berjalan menyusuri koridor yang sejuk menuju taman belakang. Di sana, tersembunyi di antara rimbunnya tanaman hijau dan kolam hias kecil, berdiri sebuah gazebo kayu yang besar dan elegan. Di dalamnya terdapat meja kayu solid dan beberapa kursi yang terlihat nyaman.
"Di sini?" tanya Jessy, memastikan sekali lagi, matanya menatap Rayyan yang masih terlihat kaku.
Rayyan mengangguk pelan, rasa tegang di pundaknya sedikit berkurang. Lokasi ini, meski masih dalam area properti mewah mereka, setidaknya terasa lebih netral dan terbuka.
"Oke, kamu tunggu di sini dulu. Aku ambil bukuku dulu," ujar Jessy. Sebelum pergi, dia mengedipkan mata pada Rayyan dengan genit, sebuah gestur yang membuat dada Rayyan berdebar tidak karuan—bukan karena senang, tapi karena kebingungan dan kejengkelan.
Saat Jessy menghilang ke dalam rumah, Rayyan akhirnya bisa bernapas lega. Matanya menyapu sekeliling, menatapi setiap detail kemewahan yang mengelilinginya. Gazebo ini saja mungkin lebih mahal dari seluruh rumah kontrakannya bersama ibu. Kolam hias dengan ikan koi yang berenang tenang, tanaman-tanaman langka yang dirawat dengan sempurna, udara segar yang disaring oleh rimbunnya pepohonan—semuanya begitu indah, namun terasa seperti sebuah penjara emas baginya.
Dia berdiri di sana, seorang mahasiswa jenius dari keluarga sederhana, terjebak dalam permainan seorang sosialita yang tak bisa menerima kata 'tidak'. Dan di kedalaman hatinya, dia tahu, pertempuran ini baru saja dimulai.
***
Lima menit kemudian, Jessy kembali muncul dari balik pintu kaca, membawa setumpuk buku dan modul yang masih terlihat baru. Di meja gazebo, tanpa sepengetahuan Rayyan, seorang pembantu rumah tangga telah mengatur sempurna beberapa piring kecil berisi kudapan cantik, buah potong, dan kue-kue kering—beserta dua gelas jus jeruk segar yang berkondensasi di tepinya.
Rayyan sama sekali tidak menyentuhnya. Dia terpaku pada layar laptop tuanya yang sudah mengeluarkan suara kipas berisik, kacamata baca yang sederhana meluncur di hidungnya yang mancung, menambah aura kecerdasan dan ketenangan yang memancar darinya. Dalam keseriusannya, tanpa disadari, dia terlihat sepuluh kali lebih tampan—sebuah fakta yang tidak luput dari pengamatan Jessy.
Dengan senyum puas, Jessy tidak memilih kursi di seberangnya. Dia justru melenggang dan langsung menduduki kursi tepat di samping Rayyan, mendekatkan tubuhnya hingga bahu mereka hampir bersentuhan.
"Kenapa mepet banget sih," keluh Rayyan, segera mencium wangi parfumnya yang menggangu konsentrasi. Dia mencondongkan tubuhnya menjauh. "Ini kan lega. Kalau nggak, duduk aja di depan situ," ujarnya, menunjuk ke kursi kosong di seberang meja.
"Nggak mau! Maunya di samping kamu," bantah Jessy dengan suara manja yang dipaksakan, sambil dengan sengaja mendorong kursinya sedekat mungkin.
"Astaga!" gerutu Rayyan, menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk mengabaikannya dan memfokuskan kembali perhatian pada layar laptop. "Oke, kita mulai dengan kalkulus dasar. Ini dasar dari banyak konsep di manajemen keuangan."
Dia membuka sebuah file presentasi sederhana. "Fungsi limit adalah—"
"Rayyan, kamu pake kacamata ternyata lebih ganteng, lho," potong Jessy tiba-tiba, menopangkan dagunya di telapak tangan, menatapnya dengan mata berbinar-binar bukannya ke layar.
Rayyan mengabaikannya, rahangnya mengeras. "Seperti yang bisa kamu lihat di grafik ini—"
"Tau nggak, kamu mirip sama Lee Min-ho kalau pake kacamata," Jessy menyela lagi, suaranya menggoda. Dia dengan sengaja membungkuk untuk mengambil jus, membuat kaos putih ketat yang dikenakannya semakin menegaskan setiap lekuk tubuhnya yang seksi. Celana jeans pendeknya juga membuatnya harus duduk dengan hati-hati, yang justru semakin menarik perhatian.
Rayyan memicingkan matanya di balik kacamata, menahan amarah. "Jessy, fokus bisa nggak. Ini penting untuk ujian mid lo... Maksudnya kamu."
"Oke,oke, lanjut," ujar Jessy, berpura-pura serius selama sekitar sepuluh detik sebelum jarinya yang terawat mulai mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tidak sabar. "Tapi ini bosenin banget, Yan. Nggak bisa kita bahas yang lain dulu?"
"Nggak. Ini pelajaran, bukan gosip," jawab Rayyan tajam, mengetik sesuatu di laptopnya. "Sekarang, coba kamu cari turunan dari fungsi f(x) \= 3x² + 2x."
Jessy mendekatkan wajahnya, matanya menyipit melihat layar. "Hah? Apaan tuh? Kok belajar matematika isinya huruf sih!" Dia kemudian meletakkan kepalanya di bahu Rayyan dengan tiba-tiba, berpura-pura melihat layar. "Ajari aku dong, Yan. Aku nggak ngerti."
Sentuhan itu membuat Rayyan tersentak keras. Dengan gerakan kasar, dia menjauhkan bahunya. "Jangan main sentuh!" hardiknya, suaranya rendah namun penuh peringatan. Wajahnya yang biasanya dingin sekarang memancarkan kemarahan yang nyata. "Duduk yang bener dong! Dan coba kerjakan soalnya sendiri dulu."
Jessy mendengus, akhirnya mundur sedikit. Tapi senyum nakal tetap tidak hilang dari bibirnya. Dia mengambil buku catatannya yang masih kosong dan mulai mencoret-coret gambaran hati di pinggirannya sambil sesekali melirik profile Rayyan yang tegang.
Rayyan menarik napas dalam-dalam. Ini akan menjadi sesi privat yang sangat, sangat panjang. Di antara rumus kalkulus dan grafik yang rumit, ada sebuah pertempuran lain yang sedang berlangsung—sebuah pertempuran antara kesabaran dan obsesi, antara disiplin dan godaan. Dan di gazebo mewah itu, dengan kacamata di hidungnya dan wanita cantik nan menyebalkan di sampingnya, Rayyan merasa ini adalah ujian terberat yang pernah dia hadapi.
***
Rayyan menutup laptop tuanya dengan sebuah keputusan. Metode penjelasan teoritis jelas tidak bekerja. Dengan napas pendek yang menahan kesabaran, dia mengambil buku catatan bersampul coklatnya yang sederhana dan selembar kertas kosong. Tangannya yang ramping namun pasti menulis dengan cepat, merangkai sepuluh soal kalkulus paling dasar yang bisa dia pikirkan.
"Kamu kerjain sepuluh soal ini dulu," ujarnya, suaranya datar namun tegas, sambil menggeser kertas itu ke hadapan Jessy. "Nanti aku koreksi."
Jessy menyambar kertas itu, matanya menyapu deretan simbol dan huruf yang bagi mereka ibarat puisi, tapi baginya seperti kode alien yang menjemukan. Wajahnya langsung berkerut.
"Ini susah banget," gerutunya, merosot di kursinya seperti balon yang kempes. Dia mendorong kertas itu menjauh. "Nggak ada soalnya yang nggak ada hurufnya? Yang isinya angka doang gitu?" pinta Jessy, suaranya penuh frustrasi dan keluguan yang tak terduga. "Kayak soal SD aja, satu tambah satu berapa, gitu loh!"
Rayyan menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia melepas kacamatanya dan mengusap pangkal hidungnya yang sudah mulai pegal. Bayangan ibunya yang bekerja keras dan amplop coklat Pak Adi melintas di pikirannya, memaksanya untuk bertahan.
"Ini soal dasar, Jes," ujarnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Kamu masa nggak bisa, sih?" Dia tidak bisa menyembunyikan nada ketidakpercayaan dan kekecewaan itu. "Terus tadi tiga puluh menit aku ngajarimu, nggak ada satupun yang masuk ke otak?" Pertanyaannya keluar lebih tajam dari yang dia rencanakan.
"Iya... iya... iya..." gumam Jessy malas, menatapnya dengan mata besar yang tiba-tiba terlihat sangat polos. Dia memainkan pulpennya dengan jari-jari yang terawat sempurna. "Lagian, buat apa sih kita belajar hitung-hitungan begini? Emang di dunia nyata dipake? Nggak kayaknya. Yang penting kan bisa ngitung uang, udah."
Kata-kata itu seperti percikan api di bensin. Tapi alih-alih meledak, Rayyan justru menarik napas dalam-dalam. Kemarahannya mereda, digantikan oleh sebuah tekad baru. Jika Jessy tidak bisa memahami keindahan matematika untuk dirinya sendiri, mungkin dia perlu melihat kegunaannya.
Dia mendorong kursinya sedikit, mengambil posisi yang lebih menghadap ke Jessy. Wajahnya yang tadinya dingin kini berubah menjadi serius, seperti seorang guru yang bertekad mencerahkan muridnya yang tersesat.
"Oke," mulainya, suaranya lebih lembut namun penuh intensitas. "Kamu bilang nggak dipakai di dunia nyata? Salah."
Jessy mengangkat alis, sedikit tertantang.
"Kalkulus ini," lanjut Rayyan, menatapnya langsung, "adalah bahasa untuk memahami perubahan."
Jessy masih terlihat bingung.
"Aku kasih contoh yang sederhana," ujarnya, mengambil pulpen dan mulai menggambar sumbu X dan Y yang sederhana di kertas. "Lo... Kamu suka naik roller coaster, kan?"
Jessy mengangguk, sedikit bingung dengan arah pembicaraan.
"Nah, orang yang bikin roller coaster itu pake kalkulus untuk ngehitung dengan tepat seberapa cepat roller coaster itu bisa meluncur di setiap tikungan tanpa terlempar dari relnya. Mereka menghitung percepatan, perlambatan, dan gaya yang bekerja. Itu semua pakai turunan, salah satu bagian dari kalkulus yang ada di soal ini." Rayyan menunjuk ke kertas soal dengan ujung pulpennya.
Mata Jessy mulai menunjukkan sedikit kilatan penasaran.
"Atau, coba lihat smartphone kamu." Jessy secara refleks melihat ponsel mahalnya yang tergeletak di meja. "Sinyar, baterai, desain processor yang bikin dia nggak cepat panas—semuanya dimodelkan dan dioptimalkan pake kalkulus. Perusahaan seperti yang punya ayahmu pasti punya tim analis yang menggunakan kalkulus untuk memprediksi tren pasar, mengoptimalkan rantai pasokan, dan meminimalkan kerugian. Mereka menghitung laju perubahan permintaan konsumen atau laju pertumbuhan investasi. Itu intinya."
Dia menatap Jessy, memastikan setiap kata meresap.
"Jadi, ketika kamu nanti harus membaca laporan keuangan perusahaan atau membuat strategi bisnis, kamu nggak cuma liat angkanya doang. Kamu bisa memahami cerita di balik angka-angka itu—kenapa grafiknya naik di sini, turun di sana, dan apa yang harus dilakukan untuk mengubahnya. Kamu nggak akan bisa memimpin dengan baik kalau cuma bisa ngitung uang di dompet. Kamu harus bisa membaca bahasa perubahan, dan bahasa itu," tekannya, mengetuk-ngetuk kertas soal itu, "adalah kalkulus."
Suasana di gazebo tiba-tiba berubah. Udara sore yang hangat terasa penuh dengan getaran baru. Jessy tidak lagi mencibir. Dia menatap kertas soal di depannya, lalu menatap Rayyan. Untuk pertama kalinya, simbol-simbol aneh itu tidak lagi terlihat seperti momok, tetapi seperti sebuah kunci—kunci untuk memahami dunia yang lebih besar, dan mungkin, kunci untuk lebih dekat dengan pria jenius di sampingnya.
Dia menarik kertas soal itu kembali ke depannya. "Oke," bisiknya, suaranya kecil namun terdengar sungguh-sungguh. "Aku coba."
Rayyan mengangguk pelan, sebuah perasaan aneh—bukan kemenangan, tapi sedikit kepuasan—mengalir di dadanya. Pertempuran hari ini mungkin belum selesai, tapi setidaknya, dia telah berhasil membuka sebuah celah kecil di benteng ketidaktertarikan Jessy.
kudu di pites ini si ibu Maryam