NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8. Bukan Seorang Raden Ayu

"Saya mengerti, Ndoro."

"Bagus." Soedarsono tersenyum lega. "Kau tidak akan cemburu, kan? Kau tetap istimewa bagiku. Yang lain hanya formalitas."

Pariyem tak termakan kata-kata itu meski tatapan Soedarsono begitu dalam. Ia sadar siapa dirinya hingga tak berharap tentang cinta. Meski begitu, ia tetap tersenyum manis.

"Oh ya," Soedarsono mengeluarkan sesuatu dari saku. "Ini untukmu."

Sebuah gelang emas dengan ukiran rumit dalam kantung sutra merah dengan sulaman bunga putih. Cantik dan mahal.

"Hadiah untuk apa ini, Ndoro?"

"Hadiah karena kau masih sabar denganku, Yem. Perempuan lain mana bisa sabar menghadapi perlakuan Ibu."

Soedarsono memasang gelang itu di tangan kanan Pariyem yang semakin langsing.

"Cantik," puji Soedarsono. "Cocok untukmu."

Dia mengangkat tangan Pariyem, mengecup punggung tangannya dengan lembut. Tangan lainnya merangkul erat pinggang Pariyem, menariknya mendekat hingga tubuh mereka menempel.

"Aku sebenarnya sudah tidak ingin menikah lagi, Yem," ucapnya dengan tatapan sendu. "Tapi Ibu memaksa karena itu tuntutan dari pemerintah kolonial."

Soedarsono menghela napas panjang. Dahinya bersandar di dahi Pariyem.

"Kadang aku lelah. Ingin menjadi rakyat biasa yang bisa menentukan hidupnya sendiri."

Pariyem menatap Soedarsono, melihat kelelahan di mata yang biasanya tegas itu. Ada kerutan halus di sudut matanya, garis-garis yang tidak ada setahun lalu.

"Mereka yang bangsawan ingin jadi rakyat jelata, yang rakyat jelata ingin jadi bangsawan. Hidup ini mung sawang sinawang, Ndoro." Pariyem berseloroh ringan, membuat Soedarsono tersenyum. "Nanti Ndoro tidak bisa makan enak kalau jadi rakyat jelata."

Soedarsono terkekeh, suara tawanya dalam dan hangat. Dia mengecup pipi istrinya. "Asal ada kau, rasanya tidak terlalu menakutkan. Kelaparan tapi bebas. Kau selalu bisa membuatku tertawa, kau bisa menghiburku kalau aku lapar."

Pariyem tersenyum tulus kali ini. "Jangan, Ndoro. Banyak orang memimpikan menjadi seperti Ndoro."

Soedarsono menghela napas panjang. Satu tangannya merengkuh wajah Pariyem, ibu jarinya membelai pipi yang yang semakin tirus.

Bau khas cerutu Belanda menguar dari pakaiannya, bercampur dengan wangi minyak cendana yang selalu melekat di tubuhnya.

"Beberapa hari ke depan aku tidak bisa ke sini, Yem," suaranya pelan, penuh penyesalan. "Banyak sekali yang harus dikerjakan. Persiapan pernikahan, urusan kadipaten, tamu-tamu dari kadipaten lain, aku harus menemani para sesepuh."

Jemarinya menyusuri garis rahang Pariyem.

"Agak sulit menemui jika kita tidak satu tempat tinggal. Ini saja aku mencuri waktu dari pesta di rumah Residen. Aku beralasan pamit lebih dulu pada Ibu, bilang perut tidak enak."

Tatapannya semakin dalam.

"Sepertinya aku jatuh cinta lagi. Aku terus merindukanmu, Yem.” Hening sejenak. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Sejak melihatmu di gerbang kemarin, aku terus mencoba ke sini. Tapi kegiatanku padat sampai malam. Kau tidak apa-apa sendirian?"

"Tidak apa-apa, Ndoro. Yang penting Ndoro tidak melupakan saya."

Soedarsono memeluk Pariyem erat-erat, seolah tidak ingin melepaskan. Mengecup puncak kepalanya, menghirup aroma minyak urang-aring dari rambutnya.

"Bagaimana bisa aku melupakanmu, Yem? Kau yang ada saat aku tak punya apa-apa lagi waktu itu. Kau berkah bagiku. Kau satu-satunya perempuanku yang melahirkan anak untukku. Kau membuat Ibu lebih tenang sekarang, lebih banyak tersenyum. Tidak ada lagi omongan buruk tentang aku yang tidak bisa punya anak."

Dia menarik napas dalam-dalam.

"Sepertinya Ibu mulai melunak. Dia bahkan memuji kulit Pram yang terang, mirip sepertimu. Bibirnya yang tipis, katanya menggemaskan."

Pariyem tertawa pelan di dada Soedarsono. Tawa yang getir.

"Ndoro, ibu saya dulu diperkosa majikan Tionghoa tempat suaminya bekerja. Suaminya nakal, ternyata punya banyak hutang untuk judi dan menghisap opium. Ibu yang jadi jaminan. Itu sebabnya kulit saya terang, membuat saya agak berbeda dengan saudara-saudara yang lain. Itulah betapa hinanya darah saya sehingga Kanjeng Ibu tidak sudi menerima."

Soedarsono berdecak. Tangannya mengangkat dagu Pariyem, memaksa mata mereka bertemu.

"Itu tidak penting bagiku, Yem. Kalau masalah perempuan cantik, aku bisa dapat banyak. Di mana saja. Putri bupati, putri saudagar, bahkan putri ningrat. Saudagar Tionghoa sering menyogokku dengan perempuan cantik untuk memuluskan izin dagang, tapi aku tidak mau."

Jemarinya menyusuri pipi Pariyem.

"Kecantikan hanya hiasan, Yem. Apa gunanya kalau mereka tidak mencintaiku seperti kau memujaku?"

Pariyem tersenyum, kali ini dengan mata berkaca-kaca, bohong kalau ia tak tersentuh. "Mari Ndoro, saya pijat. Ndoro pasti lelah."

"Tidak perlu." Soedarsono menggeleng. "Aku tidak terlalu lelah."

Tiba-tiba dia membopong Pariyem, mengangkatnya seperti tidak berbobot. Pariyem memekik pelan, terkejut. Tangannya sontak melingkar di leher Soedarsono.

"Aku merindukanmu," bisik Soedarsono di telinga istrinya. “Kau ringan sekali sekarang.”

Dia membawa Pariyem ke ranjang berukir naga, menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada kerinduan, hasrat, tapi juga sesuatu yang lebih dalam. Penyesalan? Rasa bersalah?

"Yem," bisiknya sambil membelai wajah istrinya. "Andai saja ...."

Dia tidak melanjutkan. Pariyem tahu apa yang tidak terucap. Andai saja kau ningrat. Andai saja Ibu menerimamu. Andai saja adat tidak sekaku ini.

Tapi andai tidak mengubah apa-apa. Malam itu, untuk pertama kalinya, Soedarsono mengungkung Pariyem dengan kelembutan yang berbeda. Tidak terburu-buru seperti melampiaskan hasrat semata.

Sampai akhirnya fajar mulai menyingsing, Soedarsono masih memeluk Pariyem erat. Tidak seperti biasanya yang tidur setelah puas.

"Aku harus pergi," bisiknya di rambut Pariyem.

"Saya tahu, Ndoro."

Tapi Soedarsono masih enggan melepaskan. "Yem ...."

"Sudah mulai terang, Ndoro.” Tatapan Pariyem berganti ke arah kisi-kisi jendela. “Awas nanti Ndoro terlambat."

Soedarsono bangkit dengan enggan. Pariyem membantunya mandi dan berpakaian. Di depan pintu kereta, Soedarsono berbalik sekali lagi.

"Jaga dirimu, Yem."

"Ndoro juga."

\~\~\~

Hari-hari berlalu dengan lebih cepat dari sebelumnya. Pariyem kini punya tujuan—secercah harapan yang membuatnya bangun setiap pagi dengan sedikit semangat.

Pesta pernikahan Soedarsono. Kesempatan satu-satunya untuk melihat Pramudya yang sekarang hampir berusia dua bulan.

Soedarsono datang lagi sepekan kemudian. Malam sudah larut ketika kereta berhenti di halaman. Pariyem yang belum tidur langsung bergegas keluar menyambut.

Begitu turun dari kereta, Pariyem langsung melihat perbedaan pada wajah suaminya. Kantung mata menghitam, bahu membungkuk lelah, langkah tidak setegap biasanya.

Beskap hitam dengan sulaman emas tampak sedikit kusut, hal yang sangat jarang terjadi pada pria yang sangat memperhatikan penampilan ini.

"Ndoro," sambut Pariyem sambil membungkuk dengan dua tangan membentuk sembah.

Soedarsono hanya mengangguk lemah. Tidak ada senyuman menawan seperti biasanya. Tidak ada sapaan manis. Dia langsung menggandengnya masuk ke paviliun, memeluknya erat begitu pintu tertutup.

Napasnya hangat di tengkuk, menghirup wangi khas yang dirindukannya. “Aku merindukanmu, Yem. Semua orang menuntutku dari segala arah. Ibu yang ingin ini itu. Pendukung yang meminta jatah posisi. Belanda yang mirip Ibu. Hanya kau yang tidak menuntutku ini itu.”

Pariyem tersenyum sedih, tak tahu harus berkomentar apa sebab tak tahu sama sekali tentang politik.

Ia bukan seorang raden ayu yang diberi pendidikan khusus sejak kecil agar siap menjadi istri seorang pejabat tinggi.

1
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!