Trauma masa lalu mengenai seorang pria membuat gadis yang awalnya lemah lembut berubah menjadi liar dan susah diatur. Moza menjadi gadis yang hidup dengan pergaulan bebas, apalagi setelah ibunya meninggal.
Adakah pria yang bisa mengobati trauma yang dialami Moza?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8 Putus Asa
1 minggu kemudian....
Moza menjalani aktivitas seperti biasa, tidak ada yang tahu jika Moza tinggal di kampus itu. Pulang kuliah dia akan bekerja di cafe, dan pulangnya dia akan ke kampus bersamaan dengan Mahasiswa yang masuk sore. Jadi tidak ada yang curiga jika Moza tinggal di kampus.
"Alhamdulillah, kenyangnya," gumam Moza yang bsru selesai makan nasi padang yang dia bawa sepulang kerja.
Menjelang maghrib, suasana mulai hening dan sepi. Moza duduk terdiam meratapi nasibnya sendiri, dia tidak mungkin terus-terusan tinggal di kampus ini. Tapi, pada saat Moza sedang melamun, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka membuat Moza kaget.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Sekuriti kampus.
"A---aku-----"
Moza gugup, dia tidak bisa menjawab sama sekali. Sekuriti itu memperhatikan tempat itu dengan seksama. "Kamu tinggal di sini?" tanya Sekuriti.
"I--iya."
"Siapa yang sudah mengizinkan kamu tinggal di sini?" tanyanya lagi.
Moza tidak bisa menjawab pertanyaan Sekuriti, dia tidak mau pengurus kampus mengalami masalah padahal dia dengan baiknya yang sudah mengizinkan tinggal di sana. Moza terdiam sembari menunduk, tangannya saling meremas satu sama lain karena tidak bisa menjawab pertanyaan Sekuriti. Sekuriti itu memperhatikan Moza dari atas hingga bawah, hingga mulailah muncul otak jahat.
"Saya akan laporkan kamu," ucap Sekuriti.
"Jangan Pak, aku mohon. Aku tidak punya tempat tinggal lagi," mohon Moza.
"Baiklah, saya tidak akan melaporkan kamu tapi dengan satu syarat," ucap Sekuriti dengan senyuman menyeringai.
Moza mengerutkan keningnya. "Maksud Bapak apa?" tanya Moza dengan penuh curiga.
Perlahan Sekuriti itu mendekati Moza, dan Moza memundurkan langkahnya. "Bapak mau apa?" tanya Moza panik.
"Saya tidak akan melaporkan kamu, asalkan kamu mau melayani saya," sahut Sekuriti.
Moza panik dan ketakutan, Sekuriti itu maksa Moza dan Moza berusaha melepaskan diri. "Tolooooonnngggg......!!" Moza berteriak.
"Tidak akan ada yang mendengar kamu."
Sekuriti itu terus saja memaksa Moza. Moza sudah menangis tapi sekuat tenaga, dia berusaha berontak. Hingga akhirnya Moza berhasil menendang sesuatu yang vital milik sekuriti itu. Sekuriti itu meringis kesakitan, Moza memanfaatkan kesempatan untuk kabur.
Secepat mungkin, Moza menyambar tas kecil dan ponselnya lalu kabur dari kampus itu. Sedangkan tas besar berisi baju ganti tidak Moza bawa, dia tidak peduli yang penting dia bisa kabur dari sekuriti gila itu. Lagi-lagi Moza harus mengalami hal yang memilukan dalam hidupnya.
Moza terus berlari keluar dari kampus itu, dia berlari tak tahu arah. Bahkan penglihatannya sudah buram dengan air mata yang terus berlinang di matanya. Setelah jauh dari kampus dan tidak ada yang mengejarnya, Moza pun berhenti dan duduk di pinggiran trotoar.
"Ya, Allah kenapa Engkau menguji diriku lagi? sekarang aku harus bagaimana?" ucap Moza dengan tangisannya.
Setelah cukup lama berdiam diri dan sedikit tenang, Moza pun melanjutkan perjalanannya. Dia bingung dan tidak tahu harus ke mana. Setelah cukup lama berjalan, dia pun sampai di jalan raya yang cukup ramai karena itu baru pukul 19.00 malam.
Moza melihat toko-toko dan restoran-restoran berjejer sepanjang jalan. Ada yang sedang pacaran, jalan-jalan, bahkan kumpul bersama keluarga mereka. Hati Moza kembali ngilu, sedangkan dirinya hanya sendirian tidak punya siapa-siapa yang bisa dijadikan sandaran.
Hingga, dia pun melewati sebuah restoran yang lumayan besar dan mewah. Moza berdiri di samping restoran itu sembari melihat ke dalam restoran. "Bagaimana rasanya makan di restoran? pasti makanannya enak-enak," batin Moza sedih.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil sedan hitam datang. Moza memperhatikan mobil itu, ternyata yang keluar dari mobil itu adalah Rahman, Diah, Eva, dan juga seorang anak kecil laki-laki yang diperkirakan berusia 5 tahun. Mereka masuk ke dalam restoran itu dengan suka cita tanpa mereka sadari ada seorang anak yang sengaja ditelantarkan dan saat ini dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
"Kalian bahagia sekali, bahkan kalian bangga sudah merebut Papa dari hidupku dan juga Mama," batin Moza sembari mengenalkan kedua tangannya.
Moza masih memperhatikan mereka, Rahman tampak sangat bahagia dan sakit hati Moza semakin memuncak. Cukup lama Moza berdiam diri, dia pun segera pergi dari sana dan berjalan menuju jembatan di depan sana. Tatapan Moza semakin kosong, saat ini dia sudah mulai putus asa. Dia sudah tidak kuat menjalani kehidupan yang terlalu kejam ini.
Moza berdiri di atas jembatan, dibawah air sungai mengalir dengan derasnya. "Aku capek, aku sudah tidak kuat menjalani hidup seperti ini lagi. Maafkan aku Ma, aku tidak bisa menjadi orang sukses, aku ingin susul Mama saja," ucap Moza dengan deraian air matanya.
Moza pun menyimpan tas kecil dan ponsel di bawah. Lalu perlahan, dia naik ke pembatas jembatan. Moza kembali terdiam, sebenarnya dia tidak mau melakukan itu tapi kali ini dia benar-benar sudah menyerah dengan keadaan.
"Maafkan aku ya, Allah bukanya aku tidak percaya akan pertolongan-Mu tapi aku sudah tidak bisa berpikir lagi, otakku sudah buntu," ucap Moza kembali.
Moza kembali menaiki pembatas jalan lebih tinggi lagi, dia sudah gelap mata. Sementara itu dari kejauhan, sepasang suami istri baru saja kembali dari Luar negeri setelah menikmati perjalanan panjang untuk bulan madu ke dua. "Sayang, itu perempuan kaya yang mau bunuh diri," tunjuk Laras.
"Iya, benar juga," sahut Rico.
"Buruan Sayang, kita tolong sebelum terlambat," ucap Laras.
Rico pun menancap gas dan menghentikan mobilnya di belakang Moza. Saking putus asanya dan pikiran Moza ke mana-mana, dia sampai tidak dengar ada mobil yang berhenti di belakang dia. "Mas, buruan tolong dia," bisik Laras.
"Diam, kamu jangan berisik." Rico pun mengendap-endap menghampiri Moza, lalu setelah dekat Rico narik tangan Moza membuat Moza terjatuh.
"Kamu mau apa?" tanya Rico.
Moza terlihat sangat marah, dia menghempaskan tangan Rico dan kembali naik ke pembatas sungai. Kali ini Laras yang tarik Moza. "Kamu mau bunuh diri? pikiran kamu sempit sekali!" bentak Laras.
"Kalian siapa? jangan ikut campur urusan aku! aku ingin mati karena aku sudah tidak bisa menjalani hidup yang memuakkan ini!'" teriak& Moza dengan deraian air matanya.
"Hai, kamu tidak boleh berkata seperti itu, kamu itu masih muda dan jalan kamu masih panjang," bujuk Laras.
"Rumah kamu di mana? biar kita antar kamu pulang," seru Rico.
Pada saat Moza ingin menjawab, tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan kedua pasangan suami istri muda itu tampak khawatir. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Moza jatuh pingsan.
"Astaga, dia pingsan," seru Rico.
"Ya, sudah kita bawa ke rumah kita aja dulu, kasihan dia," sahut Laras.
Akhirnya Laras dan Rico pun memutuskan untuk bawa Moza ke rumahnya.