Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan Pahit Yang Menggemaskan (Bagian 2)
Aku mengangguk pasrah. Belum selesai traumaku yang bertambah sekarang aku harus bertemu lagi sama orang pilihan Mama.
“Gue tuh sekarang udah kayak jadi event organizer buat harapan orang. Semua orang punya wishlist, dan itu: Meisya harus menikah tahun ini atau gagal jadi warga negara.”
Rahma makin ngakak, sampai hampir jatuh dari kursinya.
“Tapi beneran Sya, hidup lo lucu banget. Udah kayak tokoh utama drama komedi korea. Bedanya, soundtrack-nya lebih ke sinetron indosiar episode 978.”
Aku mulai nyengir sendiri.
“Ya Tuhan, Ma…gue lelah. Kenapa hidup orang lain umur 30 tuh udah tenang, punya pasangan, rumah minimalis, anak lucu-lucu… sementara gue, masih dilema antara beli diffuser atau beli kuota.”
Rahma menepuk pundakku.
“Karena, bestie tercinta, udah sering gue bilang, lo bukan cewek biasa. Lo adalah Meisya. Wanita kuat.yang bisa nangis karena denger suara orang nyebut ‘yacth’ dengan aksen bule palsu.”
Kami saling pandang. Lalu dua-duanya meledak ketawa absurd sampe Mbak-Mbak yang sebelah meja ngelirik aneh.
Dan hari ini aku sadar. Hidup ini memang harus dikeluhkan. Mengapa? Karena tanpa keluhan, bagaimana mungkin kita bisa tertawa sampai lupa air mata.
Dan Rahma? Dia bukan cuma sahabat, tetapi penyelamat mental yang selalu bisa bikin hidupku kayak sitkom…. yang kacau.
Yang konyol. Penuh tawa.
Kadang di tengah semesta yang suka bercanda, kita di kasih keajaiban. Walaupun kemaren di pertemukan dengan cowok narsis pilihan Tante Wira ataupun cowok yang belum move on pilihan Mas Tegar, Akhirnya aku dipertemukan dengan cowok pilihan Mama bernama Keanu yang kelihatan normal.
Cerita berawal dari chat Mama pasca kencan butaku bersama cowok yang di awalnya memberikan ku pandangan positif tapi berakhir dengan konsultan cinta ala wanita kurang pengalaman umur 30.
Setelah Mama memberikan nomor WhatsAppku ke anak temennya yang katanya cakep dan sopan, akhirnya siang itu saat aku tengah makan siang bersama Ana dan Mbak Sarah, sebuah pesan dari kontak yang tidak aku kenal muncul di layar Hp-ku, dia mengaku bernama KEANU.
Keanu:
“Hai Meisya. Salam kenal ya. Aku anak Tante Dina.”
Aku:
“Oh halo, salam kenal juga.”
Keanu:
“Kalau gak sibuk, aku mau ngajak kamu ngopi-ngopi santai. Kamu udah dapat spill-an dari Mama kamu kan?”
Oke. Dia mulai chat dengan cara Aku-kamu. Cara komunikasi yang sudah jarang aku temui beberapa tahun terakhir, karena rata-rata gaya Bahasa anak sekarang lo-gue.
Aku:
“Mamaku ada bilang soal anak temannya sih.”
Keanu:
“Great, Mama kamu bilang kamu suka baca, kebetulan kita punya hobi yang sama. Kita bisa ngobrol banyak soal itu.”
Aku:
“Well, boleh kalau gitu.”
Jujur saja cara Keanu komunikasi menurutku lumayan. Dia cukup sopan dan gak bertele-tele. Di tambah dia memberikan kesan sefrekuensi saat mengatakan kalau kami punya ketertarikan yang sama.
Aku akhirnya bertemu denganya, alasannya jelas selain merasa gak ada salahnya nambah relasi kutu buku satu sama lain, juga karena aku gak mau Mamaku jadi gelap hati dan bikin spanduk di perempatan jalan yang berbunyi,
“CARI JODOH UNTUK PUTRI TERCINTA, USIA 30 TAHU, MANDIRI, CANTIK DAN TIDAK NAKAL. TERTARIK BISA DAFTARKAN DIRI KE NOMOR DI BAWAH INI”.
Kan kacau. Bisa-bisa aku gak bisa tidur karena malu.
**
Hari H kencan.
Keanu datang… dan Oh-My-God.
Penampilannya cocok buat di jadikan standar cowok popular rebutan para remaja SMA yang baru puber.
Kulitnya bersih, rambut rapi kayak habis blow-dry, senyum manis, pakai coat semi-formal warna pastel dan sneaker putih yang lebih bersih dari hatiku waktu SD.
Aku langsung mikir,
‘INI DIA.’
‘HADIAH DARI SABARKU TERBAYAR LUNAS. BENAR-BENAR CALON PAK SUAMI. AKU RELA NERIMA HAK ASUH GELAS KACA DAN ALAT MASAK BRANDED.’
Obrolan ngalir, dia sopan, ngerti bounderis bahkan tau bedanya Virginia Woolf dan Taylor Swiff.
Yes, pengetahuannya multitasking.
Kita nonton film bareng—Keanu nggak nyebelin. Dia nggak nyuruh aku diem saat ketawa keras. Selesai nonton kami jalan ke taman dengan popcorn yang masih ada dalam pelukanku.
“Kamu lebih suka popcorn rasa keju atau caramel?”
“Aku bukan pecinta keju, tapi caramel agak kemanisan bagi mulutku yang pencinta boba ini. Ironis bukan?”
Dia tertawa.
“Apa kamu keberatan kalau kita jalan di taman begini? Aku suka jalan kaki, selain bagus untuk Kesehatan, itu juga cara terbaik untuk mengenal seseorang.”
Aku nyaris say “I do” di saat itu juga.
Tapi…
Karena aku anaknya curiga by nature, intuisi feminimku berkata:
“Tenang, jangan langsung ngeluarin nama buat kartu undangan. Ini terlalu mulus.”
Dan benar saja.
Momen itu datang…
Saat dia dengan excited membuka obrolan,
“Eh, kamu tau gak sih, aku tuh udah 3 tahun ini punya list skincare bareng sahabat cowok aku, Leon. Kita suka cocokin tone warna baju juga. Aku tuh kemarin sempat nangis kejeng pas Leon milih warna brick red buat nikahan dia, padahal itu ‘our color’. You get it, kan?”
Aku?
Nge-freeze.
Bukan karena kaget, tapi…
‘GUE BARU AJA DI AJAK KENCAN OLEH COWOK YANG LEBIH PANTAS JADI BRIDESMAID GUE?’
‘INI MAH BUKAN CALON LAKI TAPI CALON BESTIE.’
Selama satu jam berikutnya, aku denger Keanu cerita soal:
Warna pastel kesukaannya dan bagaimana warna itu gak cocok di Leon
Influencer cowok favoritnya di tiktok yang ngasih tips cara mix celana linen dengan vibes vintage aesthetic.
Cara bikin oatmilk versi homemade yang “lebih smooth dan spiritually fulfilling”.
Di ujung kencan, Keanu nyengir manis sambil berkata,
“Meisya, kamu tuh kayak soulmate. Tapi bukan soulmate yang hubungannya cewek sama cowok ya. Lebih kayak…kamu sahabat cewek yang aku cari. Pengertian dan nyambung banget!”
Me: setengah menangis
Sahabat.
Sahabat?
Aku pulang dengan make up masih on point, tapi hati off-track.
Mama nelpon:
“Gimana sayang? Keanu cocok kan buat kamu?”
“Cocok banget Mah, tapi kayaknya lebih cocok jadi maid of honor daripada calon mantu.”
“Gimana maksudnya? Kamu ya Mei, Mama udah bilang untuk jangan terlalu pilih-pilih.”
“Gak Mah, walaupun aku gak milih, dia juga gak bakal milih aku.”
“Ya sudah, mungkin belum cocok.”
“Udah ya Mah, aku mau break dulu dari perjodohan Mama.”
Mama gak menjawab. Menutup telpon.
Dan begitulah. Kencan dengan Keanu yang awalnya penuh harapan jadi masa depan, malah jadi momen dimana aku sadar,
‘Semesta mungkin dengar do’aku. Tapi dia punya selera humor sendiri.’
Aku Cuma bisa senyum getir sambil menyeruput boba dan mikir,
‘Yah, bestie baru juga rezeki kan ya? Meskipun… bukan itu yang kupesan dari doa Panjangku.’
Malam itu aku pulang dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Antara ingin menangis, ingin terawa atau ingin pindah dimensi dan jadi plankton.
Karena kenyaatan yang menamparku.
Cowok yang kupikir calon suami ideal…
Eh malah idealis banget buat jadi teman arisan dan bikin konten “bestie challenge” di tiktok.
**
Sesampainya di rumah, aku langsung rebahan ala mayat hidp di kasur sambil nge-chat Rahma, sahabat paling gak tahu waktu yang selalu merasa hidupku adalah reality show pribadi dia.
Meisya: “Ma, gue gagal lagi.”
Rahma: “GAGAL APA LAGI NIH MOGE? (Mama ogah gentanyangan)
Meisya: “Kencan sama Keanu…”
Rahma: “Yang katanya wajah mirip Jaehyun NCT ketemu Jungkook BTS?!”
Meisya: “Iya, tapi ternyata jiwanya kayak Jenni Black Pink di padu dengan Denny Caknan.”
Rahma: “Wha-???”
Akhirnya, karena gak sanggup menjelaskan dalam bentuk tulisan, aku video call Rahma sambil menelungkup di kasur posisi kepala ke bawah kayak ayam terbalik.
Dia angkat. Muka buluk, rambut di cepol ke atas, dan tangan masih pegang sendok nasi goreng seafood yang terlalu banyak udangnya tapi gak ada nasinya.
“Ceritain dari awal, anak muda. Ini pasti lebih seru dari sinetron jam lima sore,” kata Rahma sambil mengunyah udang dan menghancurkan mood seriusku.
Aku menghela nafas Panjang. “Ma, sumpah…awalnya tuh indah banget. Dia sopan, ganteng, putih. Kayak bintang drama Korea tapi yang bukan main di episode awal terus mati. Dia tuh karakter Utama, Ma!”.
Rahma mengangguk-angguk dramatis. “Oke, oke, lanjut. Gue udah nyiapin soundtrack galau nih.”
“Terus dia kalau di ajak ngobrol tuh nyambung banget. Nonton film, jalan-jalan ke taman. Dia bahkan ngerti konsep bounderies, Ma. Dia nggak nyentuh sembarangan…”
“Karena dia pengen ngereview nail art lo kali,” sela Rahma dengan polos dan tanpa dosa.
Aku pura-pura nggak denger. “… sampe akhirnya dia cerita soal sahabat cowoknya. Mereka punya list skincare bareng, Ma. Dan dia nangis karena warna baju nikahan sahabatnya itu warna kesukaan mereka berdua. DIA NANGIS KARENA WARNA BAJU. GUE NANGIS KARENA HUBUNGAN KITA.”
Rahma langsung batuk. “APA DIA NANGIS KARENA COLOR PALETTE??”
“Astaga, Ma. Dia bahkan ngasih tips soal eksfoliasi kulit kombinasi. Gue udah exiced, eh taunya gue di-friendzone dengan label ‘soulmate sahabat cewek’. HAH. GUE CARI PAK SU BUKAN PAK SALON.”
Rahma sudah tertawa kayak kesurupan. Tangannya sampai ngelempar sendok ke lantai.
“Meisya… lo tuh kaya… penyedot cowok absurd dari berbagai gendre. Astaga, satu flexing, yang kedua gamon dan sekarang kandidat beauty influencer.”
Aku diam sejenak. Lalu pelan-pelan, sebuah kalimat absurd keluar dari mulutku.
“…Apa gue terlalu hetero buat hidup ini, Ma?”
Rahma ngakak. “Enggak, lo Cuma terlalu realistis buat drama hidup lo sendiri.”
Aku duduk sambil menyeruput boba sisa sore tadi yang sudah hambar. Tapi saking stresnya, aku salah ambil toping. Ku kira boba, eh ternyata nata de coco.
Rasannya kayak hidup: licin, kenyal dan bikin tersedak di waktu yang salah.
“Gue tuh pengen banget segera dapat calon imam,” curhatku dramatis, “tapi bukan yang kaya Keanu. Dia terlalu sempurna dan itu mencurigakan. Intuisi gue ternyata benar. Lama-lama gue merasa gue bukan lagi kencan, tapi di soft lauching gender baru.”
Rahma mengangguk. “Iya, iya. Kalau ada cowok terlalu bersih, terlalu wangi dan terlalu matching bajunya… itu pertanda, Sya. Bukan jodoh. Itu competitor lo di Shopee Haul!”
Kami diam beberapa saat. Aku menyeruput minuman lagi sambil sesekali mendesah kayak sinetron yang habis dimiskinkan dalam semalam.
Rahma tiba-tiba berkata, “Tapi Sya… sebenernya lo tu nggak salah. Lo tu kayak...boba dalam kopi. Manis, kenyal, unik… tapi kalau ketemu sama yang salah, ya cuma bakal nyangkut di sedotan.”
Aku menatapnya, ingin terharu…
Tapi dia menutup kalimat itu dengan,
“… atau malah ditelan tanpa sadar dan nyangkut di tenggorokan. Terus dicekik sambil batuk, kayak kisah cinta yang lo alami.”
AKU.
TERJEBAK.
DALAM PUISI ABSURD.
“Ma, bener deh. Besok kalau gue nikah, lo gak boleh bikin speech.”
Rahma nyengir puas. “Gue gak bakal speech, gue bakal nyanyi. Pake autotune. Dan pake remix dangdut EDM.”
Akhirnya aku rebahan lagi.
Rahma masih nyanyi gak jelas, tapi aku tersenyum.
Karena di tengah-tengah kekacauan dan kencan-kencan absurd itu…
Punya sahabat kayak Rahma adalah penyelamat mental--- sekaligus sumber kerusakan otak.
**