NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teruslah Melawan, Hingga Menyerah

Pagi itu, aroma kopi hitam memenuhi ruang tamu rumah tua Marcellis. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ada secercah keceriaan di dalam rumah itu. Semua berkat Sophia Lane.

Gadis berambut pirang itu duduk di kursi kayu sambil menuangkan kopi ke cangkir Elena. Senyum manisnya berusaha menutupi kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya.

“Minum ini,” katanya lembut. “Setidaknya biar tubuhmu tidak terlalu lemah.”

Elena mengangguk, menerima cangkir itu dengan tangan bergetar. Ia menyesap perlahan, merasakan pahitnya kopi bercampur dengan keletihan yang menumpuk. “Terima kasih, Soph. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa kau di sini.”

Sophia menepuk tangan sahabatnya. “Kau tidak sendiri. Aku akan selalu ada, apa pun yang terjadi.”

Elena menunduk, air matanya hampir jatuh lagi. Ia ingin percaya kata-kata itu. Namun bayangan Adrian terus menghantui pikirannya, bahkan di pagi yang tenang seperti ini.

....

“Dengar,” Sophia melanjutkan, suaranya lebih tegas. “Aku sudah bicara dengan pamanku. Dia punya kenalan di sebuah perusahaan jasa kebersihan. Mereka selalu butuh orang baru. Aku bisa merekomendasikanmu.”

Mata Elena sedikit berbinar, tapi cepat padam. “Apa kau yakin mereka akan menerimaku?”

Sophia menggenggam tangannya erat. “Aku akan pastikan. Tidak semua orang di kota ini bisa dibeli oleh Adrian Valtieri.”

Nama itu membuat Elena tercekat. Jantungnya berdetak kencang hanya mendengarnya. “Soph… aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa melawan. Rasanya semua pintu sudah dia kunci.”

Sophia menatapnya tajam, penuh keyakinan. “Maka kita akan mencari celah. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh ke tangannya begitu saja.”

Elena menggenggam tangan Sophia balik, merasa sedikit hangat untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu dilanda dingin.

....

Beberapa hari kemudian, Elena benar-benar datang ke kantor perusahaan jasa kebersihan yang direkomendasikan Sophia. Bangunannya tidak megah, hanya gedung sederhana dengan papan nama yang mulai pudar.

Seorang pria ramah menyambutnya di resepsionis. Ia membaca surat lamaran Elena dengan saksama, lalu menatapnya dengan senyum tipis. “Kami bisa memberi Anda kesempatan percobaan seminggu. Jika kinerja Anda baik, kami akan jadikan karyawan tetap.”

Elena hampir tidak percaya. Air matanya menggenang, tapi kali ini bukan karena putus asa, melainkan lega. Ia menunduk dalam-dalam.

“Terima kasih… terima kasih banyak.”

Saat keluar dari kantor itu, ia menelpon Sophia dengan suara bergetar bahagia. “Soph! Mereka menerimaku. Aku mulai minggu depan.”

Suara Sophia terdengar girang dari seberang. “Aku tahu kau bisa! Lihat? Tidak semua pintu tertutup.”

Elena tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Senyum yang tulus, meski samar. Ia berjalan pulang dengan langkah lebih ringan, seolah beban di bahunya sedikit terangkat.

Namun…

Di kejauhan, di dalam mobil hitam yang terparkir diam di sisi jalan, Adrian Valtieri menyaksikan semua itu.

Ia duduk bersandar di kursi kulit, jari-jarinya mengetuk pelan setir mobil. Senyum samar muncul di bibirnya, bukan karena terkejut, melainkan karena ia sudah tahu apa yang terjadi bahkan sebelum Elena menyadarinya.

Perusahaan jasa kebersihan itu milik Damian Cross, sahabatnya sekaligus tangan kanannya di bisnis gelap.

Adrian menghirup napas panjang, matanya tak lepas dari sosok Elena yang berjalan dengan semangat baru. “Kau pikir kau bebas, Elena…” gumamnya pelan. “Padahal setiap langkahmu tetap dalam genggamanku.”

Mobil itu melaju perlahan, mengikuti dari jauh, tak pernah benar-benar meninggalkan Elena sendirian.

....

Hari pertama kerja.

Elena berdiri di depan cermin kecil kamar mandi perusahaan, mengenakan seragam abu-abu sederhana dengan logo perusahaan jasa kebersihan di dada. Seragam itu bukan pakaian impian, jauh dari gaun elegan yang dulu sering ia lihat dipakai ibunya, tapi ada rasa bangga kecil di hatinya.

Untuk pertama kali setelah semua pintu tertutup, satu pintu terbuka.

Ia menatap pantulan wajahnya. Masih pucat, masih lelah, tapi di balik matanya ada secercah semangat baru. Ia menghela napas dalam, lalu keluar dengan map beserta catatan kecil di tangan.

Hari-hari awal terasa berat. Elena harus menyapu koridor panjang, membersihkan debu di meja-meja kantor, mencuci kaca besar yang memantulkan langit kota. Tangannya perih, punggungnya nyeri, tapi setiap kali rasa lelah datang, ia mengingat wajah ayahnya di rumah.

Papa… ini untukmu.

Sophia sesekali menelpon, menanyakan kabar. Elena selalu menjawab dengan senyum yang dipaksakan, tapi kali ini senyum itu lebih tulus. “Aku baik-baik saja, Soph. Aku bahkan merasa… sedikit lebih bebas.”

Namun ia tidak tahu, kata “bebas” itu hanyalah ilusi.

Pada hari ketiga, Elena mendapat tugas membersihkan salah satu apartemen mewah di pusat kota. Bangunannya menjulang tinggi, dinding kacanya berkilau di bawah matahari sore.

Saat ia masuk ke dalam apartemen, jantungnya berdebar. Furniturnya mahal, lukisan-lukisan modern tergantung di dinding, aroma parfum maskulin samar mengisi udara.

Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, menyapu, mengepel, membersihkan kaca. Namun rasa tidak nyaman perlahan merayap. Ada sesuatu di tempat itu yang terasa… salah.

Ketika ia sedang membersihkan meja, suara pintu terbuka membuatnya terlonjak. Seorang pria muda masuk, mengenakan jas mahal, dengan tatapan licik yang langsung membuat Elena ingin mundur.

“Ah… jadi ini pegawai baru itu,” katanya sambil menyeringai. “Lebih cantik dari yang kubayangkan.”

Elena menegang, tangannya memegang erat kain lap. “Saya hanya bertugas membersihkan, Tuan. Jika tidak keberatan, izinkan saya menyelesaikan pekerjaan.”

Pria itu mendekat, langkahnya malas tapi penuh maksud. “Tenang saja. Aku tidak akan mengganggumu… terlalu banyak.”

Jantung Elena berdetak panik. Ia melangkah mundur, tubuhnya bergetar. “Tolong, jangan…”

Pria itu semakin dekat, tangannya terulur.

Dalam sekejap, Elena meraih vas kaca di meja samping dan menghantamkan ke kepalanya. Vas itu pecah, pria itu terhuyung jatuh dengan darah mengalir di pelipisnya.

Elena terengah, tubuhnya gemetar. “Ya Tuhan…” bisiknya, lalu berlari keluar dari apartemen.

Namun langkahnya terhenti ketika dua petugas keamanan gedung menghadangnya di koridor. “Nona, Anda ditahan. Anda dituduh melakukan penyerangan dan pencurian.”

Elena membeku. Dunia di sekelilingnya runtuh lagi. “Tidak! Aku tidak mencuri apa pun! Dia yang ... Dia yang mencoba…”

Tapi tidak ada yang mau mendengar. Tangannya ditangkap, catatannya terjatuh ke lantai.

Beberapa jam kemudian, Elena duduk di kursi keras kantor polisi, wajahnya pucat, matanya merah. Ia memeluk dirinya sendiri, gemetar.

Semuanya berakhir. Aku akan dipenjara. Papa… apa yang harus kulakukan?

Suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Seorang pria masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya berkilau di bawah cahaya lampu.

Adrian Valtieri.

Ia berdiri tegap, menatap Elena yang ketakutan. Matanya kelam, namun ada api aneh di dalamnya—obsesi yang membakar.

“Keluar,” katanya singkat pada petugas.

Polisi yang semula ingin menahan Elena tiba-tiba diam, lalu mengangguk patuh. Dalam hitungan menit, tuduhan itu hilang begitu saja, seolah tidak pernah ada.

Elena menatap Adrian dengan campuran ketakutan dan kelegaan. “Kau… yang melakukannya?”

Adrian mendekat, menunduk agar wajahnya sejajar dengan Elena. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan beracun. “Aku sudah bilang, Elena… kau hanya punya aku. Dan hari ini, aku baru saja menyelamatkanmu dari dunia yang lebih kejam dariku.”

Elena menahan napas, tubuhnya bergetar. Untuk pertama kalinya, ia sadar. Bukan hanya hidupnya yang ada di tangan Adrian, tapi juga kebebasannya.

Dan Adrian tahu betul bagaimana membuatnya tidak bisa lari.

.....

Langkah kaki Elena terdengar tergesa di lorong kantor polisi yang sunyi. Petugas yang tadi menginterogasinya kini hanya menunduk, seolah keberadaan Adrian cukup untuk membuat semua tuduhan lenyap.

Di luar gedung, udara malam menusuk kulit. Lampu jalan memantulkan cahaya pucat di genangan air hujan. Elena berdiri terhuyung, tubuhnya masih gemetar akibat kejadian di apartemen.

Adrian berjalan di belakangnya, tenang, jas hitamnya nyaris tak tersentuh noda. Seakan-akan ia bukan baru saja masuk ke kantor polisi untuk membungkam kasus, melainkan sekadar keluar dari rapat bisnis biasa.

“Elena." Suaranya memecah keheningan.

Elena berbalik cepat, matanya berair, wajahnya dipenuhi amarah. “Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau selalu muncul setiap kali aku mencoba berdiri sendiri?”

Adrian berhenti, menatapnya lama. Tatapannya tak tergoyahkan, mata kelam itu dalam, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa disentuh.

“Karena kau selalu gagal tanpa aku.”

Elena terisak, mengepalkan tangan. “Aku tidak butuh kau. Aku hanya ingin hidupku kembali!”

Adrian melangkah maju, mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Hidupmu, Elena, sudah lama bukan milikmu. Semua pintu di kota ini bisa kututup dengan satu panggilan telepon. Dan hari ini kau lihat sendiri… hanya aku yang bisa membukanya kembali.”

Elena terdiam, napasnya terputus-putus. Kata-kata itu menusuk hatinya, tapi di balik amarah, ada kebenaran pahit yang tak bisa ia sangkal.

Adrian menunduk sedikit, suaranya melembut, namun tetap berbahaya. “Dunia ini tidak pernah adil. Jika aku tidak datang malam ini, kau sudah dipenjara. Dan percayalah, penjara lebih kejam daripada aku.”

Elena menelan ludah, matanya kabur oleh air mata. Ia ingin berteriak, ingin menolak, tapi tubuhnya gemetar. Sebagian dirinya takut, sebagian lagi, entah kenapa, merasa aman karena pria itu berdiri di sana.

Adrian memperhatikan wajahnya lama, lalu menarik napas dalam. “Pulanglah, Elena. Jaga ayahmu. Biarkan sisanya menjadi urusanku.”

Pria itu berbalik, melangkah ke mobil hitamnya.

Elena berdiri mematung, hatinya berperang. Marah, takut, lega—semuanya bercampur jadi satu. Ia membenci kenyataan bahwa ia mulai melihat Adrian bukan hanya sebagai monster, tapi juga… penyelamat yang kelam.

Malam itu, ketika akhirnya tiba di rumah, Elena mendapati ayahnya masih terlelap di sofa. Ia menutup pintu perlahan, lalu bersandar di dinding, menekan wajahnya dengan kedua tangan.

Air mata jatuh lagi, bukan hanya karena takut… tapi karena ia benci dirinya sendiri yang tidak bisa menghapus tatapan Adrian dari pikirannya.

Tatapan yang begitu menakutkan… sekaligus begitu menguasai.

“Elena…” Ia berbisik pada dirinya sendiri, seolah menegur hatinya yang mulai goyah. “Jangan… jangan biarkan dia masuk lebih jauh.”

Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa Adrian sudah mulai menancapkan jejaknya, dan setiap kali ia mencoba melawan, jejak itu semakin dalam.

Di sisi lain kota, Adrian duduk di ruang pribadinya di Petunia Hill. Ia melepaskan jasnya, menyalakan lampu kecil, lalu menuangkan segelas wine.

Ia teringat wajah Elena di kantor polisi. Pucat, gemetar, tapi matanya menyala dengan perlawanan yang putus asa. Perlawanan itu membuat darahnya berdesir.

Dia menyandarkan kepala, menutup mata.

Bibirnya melengkung samar. “Teruslah melawan, Elena… karena semakin keras kau melawan, semakin manis saat akhirnya kau menyerah.”

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!