Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
“Ya Tuhan, jantungku hampir copot tadi! Rasanya aku bisa pipis di celana, Dasha! Kenapa sih kamu harus naik lift itu, dan malah menyeret aku juga!” gerutu Sera sambil mereka keluar dari gedung.
“Ada apa memangnya dengan naik lift?” tanya Dasha kebingungan.
“Tidak ada yang salah naik lift! Tapi yang salah adalah naik lift bersama sang direktur!” Sera memutar matanya dramatis.
“Hah?” Dasha makin tidak paham.
“Kamu tidak tahu, ya? Kalau dia sudah di dalam lift, tidak ada satu pun karyawan yang boleh ikut naik! Untung kita tidak dimarahi di tempat tadi. Tapi aku juga heran kenapa dia diam saja. Astaga... jangan-jangan besok kita langsung dipecat? Semoga tidak!”
“Begitu, ya?”
“Iya, begitu Dasha!”
“Aku akan bicara dengan bos hari Senin nanti untuk minta maaf. Aku akan bilang kalau aku benar-benar tidak tahu, dan aku yang menyeretmu masuk.”
“Semoga beruntung ya dengan rencanamu itu, Dasha,” ucap Sera cemas.
Dasha hanya tersenyum miris.
Semoga saja ia benar-benar beruntung, pikirnya. Kalau tidak, siap-siap saja ia disemprot si Issa.
**
Mereka tiba di rumah dan melakukan rutinitas seperti biasa.
Telepon Dasha berdering, dan suara mungil anak perempuannya menyambut, “Mima!”
“Hallo, putriku. Kalian sudah beres semuanya?”
“Sudah, Mima. PR juga sudah kami selesaikan. Tahu nggak? Kak Leo minta maaf ke temanku yang tadi dia marahi, makanya aku kasih dia ciuman besar di pipi!”
Dasha tersenyum. Ia tahu anak lelakinya itu keras kepala, tapi kalau sudah menyangkut adik kembarnya, Leo bisa menelan harga dirinya demi Lea. Ia bersyukur anak-anaknya tumbuh saling menyayangi, meski ia tak bisa memberikan semua yang layak mereka miliki.
“Mima, aku kangen wajah Mima,” rengek Lea manja.
“Kalian akan lihat wajah Mima lagi lewat layar nanti, Sayang. Mima akan belikan iPad untuk kalian berdua, dan Paman Levi akan mengantarkannya.”
“Benarkah, Mima?!” seru Lea girang.
“Benar, Sayang.” Dasha bahkan mendengar Lea berteriak “yeay!” sambil mungkin meloncat-loncat di atas ranjang. Ia tertawa, sudah tahu betul tingkah si kecil itu kalau sedang bahagia.
“Mima, kenapa Lea teriak-teriak dan lompat-lompat?” tanya Leo dengan nada jengkel di ujung telepon, rupanya sudah merebut ponsel dari adiknya.
“Mima akan belikan iPad supaya kita bisa video call. Mima kangen wajah kalian.”
“Apakah mahal, Mima?”
“Jangan khawatir, tidak kok, Sayang.”
“Baik, Mima,” jawabnya singkat tapi lembut.
“Mima di sana baik-baik saja? Makan teratur? Tidur cukup?” tanya Leo kemudian.
“Iya, Mima tahu kamu akan marah kalau tidak,” jawab Dasha bercanda.
“Mima!”
“Iya, iya, Kak. Kamu nggak kangen wajah Mima?” rayu Dasha.
“Kangen sih... tapi aku takut Mima mengorbankan sesuatu hanya demi ipad itu.”
“Tenang saja. Tante Sera akan meminjami Mima besok. Dan Mima janji beli yang murah saja.”
“Baik, Mima. Janji ya!”
“Iya, Nak. Sudah malam, kalian harus tidur. Jangan begadang.”
“Mima juga harus istirahat ya,” kata Leo sebelum menutup telepon. Dasha sempat mendengar mereka berdua berkata selamat malam dan “I love you” sebelum sambungan terputus.
**
“Temanmu ini ternyata lumayan bergaya juga” bisik Sera dari kursi belakang.
“Sahabat,” potong Levi dari kursi kemudi.
“Permisi? Aku sahabatnya, iya kan Dasha?” balas Sera, melirik ke depan.
Mereka bertiga sedang di mobil Levi, menuju Mall. Levi menjemput jauh lebih awal dari yang Dasha perkirakan, jadi ia dan Sera terburu-buru berangkat tanpa sempat sarapan.
“Bisakah kalian berdua jadi sahabatku sekaligus?” kata Dasha sambil menyandarkan kepala di kursi depan. “Kamu sahabat laki-lakiku,” ujarnya pada Levi yang sedang menyetir, “dan kamu sahabat perempuanku,” lanjutnya ke Sera.
Keduanya diam. Tapi Dasha bisa merasakan aura saling sikut di antara mereka. Ia hanya bisa menggeleng. Kadang ia merasa Leo lebih dewasa daripada dua orang ini.
“Macet banget di Roma. Menyebalkan,” keluh Levi.
“Jadi kaya raya tidak menjauhkanmu dari kemacetan, ya,” celetuk Sera, cukup keras untuk terdengar.
“Apa masalahmu, perempuan?”
Sera menirukan nada Levi, “Apa masalahmu, perempuan?”
Levi melotot, tapi Dasha langsung menegur, “Cukup, kalian berdua! Mau kutabrakkan kepala kalian nanti.”
Ia berharap mereka bisa lebih akur ke depannya, karena ia tahu, dua orang inilah yang akan jadi bagian penting hidupnya.
