Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERTEMU PAK GANES - MENTOR BIJAK
Sabtu malam. Shift di warung lebih lama dari biasanya karena hari libur dan pengunjung membludak. Fajar baru selesai jam sebelas malam—dua jam lebih lama dari biasanya. Tapi Mbok Jumi memberinya bonus sepuluh ribu rupiah untuk kerja ekstra. Fajar sangat bersyukur.
Ia mengayuh sepeda tuanya pulang ke kos dengan tubuh sangat lelah. Tangan kasarnya lecet-lecet karena mencuci ratusan piring tanpa henti. Punggungnya pegal luar biasa. Matanya hampir tertutup karena mengantuk.
Jalanan sudah sepi. Hanya lampu jalan yang redup menerangi gang-gang kecil menuju kosnya. Sesekali motor lewat dengan kencang, membuat Fajar harus minggir ke pinggir agar tidak tertabrak.
Di persimpangan menuju gang kosnya, Fajar melihat seseorang di bawah lampu jalan yang redup. Seorang laki-laki tua duduk di atas becak yang sudah sangat tua—cat hijaunya mengelupas, sadel sobek, roda berkarat. Laki-laki itu sedang makan nasi bungkus di atas jok becaknya, sendirian.
Fajar mengenali sosok itu. Pak Ganes—tukang becak yang sering mangkal di sekitar terminal. Fajar pernah beberapa kali melihatnya mengantar penumpang dengan senyum ramah meskipun tubuhnya sudah tua.
Ada sesuatu yang membuat Fajar berhenti. Mungkin karena ia melihat dirinya di sosok itu—sama-sama sendirian, sama-sama berjuang keras, sama-sama makan malam larut dengan makanan seadanya.
"Selamat malam, Pak," sapa Fajar sambil turun dari sepedanya.
Pak Ganes mendongak. Wajahnya keriput penuh dengan guratan pengalaman hidup. Kulitnya gelap karena sering terbakar matahari. Tapi matanya—matanya masih berbinar dengan kehangatan yang aneh, seolah penderitaan tidak pernah benar-benar membunuh semangatnya.
"Eh, malam, Nak," jawab Pak Ganes dengan senyum ramah. "Pulang kerja?"
"Iya, Pak. Baru selesai shift di warung." Fajar berdiri di samping becak, tidak tahu harus ngapain tapi merasa tidak enak kalau langsung pergi.
"Wah, kerja keras ya. Jam segini baru pulang. Capek pasti," kata Pak Ganes sambil mengunyah nasi bungkusnya—isinya hanya nasi putih dan tempe goreng. Sangat sederhana.
"Lumayan capek, Pak. Tapi... alhamdulillah masih dikasih kesehatan untuk kerja." Fajar tersenyum tipis.
Pak Ganes menatap Fajar lebih lama. Matanya seolah membaca sesuatu.
"Anak kuliah ya?"
"Iya, Pak. Universitas Adidaya."
"Wah, kampus bagus. Pasti biaya mahal," kata Pak Ganes sambil mengangguk-angguk.
"Dapat beasiswa, Pak. Tapi... biaya hidup harus tanggung sendiri. Makanya kerja sambil kuliah."
Pak Ganes tersenyum—bukan senyum kasihan, tapi senyum penuh pengertian. "Sama kayak Bapak dulu, Nak. Bapak dulu juga kuliah sambil kerja macam-macam. Jadi kuli bangunan, jadi tukang cuci motor, jadi apa aja yang halal. Akhirnya lulus juga, meski telat dua tahun dari temen-temen."
Fajar tertegun. "Bapak... kuliah?"
"Iya. Sarjana Ekonomi dari Universitas Negeri," jawab Pak Ganes dengan nada ringan, seolah itu bukan hal yang luar biasa. "Tapi ya... hidup nggak selalu sesuai ijazah, Nak. Dulu Bapak sempat sukses, punya usaha. Tapi ditipu partner, bangkrut total. Akhirnya ya... balik dari nol lagi. Jadi tukang becak untuk bertahan."
Fajar merasa dadanya sesak. Sarjana ekonomi yang dulu sukses, sekarang jadi tukang becak. Dan yang lebih mencengangkan—tidak ada kepahitan di suara Pak Ganes. Tidak ada penyesalan. Hanya... penerimaan yang damai.
"Bapak... nggak menyesal kuliah?" tanya Fajar hati-hati.
"Menyesal? Nggak sama sekali," jawab Pak Ganes sambil tersenyum lebar. "Kuliah itu nggak cuma soal ijazah, Nak. Kuliah itu soal ilmu, soal cara berpikir, soal jaringan, soal pengalaman. Semua itu berguna sampai sekarang. Meski Bapak sekarang cuma tukang becak, tapi Bapak ngerti cara kelola keuangan, cara negosiasi sama penumpang, cara baca situasi ekonomi. Itu semua dari ilmu dulu."
Fajar terdiam. Ada wisdom yang sangat dalam di kata-kata Pak Ganes—wisdom yang tidak bisa didapat dari buku atau kuliah.
"Bapak pernah bilang ke diri sendiri," lanjut Pak Ganes sambil menatap langit malam yang gelap, "yang penting bukan dari mana kita mulai, Nak. Tapi seberapa ikhlas kita berjalan. Bapak mulai dari bawah, terus naik, terus jatuh lagi ke bawah. Dan sekarang Bapak mulai dari bawah lagi. Tapi Bapak nggak pernah berhenti berjalan. Karena berhenti itu artinya mati."
Kata-kata itu menohok Fajar sampai ke inti jiwanya.
"Kamu anak yang baik, Nak," kata Pak Ganes sambil menatap Fajar dengan tatapan hangat—tatapan seorang ayah. "Bapak lihat di matamu, kamu lagi berjuang berat. Tapi kamu masih berdiri. Masih melangkah. Itu sudah hebat. Kebanyakan orang di posisimu udah menyerah duluan."
"Kadang... kadang aku pengen menyerah, Pak," kata Fajar jujur. Suaranya bergetar. "Kadang aku merasa... aku nggak cukup kuat. Setiap hari direndahkan, dihina, diremehkan. Kadang aku mikir, apa gunanya bertahan kalau dunia terus nginjak-injak aku."
Pak Ganes turun dari becaknya, berdiri tepat di hadapan Fajar. Tingginya hampir sama dengan Fajar—169 cm. Matanya menatap lurus ke mata Fajar.
"Dengar, Nak," katanya dengan suara lembut tapi tegas. "Direndahkan itu memang sakit. Bapak tahu. Bapak pernah di posisi atas, terus jatuh ke bawah, direndahkan habis-habisan. Dulu temen-temen Bapak yang sering minta tolong, begitu Bapak bangkrut, mereka pada minggat. Malah ada yang ngatain: 'Sarjana kok jadi tukang becak, memalukan.'"
Fajar merasakan matanya panas.
"Tapi kamu tahu yang Bapak pelajari?" lanjut Pak Ganes sambil tersenyum. "Orang yang merendahkan kita itu sebenarnya guru terbaik kita. Mereka ngajarin kita untuk makin kuat. Mereka ngajarin kita bahwa approval dari orang lain itu nggak penting. Yang penting adalah kita tetap berjalan dengan hati yang ikhlas."
"Tapi... tapi susah, Pak," bisik Fajar. "Susah untuk tetap ikhlas kalau setiap hari disakiti."
"Makanya harus dilatih, Nak." Pak Ganes menepuk bahu Fajar lembut. "Hati yang ikhlas itu nggak tumbuh sendiri. Harus dilatih. Dipaksa. Setiap kali ada yang ngerendahin kamu, kamu bilang ke diri sendiri: 'Mereka nggak tahu perjuanganku. Mereka nggak tahu mimpi-mimpiku. Mereka cuma lihat luarku. Tapi aku tahu siapa aku sebenarnya.'"
Fajar merasakan air matanya mulai jatuh. Ia tidak bisa menahannya lagi.
"Nangis itu nggak apa-apa, Nak," kata Pak Ganes dengan suara sangat lembut. "Nangis itu tandanya kamu masih punya hati. Yang bahaya itu kalau kamu nggak bisa nangis lagi—itu artinya hatimu udah mati. Nangis sepuasnya, tapi besok bangun lagi dan lanjutkan perjuangan."
Fajar menangis. Di tengah jalan yang sepi, di bawah lampu jalan yang redup, ditemani tukang becak tua yang baru saja ia kenal, ia menangis melepas semua beban yang sudah ditahan berbulan-bulan.
Pak Ganes tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, tangan tetap di bahu Fajar, membiarkan pemuda ini menangis sepuasnya.
Setelah beberapa menit, Fajar mulai tenang. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Maaf, Pak," gumamnya malu. "Aku... aku malah nangis di depan Bapak."
"Nggak usah minta maaf," jawab Pak Ganes sambil tersenyum hangat. "Laki-laki boleh nangis, Nak. Yang nggak boleh itu nyerah."
Fajar mengangguk pelan.
"Kamu mau tahu rahasia Bapak bertahan sampai sekarang?" tanya Pak Ganes.
"Mau, Pak."
"Setiap malam sebelum tidur, Bapak selalu bilang ke diri sendiri: 'Besok adalah hari baru. Apa yang terjadi hari ini, sudah berlalu. Besok aku akan coba lagi dengan lebih baik.' Itu aja. Sederhana. Tapi powerful."
Fajar menatap Pak Ganes dengan tatapan penuh hormat. Dalam beberapa menit ini, laki-laki tua yang baru ia kenal ini sudah memberikan wisdom yang bahkan dosen-dosennya tidak pernah ajarkan.
"Terima kasih, Pak," kata Fajar dengan tulus. "Terima kasih banyak. Kata-kata Bapak... sangat berarti buat saya."
"Sama-sama, Nak. Kalau kamu butuh temen ngobrol, Bapak sering mangkal di sini jam segini. Kita sama-sama orang yang berjuang keras. Harusnya saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan."
Fajar tersenyum—senyum tulus yang datang dari hati.
"Pulang sana, Nak. Udah malem. Istirahat yang cukup. Besok masih panjang," kata Pak Ganes sambil kembali naik ke becaknya.
"Bapak juga. Hati-hati ya, Pak."
"Siap, Komandan!" Pak Ganes memberi hormat dengan gaya lucu, membuat Fajar tertawa.
Fajar mengayuh sepedanya pulang dengan hati yang jauh lebih ringan. Meskipun tubuhnya lelah, meskipun perjalanannya masih panjang, meskipun rintangan masih banyak—ia merasa... tidak sendirian lagi.
Ada Mbok Jumi yang memperlakukannya seperti anak sendiri.
Ada Amara yang menghargainya sebagai orang yang setara.
Dan sekarang ada Pak Ganes—figur ayah pengganti yang memberinya wisdom dan kekuatan.
Mungkin... mungkin di kota yang kejam ini, masih ada orang-orang baik. Mungkin aku tidak sesendirian yang aku kira.
Malam itu, Fajar tidur dengan senyum tipis di wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia bermimpi indah. Mimpi tentang masa depan yang lebih baik. Mimpi tentang keluarganya yang bahagia. Mimpi tentang dirinya yang sukses—bukan untuk pamer, tapi untuk membuktikan pada dunia bahwa orang yang direndahkan pun bisa melangit.
BERSAMBUNG...
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.