NovelToon NovelToon
I Love You My Sugar Daddy

I Love You My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab8

Di meja dua, Harsya sudah duduk dengan posisi yang sama seperti dulu.

Namun malam ini, ekspresinya berbeda. Ada kehangatan samar yang tak ia sembunyikan lagi.

Begitu melihat Alma, senyumnya muncul — kecil, tapi tulus.

“Saya pikir kamu sudah tidak mau datang ke meja ini lagi,” katanya ringan.

Alma tersenyum.

“Justru saya pikir Bapak sudah tidak mau datang ke tempat seperti ini lagi.”

Harsya terkekeh pelan.

“Kelihatannya kita sama-sama salah.”

Mereka duduk berhadapan.

Pelayan datang, menaruh dua gelas — satu berisi cognac, satu lagi air putih, seperti biasa.

Keduanya saling menatap.

Harsya mencondongkan tubuh sedikit, nada suaranya menurun.

“Kalau saya bilang, saya datang bukan untuk minum… tapi untuk bicara dengan kamu, kamu percaya?.”

Alma menatapnya, matanya teduh tapi waspada.

“Bapak pernah ucapkan kesemua perempuan, yang menemani bapak disini?.”

Harsya tersenyum samar.

“Mungkin saya tidak pernah mengingat, tapi malam ini saya ucapkan kekamu.”

Alma terdiam sesaat, lalu mengalihkan pandangan ke arah lampu gantung di atas mereka.

“Saya tidak mau terlalu percaya, karena saya pernah menaruh percaya tapi saya kecewa.”

“Begitu?”

Alma mengangguk pelan, menatapnya tanpa ekspresi jelas.

“ Betul itu sebabnya saya hati-hati, Pak. Kadang orang yang kita percaya justru bisa membawa kita tersesat.”

Harsya tersenyum tipis.

“Kalau akhirnya tersesat, tapi pada orang yang tepat saya rela.”

Keheningan jatuh di antara mereka.

Musik lembut di latar terdengar seperti denyut yang mengiringi sesuatu yang mulai tumbuh — pelan, tapi pasti.

Mas Ardan memperhatikan dari jauh, menyipitkan mata.

Ia mengenal tatapan itu — tatapan dua orang yang mungkin tidak seharusnya saling menemukan.

Percakapan mereka terus berlanjut, ringan tapi dalam.

Sesekali Alma menanggapi dengan senyum, kadang hanya diam mendengarkan.

Harsya bercerita tentang banyak hal bukan soal bisnis atau harta, tapi tentang hal-hal kecil yang jarang ia bagi.

Tentang perjalanan dinas yang membuatnya jenuh, tentang rasa asing meski dikelilingi orang, dan tentang malam-malam yang terlalu sunyi bahkan untuk pria sepertinya.

Alma mendengarkan tanpa menghakimi, tanpa mencoba memberi nasihat.

Ia tahu, kadang yang dibutuhkan seseorang hanyalah tempat untuk bicara — bukan solusi.

“Lucu, ya,” kata Harsya pelan sambil memutar gelas di tangannya.

“Saya punya segalanya, tapi kadang rasanya kosong sekali.”

Alma menatapnya tenang, tidak berkomentar apapun.

Harsya menatap balik, lama.

Ada jeda di antara mereka — bukan hening yang canggung, tapi hening yang jujur.

“Dan kamu?” tanyanya akhirnya. “

Kamu tidak takut kesepian?”

Alma tersenyum samar.

“Kesepian itu tidak menakutkan, Pak yang menakutkan itu kalau saya berhenti terbiasa dengannya.”

Harsya terdiam.

Di wajahnya muncul ekspresi yang sulit dibaca antara kagum dan getir

Lagu jazz yang mengalun di ruangan berubah menjadi lebih pelan.

Lampu mulai diredupkan tanda bahwa malam di Grand Amartha hampir usai.

Harsya menatap jam tangannya, lalu mengangguk pelan.

“Waktu memang tidak pernah cukup kalau dihabiskan dengan orang yang menarik.”

Alma hanya tersenyum tipis, tanpa menjawab.

Ia berdiri, merapikan gaunnya, lalu menunduk sopan.

“Terima kasih sudah datang, Pak.”

Harsya ikut berdiri, mengulurkan tangan.

“Terima kasih juga… sudah mau mendengarkan saya malam ini.”

Genggaman itu singkat, tapi hangat.

Begitu Alma berbalik, Harsya sempat menatap punggungnya — langkahnya tenang, tapi menyisakan sesuatu di udara aroma lembut parfum dan keheningan yang belum selesai.

Ketika pintu lounge menutup, suara musik perlahan hilang.

Dan di balik kaca besar yang menghadap ke jalan kota Semarang, dua dunia berbeda baru saja saling menyentuh pelan, tapi berbahaya.

Malam itu Alma pulang lebih larut dari biasanya.

Kota Semarang masih berpendar dengan lampu-lampu jalan, memantul di kaca mobil yang membawanya pulang.

Di kursi belakang, ia bersandar, menatap bayangan samar dirinya di jendela.

Ada sesuatu yang aneh — perasaan ringan yang seharusnya tidak ada.

Biasanya setiap tamu baginya sama saja datang, berbicara sebentar, lalu pergi membawa sisa wewangian dan formalitas.

Namun Harsya... berbeda.

Ada sesuatu di caranya memandang, berbicara, bahkan dalam diamnya seolah dunia di sekitarnya ikut melambat.

Alma menutup mata sejenak, mencoba menghapus bayangan itu.

Ia tahu, pekerjaan ini menuntut jarak.

Menuntut hati yang tidak mudah luluh, dan wajah yang tetap ramah meski jiwa kadang letih.

Namun malam ini, ada yang tidak berhasil ia kendalikan.

Bukan perasaan cinta, bukan pula kekaguman lebih mirip rasa ingin tahu yang tumbuh pelan, seperti benih kecil yang tiba-tiba muncul di tanah yang lama gersang.

Sesampainya di rumah, ia melepas sepatu, lalu berjalan menuju kamar.

Asha sudah tertidur di kamar sebelah, dengan pengasuhnya .

Sunyi menyambutnya, dan Alma berdiri lama di depan cermin — cermin yang sama tempat ia menatap dirinya malam sebelumnya.

Wajahnya terlihat biasa. Tapi ada sesuatu di matanya yang berbeda — lebih lembut, tapi juga lebih bingung.

“Jangan bodoh, Alma,” gumamnya pelan, nyaris tanpa suara.

“Dia bukan bagian dari duniamu.”

Ia menepuk pipinya perlahan, seolah ingin mengembalikan kesadarannya ke realitas.

Lalu menarik napas dalam, mematikan lampu kamar, dan berbaring.

Namun bahkan setelah mata tertutup, nama itu masih bergema lembut di pikirannya.

Harsya!.

Dan entah kenapa, malam terasa lebih panjang dari biasanya.

Sudah dua malam Harsya tidak muncul.

Awalnya Alma tidak memperhatikan, tapi entah kenapa malam ini terasa berbeda.

Obrolan dengan tamu lain tak lagi menarik, tawa rekan-rekannya di lounge terdengar seperti gema yang jauh.

Ada ruang kosong yang tak bisa ia beri nama.

“Kamu ngelamun, Al?," tegur Dini, salah satu rekan kerja

Alma tersenyum tipis.

“Mikirin hidup Din”

"Udah gak usah di pikir, lets flow with the air."

"Kamu enak Din, gak ada tanggungan." Sergah Alma.

Namun dalam diam, hatinya terus bertanya — kenapa sosok itu belum datang?

Ketika jam menunjuk pukul dua dini hari dan lampu lounge mulai diredupkan tanda tutup, Alma merapikan meja dan berpamitan pada bartender.

Ia baru saja keluar dari pintu utama Grand Amartha ketika ponselnya bergetar.

"Saya ada di parkiran. Bisa kita bicara sebentar?."

Alma tertegun. Jemarinya sempat ragu di atas layar.

Ia menatap ke arah parkiran hotel yang lengang lampu sorot memantul di bodi mobil spirt hitam yang dikenalnya.

Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia mengetik balasan singkat.

"Baik, Pak. Saya ke sana."

Udara malam Semarang terasa lembab ketika ia melangkah mendekat.

Harsya keluar dari mobilnya, membukakan pintu penumpang dan berkata lembut,

“Masuklah, biar kita bicara di dalam. Angin malam tidak ramah.”

Alma berdiri di samping pintu, menatapnya sejenak.

“Bapak bukan tamu saya malam ini,” ucapnya pelan.

Harsya menatapnya tanpa senyum, tapi suaranya tetap tenang.

“Saya tahu. Tapi... apa saya tidak boleh menemui kamu, bukan sebagai tamu?.”

Ada jeda panjang di antara mereka — hening yang berisi sesuatu yang sulit diucapkan.

Lampu-lampu parkiran memantulkan cahaya di wajah Alma; ia menunduk, seolah mencari alasan untuk menolak.

Namun suaranya justru terdengar lebih lembut dari yang ia rencanakan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!