"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kok Bisa?
Aksa menarik tangan Adis dan mengajaknya ke lantai atas, untuk menggali informasi lebih lagi. Ide dari mana sebenarnya rencana hari ini.
"Jelaskan," Aksa menarik kursi dan duduk di dekat Adis.
"Jadi Papa khawatir banget sama kamu Mas," Adis menatap kakaknya itu dengan tatapan lekat. Ya, semenjak berita tentang hubungan Aksa dengan Martin itu, kondisi Papanya semakin sering cemas.
"Alah itu lagi, itu berita nggak berdasar sama sekali Dis," Aksa nampak kesal. "Toh akhir-akhir ini beritanya sudah nggak ada kan?"
"Tapi beda sama Papa, Mas. Papa mikiiiir banget sampe stress tau nggak," Adis bicara dengan nada serius. Aksa melihat ke arah Adis, merendahkan nada suaranya.
"Iya tahu...tapi berita itu sama sekali nggak benar ya ampun," Aksa nampan frustasi, terdiam sesaat lalu tersenyum. Menertawaka kekonyolan hidupnya.
"Bayangin, Mas. Kamu sudah 30 tahun, tapi sama sekali tidak terdengar berita pacaran atau apa, malah berita sama Martin, siapa yang nggak khawatir coba."
"Dis, kamu lupa ya kalau aku cerita lagi suka sama seseorang?" Aksa menatap adiknya dengan tatapan lugas. Adis mengingat-ingat, ya saat di rumah sakit Aksa menceritakan itu. Tapi cerita itu masih menggantung.
"Harusnya Mas lebih cepat go public, biar nggak ada Rose,"
"Go public?" Aksa menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi. "Tidak sesederhana itu, Dis." Aksa bingung harus mulai dari mana. Di saat anggota keluarganya belum ada satupun yang mengetahui tentang wnaita yang ada di hatinya itu. Masih terlalu rumit untuk dibicarakan.
"Mas serius dengan gadis yang ada di sini?" Adis memegang dadanya, mengisyaratkan gadis yang sedang di hatinya Aksa. "Kalian sudah ada obrolan serius?." Adis sungguh penasaran.
Sungguh pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, karena memang tidak sesederhana itu.
"Atau cinta kalian sedang bermasalah?" Adis menebak. Aksa melihat ke lantai kayu yang mengkilap, seolah ada jawaban di sana. Seolah akan ada kalimat yang tinggal dibaca.
"Kalau aku bilang rumit, kamu bakalan tahu nggak Dis?"
"Kalau Mas nggak cerita, aku nggak bakalan tahu serumit apa," Adis melipat kedua tangannya.
"Dia belum tahu perasaanku," jawab Aksa akhirnya. Adis membelalakkan matanya, antara kaget dan juga pengen tertawa. Aksara Wijaya, bukan orang biasa, tampang juga bisa dibilang di atas rata-rata, terlebih sekarang nampak sangat matang dan siap menikah, pasti banyak wanita di luar sana yang tertarik pada saudaranya itu. Dan sekarang laki-laki yang ada di hadapannya itu sedang bingung dengan urusan asmara.
"Siapa sih dia?"
"Nanti aku kenalkan, kalau sudah waktunya," jawab Aksa diplomatis.
"Buruan, aku pengen lihat bagaimana gadis yang memikat hati saudaraku ini, dan kenapa seolah ini menjadi tantangan besar buatmu, Mas," Adis mengangguk, benar-benar dibuat penasaran dengan gadis yang diceritakan oleh saudaranya itu.
Aksa berdiri dari kursinya, beranjak menuju jendela besar yang tak jauh darinya. Menatap pemandangan malam dari lantai dua di rumah ini, menatap remang malam.
"Makanya Papa menyuruh kamu pulang, Mas. Ingin memastikan jika kamu...lurus-lurus saja," Adis nampak sedikit ragu mengatakannya.
"Sejak kapan sih Papa ragu?."
"Sejak berita itu,"
Aksa mendengus lagi, "Apa perlu aku membuktikannya,"
"Ya, Mas...buktikan bawa gadis itu kesini dna perkenalkan ke kita semua bahwa itu calon kamu, atau Mas akan tetap dijodohkan dengan Rose," Adis seolah mengompori. "Kamu terlalu tertutup Mas, jadi Papa benar-benar khawatir,"
"Aku cuma nggak mau salah langkah, Dis." ujar Aksa pelan. "Kalau aku bawa dia ke keluarga, semuanya harus jelas dulu,"
"Jelas dari pihak Mas atau dia?"
"Aksa memejamkan mata sejenak. Pertanyaan itu tepat mengenai sasaran.
"Dari dia," jawabnya lirih.
Adis menghela nafas panjang, "Mas sadar nggak? kadang orang bisa pergi bukan karena nggak cinta, tapi karena merasa nggak dipilih. Jadi tolong ya, jangan menggantung siapapun," Adis menepuk dada saudara dan menatap mata Aksa dengan serius.
Langkah kaki terdengar dari bawah. Suara Diana memanggil mereka berdua untuk turun. Aksa mengangguk pelan.
***
Sebenarnya Binar masih ingin menunggui Ibunya di rumah sakit, apalagi Ibunya sama sekali belum menunjukkan perkembangan apapun. Tapi sudah 3 hari dia izin tidak masuk, rasanya tak enak jika terlalu lama mengambil izin cuti meskipun Aksa mengizinkannya.
"Berangkatlah, pasti Ibu akan segera sadar. Ayah akan segera mengabarimu kalau nanti sadar, jangan lupa doakan Ibu ya,"
Meskipun terasa berat. Binar mengangguk menurut.
"Yah, kalau sudahh tiba waktunya nanti. Boleh ya Binar pulang?"
"Pintu selalu terbuka buat anak ayah," jawaban itu membuat hati Binar meleleh. Binar memeluk laki-laki itu erat. Sebelum akhirnya pergi kembali ke kota perantauan.
Sepanjang perjalanannya, bayangannya tak pernah lepas dari keadaan Ibunya yang tak kunjung membaik. Ada rasa marah di dadanya, kenapa Tama mengingkari janji. Atau dia akan membuat perhitungan setelah ini, bukan karena dirinya, tetapi karena Ibunya. Tama lah yang membuat Ibunya seperti ini, jika sampai terjadi apa-apa lebih dari ini, tak segan-segan dia akan membongkar semuanya. Binar mengeratkan kedua tangannya, pandangannya beralih ke jalanan menuju kontrakannya. Jalanan basah karena hujan yang baru saja mengguyur.
Tak berapa lama dia tiba di kontrakannya, sudah terlihat sepi karena sudah malam. Tak perlu membangunkan Pak Mamat sang pemilik rumah, Binar sudah diberi kunci pagar juga agar sewaktu-waktu bisa membuka pintu pagar.
Binar benar-benar lelah, bahkan dia belum makan sejak siang tadi. Tapi sama sekali dia tidak ingin makan. Binar melepaskan tas ransel dan meletakkannya di meja, lalu segera ingin membersihkan diri dengan mandi malam sebelum memejamkan mata. Tidur bagi mereka mungkin mudah, tapi tidak dengan Binar. Kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupnya membuatnya mengalami insonmia berkepanjangan.
Binar meneguk obatnya dengan harapan lekas bisa tidur dan mengistirahatkan jiwa dan raganya. Sudah lebih dari tengah malam, Binar masih sibuk dengan cemasnya, rasa kantuk menyerangnya tapi sama sekali dia tidak bisa tidur.
Binar baru berhasil memejamkan matanya saat mendekati subuh.
Binar memoles wajahnya dengan teliti, menutupi lelah wajahnya agar tidak terlalu nampak. Bersiap berangkat ke kantor hari ini.
Binar sudah mengecek email pagi ini, semua surat masuk ke surelnya. Dan tugasnya nanti adalah menyusun agenda harian untuk Aksa. Binar bersiap kembali dengan pekerjaan meskipun pikirannya masih tertinggal di ICU.
"Ih lama nggak jumpa mbak Bi...," sapa Bu Lely yang sedang menyapu halaman, Bu Lely mendekat.
Binar menghentikan langkahnya saat hendak menuju kang ojol yang sudah menunggunya.
"Iya Bu, pulang sejenak menjenguk orang tua,"
"Oh makanya...orang tua sehat kan nak?"
Binar tersenyum sedih, "Ibu masih sakit, Bu. Mohon doanya buat Ibu saya ya Bu, biar lekas sehat.." Binar mmeinta.
"Oh...ya nak...semoga Ibu segera disehatkan ya...," ucapan Bu Lely tulus. Percakapan mereka tak lama, karena Binar harus segera bergegas ke kantor.
Pintu lift terbuka, Binar masuk ke dalam. Saat pintu lift hendak menutup, sebuah tangan menahan pintu tersebut. Wajah yang sangat dia kenal, masuk ke dalam lift yang sama dengannya.
Minta tolong like dan vote ya readers....Author akan senang sekali dan terima kasih sudah setia membaca ^^