"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8 Lamaran
Maira sudah memberitahu ibunya tentang keluarga Bu Rosmala yang akan datang melamar. Kamilah bahkan sempat kaget dengan berita itu. Bagaimana tidak, selama ini tidak pernah terdengar Maira punya pacar, tiba-tiba ada yang datang untuk melamar, orang tua mana yang tidak kaget.
"Jadi kedatangan kami ke sini untuk meneruskan niatan kami yakni meminang Maira untuk putra kami satu-satunya, Arka," ujar Aditya.
"Saya sebagai orang tua hanya bisa menyerahkan semua keputusan pada anak saya, Maira, Pak, Bu. Bagaimanapun Mairalah yang akan menjalani," jawab Kamilah.
"Jadi bagaimana Maira. Apa kamu terima lamaran kami?" Aditya masih menjadi wakil dari Arka.
Maira tak lantas menjawab. Ia melihat Bu Rosmala, kemudian beralih pada ibunya yang masih duduk di kursi roda. Maira tak punya pilihan lain selain menerima. Ia memang tak bersuara, tapi anggukan kepalanya sudah cukup menjadi jawaban.
Nampak raut bahagia di wajah Rosmala dan Aditya, begitupun Kamilah. Ia memang menunggu hari ini, ada seorang pria yang datang melamar putri sulungnya. Selain sudah cukup umur, ia ingin Maira bahagia. Sejak dulu Maira sudah banyak berkorban untuk keluarga ini, terlebih setelah Maira bekerja. Anak itu hampir menggunakan sebagian besar gajinya untuk membantu membiayai sekolah Syafa.
Syafa. Mengingat anak keduanya itu raut Kamilah langsung berubah. Dan hal itu disadari oleh Maira.
"Bu," panggil Maira lirih sembari mengusap tangan ibunya.
Kamilah langsung merubah ekspresinya. Ia sunggingkan senyum untuk menutupi raut kecewa yang sebelumnya.
"Ajak Ibu dan Bapaknya Nak Arka untuk makan," ujar Kamilah.
Meski hanya masakan sederhana, tapi bisa membuat Rosmala dan Aditya merasakan nikmat. Kedua orang kaya itu tak sungkan sama sekali. Semua membaur seolah sudah menjadi keluarga.
"Ayo Ibu, Bapak, nambah lagi. Ini semua Maira yang masak," ujar Kamilah ramah.
"Wah, Arka beruntung sekali dapat istri seperti Maira, sudah pandai mengasuh anak ditambah pandai memasak pula," seloroh Aditya.
"Jadi, pilihan Mama tepat kan, Pa?"
"Jelas, Mama memang nggak pernah salah pilih. Buktinya, Mama pilih Papa, kan?"
"Apaan sih, Pa, nggak nyambung deh." Rosmala pura-pura kesal. "Maaf ya Bu Kamilah, suami saya emang selera humornya aneh. Garing jadinya."
Kamilah dan Maira yang sejak tadi menahan senyum hanya bisa memaklumi. "Saya senang sekali, Maira akan dapat keluarga baru yang baik seperti Bapak dan Ibu, yang bisa menerima anak saya dengan segala kekurangannya."
"Jangan bicara begitu, Bu, kamilah yang beruntung mendapatkan mantu seperti Maira. Benar kan, Pa?" Rosmala menatap suaminya.
"Tentu benar, Ma."
"Arka, nanti kamu ajak Maira ke butik langganan Mama, ya. Kalian pilih kebaya pengantin yang nanti akan dipakai Maira. Nanti Mama buatkan janji dengan Tante Erna."
Arka belum sempat menjawab saat ponselnya berdering. "Maaf, saya keluar sebentar."
Rosmala dan Aditya hanya mampu melihat putranya pergi, begitu pun dengan Maira dan ibunya.
Melihat semua terdiam melihat kepergian Arka, Kamilah mencoba mencairkan kembali suasana. "Ayo, Bu, Pak, dilanjut makan lagi."
Mereka semua kembali makan sambil mengobrol. Hanya Maira yang sesekali menengok ke arah pintu, di mana tadi Arka keluar.
Sedang apa pria itu. Kalau hanya menerima telepon masak selama ini. Maira ingin abai, tapi rasanya begitu aneh.
Rosmala yang juga menyadari kepergian Arka yang cukup lama mulai curiga. "Mai, tolong lihat Arka ke depan. Kok lama banget nelponnya."
"Baik, Bu." Maira keluar untuk melihat calon suaminya.
Sayangnya ia tak menemukan Arka di teras. Maira mulai keluar ke jalan, dan ia semakin kecewa. Mobil yang tadi di parkir di pinggir jalan sudah tidak ada.
"Arka nggak kamu ajak masuk sekalian?" tanya Rosmala begitu Maira masuk kembali.
"Pak Arka sudah nggak ada, Bu. Mobilnya juga udah nggak ada."
Rosmala kontan menatap suaminya seolah bertanya. Aditya sendiri hanya bisa menggedikkan bahu, sebab ia sama tidak tahunya.
Bunyi notifikasi pesan di ponsel Rosmala, membuat wanita itu segera merogoh ponsel dari dalam tas. Ia membuka pesan dari putranya.
[Ma, Arka pulang duluan, Mama Santi ke rumah. Nanti Arka kirim supir buat jemput.]
"Siapa, Ma?" tanya Aditya.
"Arka, Pa. Anak itu sudah pulang. Jeng Santi ke rumah."
Maira dan Ibunya yang tidak tahu siapa orang yang dimaksud Rosmala dan Aditya hanya bisa mendengar pembicaraan keduanya.
*
Arka berusaha secepat mungkin untuk bisa sampai ke rumah. Ia berharap ibu mertuanya belum pergi.
"Ma," sapa Arka saat masuk ke rumah dan mendapati Santi sedang menggendong Zara. Ia menyalami Santi layaknya seorang anak.
"Sudah selesai acara lamaran kamu, Ka?"
Ditodong pertanyaan seperti itu membuat Arka gelagapan untuk menjawab. Bagaimana ibu mertuanya ini tahu, sementara ia belum mengabari soal rencana pernikahan yang digagas oleh mamanya sendiri ini.
"Su-sudah, Ma." Arka benar-benar panik. Ia takut ibu mertuanya salah paham.
"Kok Mama sama Papamu belum pulang?"
"Tadi aku pulang duluan, Ma, karena Mama nelpon tadi. Papa sama Mama katanya masih mau di sana."
"Jadi kalau Mama nggak nelpon kamu masih mau di sana dong?"
"Ehm, nggak gitu juga sih, Ma. Acaranya memang udah selesai, kok. Tadi itu lagi pada makan." Arka bingung dan merasa serba salah di depan mertuanya ini. Entah mengapa ia seolah takut jika Santi tahu tentang pernikahannya dengan Maira. Mengingat belum ada setahun Raswa meninggal.
Zara yang ada dalam gendongan Santi tiba-tiba menangis. "Atik!"
"Iya, Bu." Atik berlari tergopoh-gopoh memenuhi panggilan ibu mertua Arka.
"Bawa Zara ke kamar, buatkan susu. Mungkin dia udah ngantuk." Santi memberikan Zara pada pengasuhnya.
Lantas ia duduk di sofa ruang tamu. Memperhatikan Arka yang tertunduk di depannya. Sejak dulu ia memang menyukai Arka. Anak ini selalu memperlihatkan ketulusan pada mendiang Raswa. Mereka bahkan berpacaran cukup lama. Arka rela menunggu Raswa selesai kuliah untuk menikahi gadis itu. Selain itu sikap Arka yang sopan membuat Santi langsung memberikan lampu hijau untuk hubungan putrinya.
"Kenapa kamu buru-buru nikah? Apa cinta untuk Raswa sudah benar-benar hilang?"
"Itu tidak benar, Ma. Arka masih sangat mencintai Raswa, sama seperti dulu."
"Lalu kenapa kamu buru-buru menikah ?"
Terdengar nada bicara Santi naik dan tersirat emosi.
"Zara butuh seorang ibu, Ma."
"Zara itu masih kecil. Di diasuh sama baby sister pun nggak tahu!"
Arka bingung bagaimana menjelaskannya pada Santi.
"Belum ada satu tahun Raswa meninggal. Kuburannya saja masih basah, tapi kamu sudah berpikir untuk cari pengganti!"
"Ma, nggak kayak gitu. Arka bisa jelaskan semuanya, Ma."
"Kalau kamu mau dengerin Mama, batalkan pernikahan kamu!"
Arka tercengang mendengar permintaan ibu mertuanya.