NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Api Unggun dan Harga Diri yang Retak

Malam itu, sekolah mereka bukan lagi sekadar bangunan beton membosankan. Di bawah langit tanpa bulan, halaman sekolah telah berubah menjadi lautan cahaya. Api unggun raksasa mulai dinyalakan di tengah lapangan, menjilat udara malam dengan lidah api oranye yang menari liar.

Di atap sekolah, angin bertiup lebih kencang, menusuk kulit Ren yang baru sembuh. Tapi dia tidak merasa dingin. Jantungnya memompa darah terlalu cepat.

Di sampingnya, Marika bersandar pada pagar pembatas. Cahaya api unggun dari bawah memantul di matanya, membuat iris gelapnya terlihat seperti kaca yang hampir pecah. Dia tidak lagi terlihat seperti ketua OSIS yang garang. Di sini, di tempat tinggi yang sunyi ini, dia hanyalah gadis remaja yang kelelahan.

"Sato-kun," panggil Marika, suaranya nyaris hilang ditelan angin.

Ren menoleh. "Ya?"

Marika tidak menatapnya. Tangannya mencengkeram besi pagar begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Apa menurutmu..." Dia menelan ludah, ragu. "Apa menurutmu aku ketua yang baik?"

Pertanyaan itu keluar begitu rapuh, sangat kontras dengan citra besinya selama ini.

Ren menatap profil wajah Marika. Dia teringat bubur hambar buatan tangan itu. Dia teringat Marika yang membentak Tanaka-senpai demi membelanya. Dia teringat tangan dingin Marika di dahinya.

"Kamu bukan ketua yang baik," jawab Ren jujur.

Bahu Marika tersentak kaku. Dia menunduk, siap menerima kritik.

"...Kamu ketua yang menyebalkan, perfeksionis, dan galak," lanjut Ren, melangkah selangkah lebih dekat. "Tapi... kalau bukan karena kamu, festival ini sudah hancur dari kemarin. Kamu memikul beban tiga puluh klub sendirian. Jadi ya, kamu hebat. Sangat hebat."

Marika perlahan mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu. Rona merah di pipi Marika kali ini bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang jauh lebih lembut. Pertahanan dirinya runtuh sedikit demi sedikit.

"Kamu..." Marika mendengus pelan, berusaha tertawa tapi suaranya serak. "Kamu pandai bicara ya, untuk ukuran pemalas."

Suasana berubah. Keheningan di antara mereka bukan lagi canggung, tapi magnetis. Jarak satu jengkal yang selalu dijaga Marika terasa semakin menipis. Ren bisa mencium aroma samar apel hijau dari rambutnya lagi.

Mungkin... mungkin ini saatnya? Di bawah kembang api, di atap sekolah, seperti di shoujo manga?

DRRT... DRRT...

Ponsel di saku Marika bergetar panjang. Bukan notifikasi pesan. Telepon.

Marika tersentak mundur seolah tersengat listrik. Dia melihat layar ponselnya, dan wajahnya yang tadi merona langsung memucat pasi. Topeng robotnya kembali terpasang dalam hitungan detik, lebih tebal dan lebih dingin dari sebelumnya.

"Aku harus turun," katanya, suaranya tiba-tiba kosong.

"Tsukishima-san?"

"Jangan ikuti aku," perintahnya tajam. Tanpa menoleh lagi, dia berlari menuju pintu atap, meninggalkan Ren yang terpaku dengan tangan yang masih terulur di udara.

Firasat Ren berteriak. Jangan tinggalkan dia sendirian.

Ren mengabaikan perintah itu. Dia mengejar Marika.

Ren menemukan Marika di belakang gedung utama, jauh dari keriuhan api unggun dan musik dansa. Tempat itu gelap dan sepi, hanya diterangi lampu jalan yang remang-remang.

Tapi Marika tidak sendirian.

Seorang wanita wanita paruh baya berdiri di hadapannya. Wanita itu mengenakan setelan jas mahal yang rapi, posturnya tegak, dan wajahnya adalah cerminan Marika di masa depan—tapi tanpa kehangatan sedikitpun. Itu Ibu Marika.

Ren bersembunyi di balik pilar koridor, napasnya tertahan.

"Ibu sudah melihat panggungnya," suara wanita itu terdengar tenang tapi menusuk, seperti pisau bedah. "Berantakan. Dekorasi murahan. Dan Ibu dengar ada insiden es batu?"

"Itu... itu sudah diselesaikan, Bu," jawab Marika, kepalanya tertunduk dalam. Dia terlihat sangat kecil di hadapan ibunya. "Semua berjalan lancar..."

"Lancar?" potong ibunya dingin. "Nilai tryout kamu turun tiga poin minggu lalu. Ibu pikir karena kamu sibuk mengurus hal yang berguna. Ternyata kamu cuma main-main jadi panitia festival sampah begini?"

Marika gemetar. "Ini... ini tanggung jawab saya sebagai ketua..."

"Tanggung jawabmu adalah masuk Universitas Tokyo, Marika. Bukan bermain rumah-rumahan dengan anak-anak yang tidak punya masa depan." Ibunya menghela napas kecewa, suara yang lebih menyakitkan daripada bentakan. "Mengecewakan. Ayahmu pasti malu kalau melihat ini."

Wanita itu berbalik dan berjalan pergi menuju parkiran mobil, meninggalkan Marika berdiri mematung dalam kegelapan.

Hening.

Ren merasa dadanya sesak. Jadi ini... ini alasan Marika selalu terobsesi dengan kesempurnaan? Ini beban yang dia pikul sendirian?

Ren tidak bisa menahannya lagi. Dia melangkah keluar dari persembunyiannya.

"Tsukishima-san..."

Bahu Marika menegang. Dia tidak berbalik.

"Kamu dengar?" tanyanya. Suaranya datar, mati.

"Aku..." Ren bingung harus berkata apa. "Ibumu... dia keterlaluan. Kamu sudah bekerja keras. Festival ini sukses!"

"Diam," desis Marika.

Dia berbalik perlahan. Wajahnya kering. Tidak ada air mata. Tapi matanya... matanya kosong. Rasa malu yang terpancar di sana begitu pekat hingga Ren merasa sakit melihatnya. Ketua OSIS yang sempurna itu telah telanjang, kelemahannya terekspos di depan "aset"-nya.

Dan mekanisme pertahanan dirinya meledak.

"Siapa yang menyuruhmu ke sini?" tanya Marika, suaranya penuh bisa. "Siapa yang memberimu izin melihatku begini?"

"Aku khawatir padamu," kata Ren, melangkah mendekat. "Kata-kata ibumu itu salah. Kamu—"

"KAMU TAHU APA?!" teriak Marika tiba-tiba, meledak. "Kamu cuma Sato Renjiro! Pemalas! Bodoh! Kamu tidak tahu apa-apa soal duniaku!"

Ren tersentak mundur.

"Kamu pikir kita teman?" Marika tertawa sinis, tawa yang menyakitkan. "Jangan besar kepala. Aku cuma memanfaatkanmu karena tidak ada orang lain. Kamu cuma alat, Sato. Alat yang berguna sedikit, lalu selesai. Sekarang festival sudah selesai. Kamu tidak berguna lagi."

Kata-kata itu menghunjam dada Ren. Alat. Tidak berguna.

"Tsukishima-san, kamu tidak sungguh-sungguh..."

"Pergi," usir Marika, menunjuk gerbang sekolah. "Pergi dari hadapanku. Aku muak melihat wajahmu yang sok peduli itu. Pergi dan main game sana seperti pecundang biasa. Jangan pernah bicara padaku lagi."

Ren terdiam. Harga dirinya sebagai laki-laki tercabik. Dia sudah berusaha sekuat tenaga, sakit-sakitan, demi gadis ini. Dan ini balasannya? Dihina setelah dia melihat betapa menyedihkannya hidup gadis itu?

Logika Ren berkata: Pergi. Dia yang minta. Dia jahat. Dia tidak pantas ditolong.

Ren mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.

"Baik," kata Ren dingin. "Kalau itu maumu. Maaf sudah mengganggu 'Yang Mulia'."

Ren berbalik badan. Dia melangkah menjauh. Satu langkah. Dua langkah.

Marika tidak memanggilnya kembali.

Ren terus berjalan. Amarah membakar kepalanya. Persetan dengan semuanya. Persetan dengan festival.

Dia sampai di gerbang sekolah. Langkahnya cepat, ingin segera kabur.

Tapi kemudian...

Sesuatu yang dingin menyentuh dadanya. MP3 player di saku bagian dalamnya.

"Penyesalan terbesarku..."

Suara Marika dewasa bergaung di kepalanya.

"Dia akan terlihat kuat. Dia akan marah padamu. Dia akan mengusirmu. Tapi tolong... jangan pergi."

Langkah Ren terhenti tepat di garis gerbang.

Dia ingat sorot mata Marika tadi. Bukan sorot mata kebencian. Itu sorot mata seekor binatang yang terluka parah, yang menggigit siapa saja yang mendekat karena takut disakiti lagi. Dia tidak mengusir Ren karena dia benci Ren. Dia mengusir Ren karena dia malu. Dia ingin hancur sendirian, di tempat gelap, di mana tidak ada yang melihat.

Jika Ren pergi sekarang... Marika akan menangis sendirian di belakang gedung itu. Dan besok, dia akan membangun tembok yang lebih tinggi, lebih dingin, dan tidak akan pernah bisa ditembus lagi. Dan itulah awal dari akhir mereka.

Renjiro memejamkan mata. Dia mengutuk dirinya sendiri. Mengutuk kebodohannya.

"Sialan..." umpatnya pada langit malam. "Aku benci jadi orang baik."

Dia berbalik badan. Dan dia berlari.

Bukan berjalan, tapi berlari sekuat tenaga kembali ke belakang gedung utama.

Napasnya memburu, paru-parunya yang baru sembuh terasa terbakar. Dia sampai di koridor gelap itu.

Dan di sana dia melihatnya.

Marika tidak lagi berdiri tegak. Dia terduduk di lantai beton yang kotor, memeluk lututnya. Tubuhnya berguncang hebat. Tidak ada suara teriakan, hanya isak tangis tertahan yang menyakitkan, seolah dia berusaha menelan suaranya sendiri agar tidak terdengar dunia.

Topengnya hancur total.

Ren tidak memanggilnya. Dia tidak bertanya "kamu oke?". Itu pertanyaan bodoh.

Dia berjalan mendekat, langkah kakinya bergema pelan.

Marika tersentak kaget. Dia mendongak, matanya merah dan basah, wajahnya berantakan oleh air mata dan ingus. Saat dia melihat Ren kembali, kepanikan melanda wajahnya.

"K-kenapa..." suaranya pecah. "Kubilang pergi! Pergi! Jangan lihat ak—"

Ren tidak berhenti. Dia menjatuhkan dirinya ke lantai di depan Marika.

Dan tanpa sepatah kata pun, Ren menarik gadis yang rapuh itu ke dalam pelukannya.

Marika membeku.

"Lepas!" Marika memberontak, memukul dada Ren dengan lemah. "Lepaskan aku! Aku benci kamu! Pergi!"

"Nggak," bisik Ren tegas, mempererat pelukannya. Dia membenamkan wajahnya di bahu Marika yang gemetar. "Marah saja semaumu. Pukul aku. Hina aku. Tapi aku nggak akan kemana-mana."

Pertahanan Marika runtuh seketika.

Pukulannya di dada Ren berubah menjadi cengkeraman erat pada seragam gakuran Ren. Dan detik berikutnya, dia meraung. Menangis sekeras-kerasnya, menumpahkan semua beban, semua tekanan, semua rasa sakit yang dia pendam sendirian selama bertahun-tahun, ke dada satu-satunya orang yang cukup keras kepala untuk kembali padanya.

Di saku Ren, MP3 player itu bergetar pelan sekali. Bukan notifikasi pesan.

Itu terasa seperti detak jantung. Sebuah takdir yang baru saja bergeser dari jalurnya.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!