Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DELAPAN : ANCAMAN RAIS
Wira terpaku sejenak, menatap Mandala yang tengah merokok dengan tenang. Entah apa yang pria berkemeja putih itu pikirkan.
“Apakah ada masalah, Pak?” tanya Rais penasaran.
Wira menoleh sekilas, lalu menggeleng. “Saya permisi dulu,” pamitnya, kemudian masuk ke mobil. Tanpa berlama-lama, truk double cabin hitam itu melaju gagah meninggalkan area proyek.
Wira mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sekilas, pandangan pria tampan tersebut menoleh ke warung nasi pinggir jalan. Dilihatnya gadis cantik tengah duduk termenung, di bangku kayu depan warung.
Hanya sepintas, Wira kembali menatap ke depan. Dia harus fokus pada lalu lintas yang dilalui.
Sementara itu, Mandala masih asyik merokok seorang diri, ketika Rais menghampirinya. Sang mandor berdiri dengan tatapan cukup aneh.
Mandala yang merasa terganggu, menoleh. “Ada yang bisa kubantu?” tanyanya cukup datar.
“Apakah Irwan satu tim denganmu?” Nada pertanyaan Rais terdengar penuh selidik, bagai petugas kepolisian yang sedang mengungkap kasus kejahatan.
“Ya,” jawab Mandala singkat.
“Siapa ketua tim kalian?” tanya Rais lagi.
“Roshan,” jawab Mandala lagi, singkat.
“Panggil Roshan dan semua anggota tim. Suruh mereka menghadap ke ruanganku,” titah Rais cukup tegas. Tanpa menunggu jawaban Mandala, dia langsung berlalu dari sana.
Mandala mematikan sisa rokok. Dia beranjak dari duduk. Dirinya terpaksa menghampiri para pekerja lain yang asyik berkumpul, sebelum pergi membeli makan siang.
“Roshan!” panggil Mandala.
Para pekerja yang tengah berbincang santai, serempak menoleh. Namun, hanya Roshan yang berdiri.
“Ada apa?” tanya Roshan, diiringi tatapan aneh. Meskipun satu tim, tetapi Mandala jarang sekali berbicara padanya.
“Kita harus menghadap Pak Rais,” jawab Mandala datar.
“Ck!” Roshan berdecak pelan. Dia sudah bisa menebak kenapa dipanggil oleh sang mandor. “Sekarang juga?” tanyanya memastikan.
Mandala mengangguk. “Ajak yang lainnya.” Setelah berkata demikian, Mandala langsung berbalik. Dia tak menoleh lagi. Mandala hanya mendengar Roshan, yang menitip makanan kepada rekannya.
Suasana tegang di ruangan mandor. Beberapa pekerja berdiri berjajar, menghadap kepada satu pria paling berkuasa di sana, yaitu Rais. Entah hanya berupa teguran keras, atau justru hukuman yang akan diberikan kepada Roshan dan timnya.
“Irwan adalah helper. Dia sedang membantu Hamid menyiapkan adukan semen,” jelas Roshan.
“Siapa yang bertugas dengannya?” tanya Rais.
“Mandala,” jawab Roshan lugas.
“Saya sudah menyuruhnya berhati-hati saat naik ke scaffolding yang dijadikan pijakan ketika dia terjatuh,” jelas Roshan lagi.
“Kenapa?” tanya Rais penuh selidik, diiringi tatapan teramat serius.
“Ada tumpahan minyak di sana. Itu akan sangat berbahaya karena scaffolding-nya tidak dilengkapi pagar pengaman. Lagi pula, Irwan tidak mengenakan safety harness sesuai aturan,” jelas Roshan lagi.
“Kenapa dia mengantarkan adukan semen ke atas? Bukankah ada katrol yang sudah biasa digunakan?”
“Ada kerusakan pada katrolnya, Pak. Teman-teman yang lain sedang memperbaiki. Pekerjaan tidak bisa berhenti hanya karena katrol macet, kan?”
Rais terdiam beberapa saat, seperti sedang menelaah penjelasan Roshan. Sesaat kemudian, mandor dengan rentang usia sekitar 47-50 tahun itu menoleh kepada Mandala.
“Kamu membiarkan Irwan naik, padahal tahu itu sangat berbahaya,” ujar Rais, dengan tatapan cukup tajam kepada Mandala.
“Aku sudah melarangnya.” Hanya itu jawaban Mandala.
Rais mengembuskan napas berat dan dalam. Dia kembali terdiam beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Baiklah. Kuputuskan ini murni karena kecerobohan Irwan.”
“Lalu, bagaimana, Pak? Kami kekurangan orang yang bertugas sebagai helper.”
“Akan saya carikan penggantinya. Untuk sementara, bekerjalah dengan tim seadanya.”
Roshan mengangguk. Dia dan yang lain dipersilakan keluar ruangan. Tapi, tidak dengan Mandala.
“Aku tidak harus bertanggung jawab atas insiden yang terjadi pada Irwan,” ucap Mandala, berhubung tak mengerti kenapa Rais menyuruhnya tetap di sana.
Rais yang awalnya berdiri dengan setengah bersandar ke tepian meja kerja, segera menegakkan tubuh. Dia mendekat ke hadapan Mandala. Rais menatap penuh kesombongan, seakan hendak menantang pria yang berusia lebih muda darinya tersebut.
‘Bukan itu yang ingin saya bahas denganmu,” bantah Rais, tanpa mengalihkan tatapan dari Mandala.
“Lalu?” Mandala tetap bersikap biasa, tetapi bukan berarti tidak waspada.
“Saya tahu apa yang kamu lakukan semalam,” ucap Rais, dengan nada bicara cukup aneh.
“Maksud Anda?” Mandala sedikit memicingkan mata, tak mengerti maksud ucapan Rais.
“Jauhi Gita!” tegas Rais penuh penekanan, meski dengan suara pelan.
“Seharusnya, Anda mengatakan itu kepada Herman.”
“Kenapa dengan Herman?”
“Tanyakan sendiri pada Gita.” Bukannya langsung menjawab, Mandala justru mengajak Rais bermain-main.
“Saya tidak akan membiarkan siapa pun dari pekerja proyek di sini mendekati Gita!” tegas Rais lagi, dengan nada bicara seperti tadi.
Mandala menggumam pelan. Ditatapnya Rais dengan sorot tak dapat diartikan. “Haruskah Anda melakukan ini, Pak mandor?”
Merasa bahwa nada pertanyaan Mandala sengaja mengejeknya, Rais bergerak refleks. Dia mencengkram kencang kerah baju Mandala, seolah tak ada rasa takut sama sekali. Padahal, dia sudah tahu seperti apa kemampuan pria berambut gondrong itu.
“Jangan menantang saya!” tegasnya, kemudian mengempaskan kasar cengkraman dari kerah baju Mandala. “Kamu sudah saya beri peringatan. Jika masih berani mendekati Gita, saya pastikan bukan hanya teguran seperti tadi yang akan kamu terima!” ancamnya penuh penekanan.
Mandala menatap Rais dengan sorot yang belum berubah. “Hanya itu?”
“Fokus saja pada pekerjaan, jika kamu masih ingin ada di sini,” pungkas Rais, kemudian berbalik ke meja kerja. Itu menandakan bahwa perbincangan telah selesai.
Tanpa banyak bicara, Mandala pun berbalik meninggalkan ruangan sang mandor. Dalam pikirannya ada banyak pertanyaan tentang kebenaran dari ucapan Arun tentang hubungan istimewa antara Gita dengan Rais.
Mandala yang awalnya tidak peduli dengan apa pun tentang gosip di antara Gita dan Rais, justru jadi ikut memikirkan hal receh itu. Hingga malam tiba, Mandala terus teringat pada ancaman yang dilayangkan Rais terhadap dirinya.
Embusan napas pelan bernada keluhan meluncur dari bibir Mandala. Dia sendirian di dalam kamar, berhubung Arun sudah pergi ke warung nasi. Mandala menolak ikut, meski belum sempat mengisi perut.
Jarum jam sudah menunjuk angka delapan lebih beberapa menit. Mandala yang belum sempat makan, memutuskan keluar. Akan tetapi, dia tidak berniat ke warung nasi langganan para pekerja proyek.
Dua bungkus batagor kering sudah Mandala dapatkan. Itu dirasa cukup untuk mengisi perutnya malam ini. Mandala bermaksud kembali ke bedeng, menyantap makanan di sana dengan tenang.
Namun, sepertinya niat Mandala akan sedikit terganggu. Di dekat pintu masuk area proyek, dia melihat sosok semampai berparas menawan tengah berdiri menatapnya.
“Mas Maman,” panggil si pemilik wajah cantik, yang tak lain adalah Gita.
“Kenapa kemari?” tanya Mandala dingin.
“Kenapa semalam Mas Maman pergi tanpa pamit?”
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua