Andini kesal karena sang ayah tidak menghadiri acara kelulusannya, ia memilih jalan sendiri dari pada naik mobil jemputannya
sialnya lagi karena keisengannya dia menendang sebuah kaleng minuman kosong dan tepat mengenai kening Levin.
"matamu kau taruh dimana?" omel Levin yang sejak tadi kesal karena dia dijebak kedua orang tua dan adik kembarnya agar mau dijodohkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arfour, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lupa, kalau dunia ini ada pria bernama Levin
Jam menunjukan pukul 12 Andini bersama dua orang temannya berjalan menuju Halte bus kampus.
“Non,” seorang pria tergopoh-gopoh menghampiri Andini.
“Ini handphonenya, apalagi yang lain Non?” Tanyanya.
“Tidak ada Pak, terima kasih ya maaf merepotkan,” ujar Andini yang membuat dua temannya heran.
“Kalau begitu saya pulang dulu non,”ucap Pak Maman berpamitan lalu meninggalkan Andini dan kembali ke mobilnya untuk pulang karena Andini Baru selesai acara pengenalan kampus sore hari.
“Aku heran melihatmu, mengapa kau begitu baik sekali dengan supirmu itu? dia itu kan hanya supir,” ujar Lidya salah satu teman yang menemani Andini mengambil ponselnya.
“Dia itu sudah sangat lama sekali bekerja dengan keluargaku dan dia itu sangat setia serta loyal, makanya aku harus baik padanya jika tidak baik nanti dia malah minta berhenti. Sulit mencari orang jujur dan setia seperti dia di zaman sekarang ini, apalagi dia tidak pernah mengeluh jadi kita harus menghargainya. Bukan cuma dia yang butuh uang, tapi aku juga butuh tenaganya,” ujar Andini menjelaskan mengapa dia selalu menghormati Pak Maman walaupun Pak Maman hanyalah seorang supir.
“Betul itu apa yang dikatakan Andini, bukan berarti dia bekerja pada kita terus kita seenaknya. Dalam hidup ini kan kita saling membutuhkan, dia butuh pekerjaan untuk menafkahi keluarganya dan kita butuh tenaganya untuk memperlancar segala aktivitas yang kita kerjakan,” ujar Vania yang setuju dengan pendapat Andini.
“Sudah ah Ayo kita ke kantin, aku sangat lapar sekali,” ujar Andini lalu mereka pun berjalan menuju kantin kampus di mana para mahasiswa sudah mulai banyak yang berdatangan untuk membeli makan siang mereka hari ini.
“Banyak sekali chat yang masuk, “ pikir Andini dalam hati ketika dia membuka ponselnya belum lagi panggilan tak terjawab.
Dari semua itu Andini lebih dulu membuka panggilan dari Levin dan juga melihat pesan yang dikirim Levin padanya.
“Wah jadi hari ini dia berangkat ke London rupanya, ya sudahlah mungkin kupingku tenang sedikit karena tidak harus menerima telepon ataupun chat dari dirinya, pacar pura-pura tapi menyusahkan,” ujar Andini dalam hati sambil tersenyum.
“Kau kenapa senyum-senyum sendiri dari tadi?”tanya Vania yang memperhatikan Andini sejak tadi.
“Bukan, hanya kakak sepupuku yang mengirim pesan, hari ini dia memberi kabar kalau dia akan pergi ke London,” ujar Andini lalu ia memasukan ponselnya ke dalam tas, kemudian dia mulai menikmati semangkuk soto campur kesukaannya.
“Minggir pindah kalian, aku mau duduk di sini,” ujar seorang wanita yang merupakan teman satu angkatan dengan mereka, mengusir Vania dan juga Lidya.
“Memangnya tidak ada bangku kosong lain selain disini sampai harus mengusir orang lain. Di sana ada bangku kosong, duduk saja ke sana,” ujar Andini yang tidak suka dengan perlakuan tiga wanita yang memaksa duduk dekat dengan dirinya itu.
“Mereka itu tidak satu level denganmu, jadi tidak pantas duduk satu meja denganmu,” ujar salah satu perempuan yang menguncir rambutnya menjadi dua dan diberi pita warna merah persis seperti anak TK, padahal dalam pengenalan kampus seperti ini tidak ada hal-hal seperti itu.
“Siapa yang bilang tidak pantas dan pantas? Memangnya sehebat apa dirimu, sampai mengatakan kalau dirimu pantas duduk disini bersamaku?” tanya Andini tidak suka, membuat perempuan itu langsung terdiam.
“Aku hanya manusia biasa, makhluk Tuhan yang kebetulan diberikan kelebihan dari segi perekonomian karena Ayahku seorang pengusaha yang sukses, tapi bukan berarti aku jauh lebih baik daripada kalian?! jadi siapa saja boleh duduk disini jika bangkunya kosong. Tapi karena bangkunya sudah kami duduki terlebih dahulu dan makanan kami juga belum habis Sekarang cari saja bangku yang lain, jangan mengganggu orang lain yang sedang menikmati makanannya, lagi pula kalian sama saja dengan yang lain sama-sama makan nasi,” ujar Andini tertawa, membuat ketiganya langsung sok karena dia tidak menyangka akan mendapat sambutan seperti itu dari Andini. Dia berpikir Andini sama saja dengan perempuan-perempuan kaya lainnya yang hanya mau bergaul dengan orang tertentu saja.
“Sotoku sudah habis, begitu juga minumannya. Apa kau masih mau tambah Andini? tanya Vania karena dia melihat soto di mangkok Andini pun sudah tinggal sedikit.
“Tidak, aku sudah kenyang. Bagaimana denganmu Lidya?” tanya Andini pada temannya yang juga sebenarnya sudah selesai makan.
“Perutku juga sudah kenyang, kasihan yang lain mungkin masih ada yang belum makan karena tempatnya penuh, “ ujar Lidya kemudian dia pun berdiri.
“Kursinya sudah kosong, silahkan kalau kalian mau duduk,” ujar Andini lalu berjalan keluar kantin bersama Vania dan juga Lidya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam Andini merasa tubuhnya sangat lelah. Apalagi setelah seharian tadi aktivitas di kampus cukup padat, beberapa kegiatan kelompok dia kerjakan walaupun tidak menemui kesulitan berarti.
“Kau sedang apa, sepertinya sibuk sekali sampai tidak pernah mengirim kabar kepadaku,” sebuah pesan masuk ke handphonenya dan ternyata Levin yang mengirimnya.
“Ya Tuhan aku lupa kalau dalam hidupku ternyata ada orang yang bernama Levin saat ini,” ujar Andini sambil terkekeh baru saja dia mengetik pesan yang akan dikirim untuk Levin sebuah panggilan masuk menghentikan ketikannya.
“Sepertinya kau sangat senang sekali aku tidak berada di Indonesia,” ujar Levin tiba-tiba saja menyembur perkataannya yang membuat Andini langsung menjauhkan ponsel dari telinganya, karena nada bicara Levin sedikit berteriak.
“Hai aku tidak tuli!” Balas Andini kesal.
“Aku sibuk sekali, pulang kampus aku masih harus mengerjakan tugas untuk dikumpulkan besok,” ujar Andini memberi penjelasan walaupun dia kesal Levin berteriak di kupingnya, karena memang begitulah yang sebenarnya terjadi.
“Maaf, aku tidak suka diabaikan. Apakah tidak bisa membalas pesanku yang kemarin? Kasihan sekali pesanku itu seperti koran yang hanya dibaca saja,” perkataan Levin membuat Andini terkekeh, kadang pria tua ini seperti bocah kecil mencari perhatian terhadap ibunya.
“Sayang… kau kan sedang di luar negeri, jadi aku pikir disana pasti kamu juga sibuk makanya aku tidak berani mengganggu dan pesan yang kau kirim itu kan hanya sebatas pemberitahuan saja,” ujar Andini beralasan. Padahal dia sungguh-sungguh lupa dengan pesan yang dikirim Levin.
“Kau ini pandai sekali beralasan. Ya sudah aku besok mau pulang, kau mau diberikan aku oleh-oleh apa?” tanya Levin karena dia malas argumen dengan Andini yang ada saja jawabannya.
“Tidak aku tidak ingin oleh-oleh apa-apa yang penting kekasih pura-puraku ini pulang dengan selamat, “ ujar Andini menjawab perkataan dari Levin.
“Dasar kau! berhenti mengatakan kasih pura-pura. Cepat kau mau apa mumpung aku sedang berbaik hati, “ ujar Levin. Padahal dia sudah banyak membeli oleh-oleh pesanan kedua adiknya tersebut tapi mengapa dia jadi ingat Andini.
“Sayang aku tidak mau apa-apa, seperti yang aku katakan tadi aku hanya ingin kau kembali dengan selamat. Mengenai kekasih pura-pura memang begitu kan kondisi statusku sebenarnya,” ujar Andini malah membahas hal yang paling malas dibicarakan oleh Levin
“Baiklah kalau begitu, aku tidak akan membawakan apa-apa untukmu, tapi aku akan menemuimu dan kau harus menerima apapun yang aku katakan, tidak alasan dan tidak perlu membantah sudah tidur sana,” ujar Levin langsung mematikan panggilan teleponnya. Andini masih bingung dengan perkataan Levin.
“Apa maksudnya? Sudahlah lebih baik aku tidur agar besok tidak kesiangan, tapi aku juga sebenarnya kangen bertemu dengannya, kangen berantem,” ujar Andini sambil tertawa lalu mematikan lampu kamar tidurnya dan memilih untuk tidur.
***
Sehari sebelum keberangkatan Levin ke London.
“Jadi kau sudah dapat informasi yang ku Minta?” Tanya Levin ketika sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya.
“Sudah, dan sudah aku kirimkan informasi lengkap ke emailmu,” jawab seorang pria yang berada di balik telpon Levin.
Levin Diam-diam mencari info tentang andini dengan bantuan anak buahnya. Awalnya dia curiga karena jika andini hanya anak seorang pembantu mengapa dia leluasa sekali tinggal dirumah itu, dia juga mencari tahu biodata Benny Mulyawan karena Andini tinggal dirumahnya, sebagai orang yang paham ilmu komputer sebenarnya bukan hal sulit untuk Levin, ditambah lagi Levin memiliki teman yang bekerja di kampus tempat Andini kuliah dan bekerja sebagai staf kepala administrasi, Levin tidak memiliki kesulitan berarti untuk menemukan data tentang siapa Andini ditambah info dari Duna, kalau anak Benny Mulyawan kuliah di kampus yang sama dengan dirinya dan itu menambah keyakinannya kalau Andini bukan anak pembantu tapi anak kandung Benny Mulyawan.
Namun untuk mendapatkan info tersebut dia harus menghentikan hukuman pada Duna, yaitu mengirimi uang saku karena dua minggu yang lalu dia menghentikan jatah jajan Duna akibat bersekongkol dengan ibu dan ayahnya.
“Rasanya lucu juga jika mengerjai orang tuaku sekali-kali, dosa tidak ya?” ujarnya tertawa namun kemudian terdiam.
Sementara dengan Andini dia membiarkan Andini yakin kalau dirinya percaya kalau Andini hanyalah anak seorang pembantu.
“Anda sedang memikirkan siapa Bos? dari tadi kami melihat anda hanya diam saja, seperti orang melamun,” ujar Rendy asisten pribadi Levin.
“Sepertinya Bos kita ini sedang jatuh cinta, “ ujar Ayu sekretaris yang merupakan temannya sejak duduk di bangku SMA.
“Berisik kalian, “ ujar Levin lalu meninggalkan mereka berdua.
“Hai bos kau mau kemana? Jangan pergi sendiri nanti kau nyasar lagi, “ ledek Rendy sambil terkekeh lalu mengikuti langkah Levin, begitu juga dengan Ayu.
“Karena sekarang sudah di luar jam kerja, lebih baik kau bercerita saja pada kami. Siapa tahu kami bisa membantu,” ujar Rendy sambil merangkul pundak Levin.
Rendy adalah sahabat Levin ketika duduk di bangku kuliah, anaknya pintar walaupun dari keluarga biasa-biasa saja dan dia adalah seorang perantau, orang tuanya berada di pelosok di wilayah Sulawesi tengah, namun kegigihannya untuk menggapai cita-cita patut diacungkan jempol.