Kalau kamu ada di dalam mobil bareng suamimu dan "cinta sejatinya" pas kecelakaan, siapa coba yang bakal dia selamatkan?
Rizki nggak butuh sedetik pun buat gendong Meli pergi. Darah mengalir deras. Bukan cuma janin tiga bulan di perut Aulia yang mati, tapi juga seluruh hati Aulia. Hancur jadi debu.
Semua orang juga tahu, pernikahan mereka itu cuma kontrak bisnis belaka. Aulia memang merebut Rizki dari Meli, tapi dia yakin suatu hari Rizki bakal capek berpura-pura dan benar-benar lihat dia.
Tapi, pas liang lahat bayinya ditutup, Aulia baru melek. Cukup. Kita cerai.
Tiga bulan kemudian, di panggung gemerlap, Aulia berdiri. Cantik. Hebat. Menerima penghargaan. Rizki terpaku, lalu dengan suara datar bilang ke semua orang, "Ya, itu istri saya." Aulia cuma senyum miring, lalu menyodorkan kertas perceraian ke tangan Rizki. "Maaf ya, Pak Rizki. Yang benar itu mantan istri."
Pria sedingin es itu akhirnya pecah. Matanya memerah, suaranya parau. "Mantan? Aku nggak pernah mau cerai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara Tulus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunci Kebebasan Berlumur Darah
Pak Rizki, lokasi ini bahaya sekali. Jangan maju!"
"Tim penolong sudah di jalan, ambulans sampai sebentar lagi!"
"Pak Rizki... tolong!"
"Minggir! Kalau sampai dia kenapa kenapa, kalian semua akan kubuat ikut mati dan menemaninya!"
Di tengah hiruk pikuk suara orang yang seperti ombak memecah telinga, teriakan penuh amarah itu membuat Aulia perlahan tersadar dari pingsannya. Tubuhnya remuk habis dihantam kecelakaan.
Susah payah, Aulia menoleh. Dia melihat sosok jangkung yang sangat dia kenal itu berlari cepat ke arahnya. Persis malaikat penyelamat.
Air mata Aulia langsung tumpah. Lama sekali dia terperangkap di dalam mobil yang terguling. Sesaat, Aulia sempat berpikir Rizki tidak akan datang.
Sebelum mobil ini hancur, dia bahkan sempat adu mulut dengan Rizki. Mereka janji bertemu di kantor semalam, tapi Rizki tiba tiba membatalkan janji itu setelah dapat telepon aneh.
Aulia menghubungi berkali kali, tapi Rizki tidak pernah mengangkat. Sampai akhirnya kecelakaan itu terjadi, Aulia menggunakan sisa baterai ponselnya buat kirim lokasi ke sekretaris suaminya.
Aulia sempat menduga, kali ini pun Rizki bakal cuek seperti biasa. Tapi ternyata...
"Sayang, kita masih bisa selamat... Papa sudah datang..." Aulia menatap genangan darah di tubuhnya. Dia pegang harapan terakhir ini demi bayinya.
Rasa pusing dan mual tidak penting. Dia ingin memanggil nama Rizki. Tapi begitu mulutnya terbuka, suaranya serak. Suara itu malah tersangkut, tidak mau keluar.
Tidak masalah. Toh Rizki sudah menemukannya. Dengan tangan yang lemah lunglai, Aulia berusaha melambaikan tangan, sedikit saja.
Tapi detik berikutnya, Rizki Laksmana justru berlari melewatinya begitu saja.
Aulia kaget. Dia pikir dia salah lihat orang.
Memang hari ini Aulia tidak pakai mobil keluarga Laksmana. Mobilnya dipinjam adik ipar. Mobil yang ia kendarai sekarang hadiah dari Ibunya, jarang dipakai. Jadi, wajar kalau Rizki tidak kenal.
Aulia tidak bisa berpikir lagi. Dia kerahkan seluruh tenaganya, berteriak memanggil Rizki. Sayangnya, karena kehilangan darah terlalu banyak, suaranya cuma seperti dengungan nyamuk.
Rizki tidak mendengar. Dia terus menjauh. Hingga akhirnya dia berhenti tepat di depan mobil putih yang menabrak Aulia.
Sebelum Aulia sempat mencerna apa apa, Rizki membuka pintu mobil itu, lalu mengangkat seorang perempuan yang gemetaran ketakutan ke dalam pelukannya.
Perempuan itu pakai mantel panjang. Tubuhnya ramping. Terlihat berwibawa, tapi juga rapuh. Siapa pun yang lihat pasti ingin langsung melindunginya.
Begitu wajah itu terlihat jelas, tubuh Aulia membeku. Rasanya seperti dilempar ke jurang es paling dingin.
Itu Meli. Cinta pertama Rizki.
Aulia sontak ingat. Tadi mobil itu terus berpindah jalur, tidak memberinya waktu buat menghindar. Mobil itu gila gilaan menabraknya dari belakang. Tapi sekarang, mobil putih itu diam di pinggir jalan. Seolah mobil itu hanyalah anak kecil yang ketakutan.
Dan pemilik mobil itu sekarang bersandar manja di pelukan suaminya.
Aulia tidak peduli kenapa Meli yang seharusnya di luar negeri tiba tiba pulang. Aulia tidak peduli kenapa kebetulan sekali Meli yang menabraknya. Yang ada di benaknya cuma satu: Bayiku harus selamat.
"Pak Rizki, di dalam mobil itu masih ada orang!"
Saat Aulia berusaha mengangkat tangannya buat mengetuk kaca, salah satu pengawal Rizki sudah lebih dulu melihat bayangan bergerak di dalam mobil. Dia juga merasa mobil itu sedikit familiar. Pengawal itu berseru kaget.
Mendengar itu, Rizki menoleh. Wanita di dalam mobil itu berlumuran darah. Darahnya terus mengalir deras. Meskipun menyedihkan, wajahnya yang cantik dan bersih masih terlihat jelas. Agak familiar.
Rizki sempat terdiam sebentar, hendak bicara. Tapi Meli yang ada di pelukannya tiba tiba mengerang lirih kesakitan.
"Meli terluka. Segera bersihkan jalan ke rumah sakit." Rizki tidak peduli lagi pada hal lain.
"Tapi Pak Rizki..." Belum selesai pengawal berbicara, tatapan dingin Rizki membuat pengawal itu langsung menelan semua katanya. "Baik, Pak."
Aulia hanya bisa menatap suaminya. Rizki berhenti sebentar hanya untuk melihat, lalu berbalik dan membawa Meli masuk ke mobilnya.
'Rizki, tolong aku! Tolong anak kita...' Aulia berusaha teriak. Tapi begitu mulutnya terbuka, tenggorokannya langsung tersumbat darah.
Tak ada satu pun yang hirau. Mobil Rizki melaju kencang membawa Meli.
Aulia hanya bisa melihat mobil itu makin menjauh. Pandangannya perlahan kabur.
Detik berikutnya, rasa sakit yang meremukkan hati serasa banjir besar yang menenggelamkan segalanya.
Dia sudah tidak kuat bertahan. Dunia di hadapannya gelap. Lalu, kesadarannya hilang lagi.
"Sayang sekali, pasien terlambat dibawa kemari. Operasi buat Ibunya sih berhasil, tapi bayinya nggak tertolong. Keluarga pasien ada?"
"Tidak ada, Tuan. Yang tanda tangan operasi tadi pasien sendiri."
Setelah efek bius operasi hilang, rasa ngeri karena nyaris mati masih menempel di tubuh Aulia. Dia dengar suara dokter dan perawat di samping ranjang, dan otomatis tangannya langsung meraba perut. Benar, seperti kata dokter tadi, anaknya sudah diambil.
Perut yang tadinya sedikit berisi kini rata lagi. Dia tidak akan pernah lagi merasakan denyut kehidupan kecil itu.
Seharusnya dia menangis histeris. Tapi anehnya, air matanya tak keluar setetes pun. Mungkin dia sudah terlalu sering menangis, sampai kering.
Dokter melihat Aulia sadar, menanyakan keadaannya. Sebelum pergi, dokter memberi nasihat agar Aulia jaga kesehatan dan bilang, nanti pasti bisa punya anak lagi.
Aulia cuma mengangguk. Dia tidak menjelaskan. Anak itu tidak akan pernah ada lagi. Anak ini adalah "hasil curian," sama seperti pernikahannya yang satu ini.
Dulu, dia sukses nikah sama Rizki, si jenius dari Kota Tepi Samudra. Tapi Rizki benci setengah mati sama dia. Rizki anggap Aulia licik dan penuh perhitungan. Bahkan pas malam nikah, Rizki sengaja pergi ke kelab malam buat mempermalukannya.
Aulia jadi bahan tertawaan seantero kota. Setelah lima tahun nikah, sikap Rizki tidak sekasar dulu. Kadang kalau Aulia diejek terlalu parah, Rizki masih mau membela, sedikit.
Katanya pepatah, sering bertemu bisa menumbuhkan benih rasa. Mungkin karena mereka sudah lama jadi pasangan palsu dan ketemu setiap hari, setidaknya ada sedikit rasa hormat muncul.
Tapi Rizki pernah bilang, dia cuma tertarik sama Aulia. Tidak cinta. Dan yang paling penting: Rizki tidak akan pernah mengizinkan Aulia punya anak darinya.
Makanya, mereka selalu jaga jarak. Walaupun kadang "kebobolan" sekali dua kali, Rizki pasti memberinya pil pencegah kehamilan setelahnya.
Bertahun tahun, Aulia selalu jadi istri yang patuh. Dia hati hati banget menjalankan semua aturan Rizki.
Tapi tiga bulan lalu, Rizki pulang mabuk berat. Rizki memaksanya berhubungan intim. Tanpa pengaman sama sekali.
Setelah itu, Aulia mau minum pil, tapi kotak pilnya kosong. Dia niat beli ke apotek, tapi dia sibuk sampai lupa.
Aulia pikir, ah sekali doang, tidak mungkin jadi masalah. Siapa sangka, ternyata dia hamil.
Aulia ragu lama sekali, dia sembunyikan kehamilan itu hampir tiga bulan. Sampai hari ini dia putuskan buat mengaku.
Dia kira, punya anak ini bakal memperbaiki hubungannya sama Rizki. Tapi di tengah jalan mau ketemu, kecelakaan sialan itu terjadi.
Orang tuanya sudah meninggal. Keluarga Rizki tidak suka padanya. Sebelum operasi, dia sempat lihat dokter ambil ponselnya, telepon Rizki dan kirim kabar kecelakaan. Rizki tidak angkat. Malah, saking kesalnya, dia langsung mematikan telepon.
Aulia tahu Rizki tidak punya perasaan. Tapi dia tidak menyangka pria itu bisa sekejam ini.
Dia menatap dinding putih kamar. Lima tahun pernikahan ini benar benar mimpi buruk.
Aulia ingin ke kamar mandi. Staf rumah sakit kelihatan sibuk semua. Karena tidak ada yang bantu, dia harus menyeret botol infus pelan pelan.
Untung baju rumah sakitnya mudah dipakai. Tapi urusan buang air yang biasanya cuma semenit, kali ini makan waktu hampir setengah jam.
Pas keluar dari kamar mandi, Aulia mau balik ke ranjang. Tiba tiba dia dengar suara perempuan dari ruang kantor samping. Suara itu familiar sekali. Langkah Aulia terhenti.
"Rizki, cuma kaki yang luka sedikit. Aku sudah bilang nggak apa apa, kamu yang berlebihan." Suara itu lembut. Manja. Bukan nada marah, tapi nada sayang.
Wajahnya polos dan cantik. Meli. Memang cinta pertama Rizki.
Aulia tidak tahu apakah waktu itu Rizki memang tidak melihatnya, atau melihat tapi tidak peduli. Tapi itu tidak penting lagi sekarang.
Aulia tahu, salah satu alasan pernikahan mereka berantakan selama ini adalah karena Meli. Bahkan kalau insiden hari ini tidak terjadi, suatu saat pasti akan meledak juga.
"Kak Meli, ini semua karena Kak Rizki panik. Tadi dia telepon dengan suara gemetar, bilang harus dicek semua. Aku kira ada masalah serius," kata seorang dokter muda pakai jas putih sambil tersenyum.
Itu Rian, sahabat karib Rizki. Sekaligus saksi hubungan Rizki dan Meli.
Meli tersipu. Dia menatap Rizki yang memeluknya cemas. Wajah tampan, badan atletis. Dibalik kain tipis, terasa hangat badan pria itu. Bersandar di pelukan Rizki, Meli merasa aman. Seolah Rizki akan menanggung semua masalahnya.
"Namanya juga kecelakaan, tentu harus diperiksa," kata Rizki dengan tenang.
"Kamu cuma khawatir sama Kak Meli. Kalau orang lain, kamu nggak begini heboh," goda Rian.
Rian tahu Rizki nikah sama Aulia karena paksaan keluarga. "Orang lain" yang dia maksud jelas Aulia.
Bertahun tahun, Aulia selalu datang sendiri ke rumah sakit. Rian kadang kasih tahu Rizki, tapi Rizki tetap tidak peduli.
Soal Aulia yang nyaris mati dan keguguran, Rian sudah dengar. Selama ini dia panggil Aulia "Kakak Ipar". Kali ini, dia juga dokter yang harusnya mengurus Aulia. Logikanya, Rian harusnya menghibur atau setidaknya tanya kabar.
Tapi Rian bahkan tidak menjenguk Aulia. Bukan karena alasan lain, tapi Rian merasa, Aulia memang pantas mendapatkannya.
Dulu, pernikahan Aulia dan Rizki memang tidak jujur. Soal Aulia hamil kali ini, Rian sempat tanya ke Rizki, dan Rizki sama sekali tidak tahu.
Rian tebak, Aulia pasti mau pakai anak itu buat mengikat Rizki. Sayangnya rencana gagal. Sekarang anak itu gugur. Mungkin memang sudah takdir. Tidak ada yang perlu dikasihani.
"Aku akan urus ruang VIP buat Kak Meli. Biar bisa diobservasi dua hari lagi," kata Rian sambil senyum dan menoleh ke mereka berdua.
Meli mengangguk. "Makasih ya."
"Nggak masalah. Urusanmu itu urusan Rizki. Tentu aku harus urus baik baik." Rian menepuk dadanya bangga.
Ucapan itu jelas buat menyenangkan Meli. Meli tersenyum. [SISIPAN 1: Meli panik mencari sesuatu]
Di pintu, kebetulan Aulia menatapnya. Meli buru buru alihkan pandangan. Lalu dia senyum tipis ke Rizki. "Rizki, aku ingat tadi Aulia telepon kamu. Kelihatannya penting. Mungkin kamu bisa telepon dia dulu."
Disebut nama Aulia, alis Rizki langsung mengernyit tajam.
Belum sempat Rizki jawab, Rian yang sibuk dengan kerjaannya langsung memotong. "Nggak usah dipikirkan! Aulia itu sering ganggu Kak Rizki. Bertahun tahun selalu telepon nggak jelas. Kak Rizki pasti muak."
"Meli, biarin Kak Rizki temenin kamu. Rawat lukamu baik baik," tambah Rian. "Cepat atau lambat, Aulia pasti akan kasih posisinya ke kamu."
"Rian, jangan ngomong sembarangan!" tegur Meli.
Rian buru buru melambaikan tangan. "Aku nggak sembarangan! Itu memang yang Kak Rizki pikirkan."
Rizki diam saja. Alisnya semakin berkerut.
Aulia merasakan keheningan di udara dan menertawakan dirinya sendiri. Tidak apa apa. Hari kebebasan itu akan segera tiba.